---
Sejak pertemuan terakhir di kafe, Chika merasa ada perubahan dalam dirinya. Meskipun Christy belum memberi kepastian penuh tentang hubungan mereka, ada perasaan lega karena semuanya kini berada di atas meja-terbuka dan jujur. Namun, di sisi lain, jarak yang masih menggantung di antara mereka membuat Chika merasa gelisah. Seperti ada ruang tak terlihat yang semakin lama semakin lebar.
Hari-hari berlalu, dan komunikasi mereka tetap ada, tapi terasa berbeda. Pesan-pesan yang dulunya mengalir dengan ringan dan penuh tawa, kini terasa lebih singkat dan hati-hati. Chika mencoba tidak memikirkannya terlalu dalam, meyakinkan diri bahwa mungkin ini hanya bagian dari proses. Namun, semakin dia berusaha, semakin dia merasa terjebak dalam ketidakpastian.
Suatu malam, Chika duduk di depan laptopnya, berusaha menulis sesuatu untuk mengalihkan pikirannya. Namun, kata-kata yang biasa mengalir lancar sekarang terasa tersendat. Pikirannya terus kembali ke Christy, ke percakapan terakhir mereka, dan pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia memandangi layar kosong di depannya, berharap bisa menemukan inspirasi, tapi yang muncul hanya kekosongan.
Tidak tahan dengan pikirannya yang berputar-putar, Chika mengambil ponselnya dan membuka chat dengan Christy. Dia membaca ulang percakapan mereka yang terakhir-sekedar sapaan biasa, tanpa kedalaman seperti dulu. Ada rasa rindu yang tiba-tiba menyelubungi Chika. Rindu akan percakapan mendalam, tawa, dan keakraban yang dulu mereka bagi. Tapi dia juga sadar bahwa perasaan itu kini diwarnai oleh harapan yang lebih dari sekadar persahabatan.
Chika menulis pesan, lalu menghapusnya. Dia melakukan ini berulang kali, berusaha menemukan kata-kata yang tepat tanpa terlihat terlalu memaksa atau membutuhkan. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengirim pesan sederhana.
---
Chika:
Hai, Christy. Aku berharap kamu baik-baik saja. Aku merasa kita jarang ngobrol seperti dulu. Ada yang ingin aku bicarakan, kapan kamu punya waktu?---
Chika mengirim pesan itu, lalu meletakkan ponselnya dengan gugup. Ada rasa lega setelah mengirimnya, tetapi juga rasa takut menunggu respons dari Christy. Dia tahu mereka harus bicara lagi, tetapi apa yang akan terjadi setelah itu masih menjadi misteri.
Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar. Christy membalas.
---
Christy Harlan:
Hai, Chika. Maaf kalau aku terkesan agak menjauh belakangan ini. Aku juga merasa kita perlu bicara. Bagaimana kalau kita ketemu lagi minggu ini?---
Chika menarik napas panjang setelah membaca pesan itu. Christy merasakan hal yang sama, dan mungkin ini adalah kesempatan untuk mendapatkan kejelasan. Tapi di balik rasa lega itu, Chika juga tidak bisa menghilangkan rasa takut bahwa percakapan ini bisa mengarah ke arah yang tidak diinginkannya.
Minggu itu, mereka bertemu lagi di kafe yang sama. Kali ini, suasana terasa lebih serius. Tidak ada tawa ringan seperti biasanya, hanya senyum singkat yang diikuti oleh keheningan canggung saat mereka duduk berhadapan.
Christy membuka percakapan lebih dulu. "Aku tahu kita perlu bicara," katanya, suaranya tenang tapi sedikit terbebani. "Aku sudah memikirkan banyak hal sejak terakhir kali kita bertemu."
Chika mengangguk pelan, menunggu Christy melanjutkan. Hatinya berdebar-debar, tapi dia berusaha tetap tenang.
"Aku merasa, kita memang punya koneksi yang luar biasa," Christy mulai menjelaskan, tatapannya tertuju pada cangkir kopi di depannya. "Tapi aku juga tidak ingin kita terburu-buru. Hubungan seperti ini... rasanya lebih rumit dari yang aku kira."
Kata-kata itu membuat Chika tersentak. Dia tahu bahwa Christy masih meraba perasaannya sendiri, tapi mendengar secara langsung bahwa ini terasa rumit baginya, membuat Chika merasa sedikit kecewa.
"Aku mengerti, Christy," jawab Chika, berusaha menutupi kekecewaannya. "Aku juga merasa bingung, tapi aku tidak ingin kita menjauh hanya karena kita belum tahu ke mana arah ini."
Christy mengangguk. "Aku tidak ingin kita menjauh juga. Tapi, mungkin kita butuh waktu untuk benar-benar memahami apa yang kita rasakan, tanpa ada tekanan untuk menjadikannya sesuatu yang lebih sekarang."
Kata-kata Christy itu terasa seperti tamparan bagi Chika, meskipun dia tahu itu bukan maksudnya. "Waktu" yang Christy inginkan, terasa seperti jarak yang semakin jauh, dan Chika tidak yakin apakah dia siap menghadapi jarak itu.
Namun, di balik rasa kecewanya, Chika juga tahu bahwa dia tidak bisa memaksa perasaan. Christy jelas butuh waktu, dan jika dia memaksakan sesuatu, hubungan mereka mungkin benar-benar rusak.
"Aku mengerti," Chika berkata lagi, kali ini dengan lebih tegas. "Aku tidak ingin memaksamu, Christy. Kita bisa menjalani ini pelan-pelan, tanpa tekanan."
Christy tersenyum, meskipun ada rasa lega yang samar di matanya. "Terima kasih, Chika. Aku tidak ingin kehilangan kamu."
Dengan perasaan campur aduk, Chika tersenyum balik. Mereka mungkin belum mendapatkan kejelasan penuh, tapi setidaknya, untuk saat ini, mereka masih bersama. Dan mungkin itu cukup-untuk sementara.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
True Story: Penulis Favoritku Adalah Kekasihku (ch2) end
FanfictionBercerita tentang Chika Daniella, seorang perempuan yang sangat mengidolakan karya-karya penulis terkenal bernama Christy Harlan. Chika menghabiskan hari-harinya membaca buku-buku Christy, mengagumi gaya menulis dan pandangannya tentang cinta. Namun...