10 "Sebuah Keputusan"

29 2 0
                                    

---

Chika merasa semakin tidak nyaman dengan hubungan yang terus menggantung antara dirinya dan Christy. Setiap pertemuan, setiap percakapan terasa penuh ketegangan, meski mereka berusaha tetap akrab seperti dulu. Ketidakpastian terus menghantui pikiran Chika, dan meski ia berusaha sabar, semakin hari rasa cemasnya semakin tak tertahankan.

Pada suatu sore yang mendung, Chika duduk di kafe tempat mereka sering bertemu, kali ini sendirian. Ia memikirkan semua yang telah terjadi antara dirinya dan Christy. Mereka saling menyukai, namun terjebak dalam ketakutan dan keraguan. Chika tahu bahwa ia tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian. Ia perlu mengambil tindakan, meski konsekuensinya bisa saja menyakitkan.

Ponselnya bergetar, tanda pesan masuk dari Christy.

---

Christy Harlan:
Hai, Chika. Aku sudah selesai dengan urusanku. Aku bisa datang ke kafe dalam 30 menit. Kamu masih di sana?

---

Chika membaca pesan itu sambil memandangi secangkir kopi yang sudah mulai dingin di depannya. Ia merasakan detak jantungnya meningkat. Hari ini, ia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya. Ia tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian ini. Sebelum membalas pesan Christy, Chika menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

---

Chika:
Iya, aku masih di sini. Aku akan menunggumu.

---

Tiga puluh menit berlalu dengan cepat. Saat Christy masuk ke kafe, Chika bisa melihat senyum lembut di wajahnya, tetapi ada sesuatu dalam tatapan Christy yang menunjukkan bahwa ia juga merasakan ketegangan yang sama.

"Hai," sapa Christy sambil duduk di kursi di seberang Chika. "Kamu kelihatan serius. Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Chika menatap Christy sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. Ia tahu bahwa apa pun yang akan dikatakannya akan mengubah hubungan mereka-entah menjadi lebih baik atau mungkin berakhir. Tapi ia tak punya pilihan lain. Hatinya terlalu lelah untuk terus menunggu dalam ketidakpastian.

"Iya, Christy, aku ingin bicara tentang kita," Chika memulai dengan suara lembut namun tegas. "Aku tahu kamu masih butuh waktu untuk memahami perasaanmu, dan aku menghormati itu. Tapi, aku juga perlu kejelasan tentang hubungan kita. Aku tidak bisa terus begini tanpa tahu ke mana arah kita."

Christy terdiam, mendengarkan dengan seksama. Wajahnya menunjukkan rasa bersalah, seolah-olah dia tahu bahwa Chika sudah mencapai batas kesabarannya.

"Aku sangat menyukaimu, Christy," lanjut Chika, matanya berkaca-kaca. "Tapi aku juga tidak bisa terus menunggu tanpa kepastian. Hubungan ini membuatku terlalu banyak berpikir dan merasa cemas. Aku hanya ingin tahu... apakah kamu benar-benar melihat kita bisa bersama? Atau kita memang hanya sebatas teman?"

Christy menghela napas panjang dan menatap Chika dengan penuh perasaan. "Chika, aku juga menyukaimu. Aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Tapi... aku masih takut. Aku takut hubungan ini akan merusak persahabatan kita. Aku takut jika kita melangkah lebih jauh, dan kemudian ada yang salah, kita tidak akan bisa kembali seperti dulu."

Kata-kata Christy membuat Chika terdiam sejenak. Ia bisa memahami ketakutan itu. Tapi, Chika juga tahu bahwa tidak ada hubungan yang berjalan tanpa risiko.

"Aku mengerti rasa takutmu, Christy," jawab Chika pelan. "Tapi menurutku, jika kita terus membiarkan ketakutan menghalangi kita, kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi. Aku siap mengambil risiko itu, kalau kamu juga mau. Tapi kalau kamu masih ragu, aku... mungkin perlu mengambil jarak sejenak."

Christy tampak terkejut dengan pernyataan terakhir Chika. "Kamu mau menjauh?" tanyanya, suaranya terdengar sedih.

Chika mengangguk pelan. "Aku hanya butuh waktu untuk diriku sendiri jika kamu belum siap. Ini terlalu sulit untukku, Christy. Aku ingin kamu tahu betapa seriusnya aku tentang perasaan ini, tapi aku juga tidak bisa terus berada di posisi ini tanpa tahu apa yang akan terjadi."

Keheningan panjang melingkupi mereka. Christy terlihat berpikir keras, sementara Chika menunggu dengan hati yang berdebar. Setelah beberapa saat, Christy akhirnya bicara.

"Aku tidak mau kehilanganmu, Chika," ucap Christy dengan suara bergetar. "Aku butuh waktu untuk mengatasi ketakutan ini, tapi aku tahu kalau aku terus menunda, aku mungkin akan benar-benar kehilanganmu. Jadi... aku ingin mencoba. Aku ingin kita melihat ke mana perasaan ini bisa membawa kita."

Kata-kata Christy membawa kelegaan besar di hati Chika. Meskipun masih ada ketakutan dan keraguan, akhirnya ada komitmen yang diambil oleh Christy.

"Terima kasih, Christy," kata Chika sambil tersenyum, meskipun air mata kebahagiaan membasahi pipinya. "Aku juga tidak mau kehilanganmu."

Christy meraih tangan Chika dan menggenggamnya erat. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya, mereka kini berada di jalan yang sama-bersama, dengan tekad untuk saling mengatasi ketakutan mereka dan melihat apa yang bisa mereka bangun dari perasaan ini.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Chika merasa hatinya tenang. Meski masih ada banyak hal yang harus mereka hadapi, setidaknya kini ada harapan yang nyata.

True Story: Penulis Favoritku Adalah Kekasihku (ch2) endTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang