[FULL] Terjerat Hutang | Part 16 | Hipnotis

1.4K 8 0
                                        

Aku mencoba menatapnya, tetapi pandanganku buram karena air mata dan kelelahan yang mendera. Aku ingin berteriak, ingin memaki, tetapi tidak ada kekuatan tersisa dalam diriku. Kata-kata Herman terus berputar di kepalaku, semakin mengikis sisa-sisa kepercayaan diriku yang hancur.

Tawanya meledak lagi, kali ini lebih keras, lebih merendahkan. "Kau tahu? Ini yang kumau sejak lama. Ngelihat kau hancur seperti ini... ah, ini terlalu indah!" katanya sambil berdiri tegak lagi, melihatku dari atas, seperti seorang raja yang melihat rakyatnya terjatuh.

Aku merasakan sesuatu yang dingin menyelimuti jiwaku. Tidak ada lagi kemarahan yang tersisa, tidak ada lagi kebencian yang bisa kujadikan senjata untuk bertahan. Yang ada hanya kehampaan, perasaan hancur yang menjalar ke seluruh tubuhku, membuatku mati rasa.

Setiap kata yang Herman ucapkan terasa seperti kenyataan yang tak terhindarkan. Aku merasa kosong, seperti jiwa dan tubuhku telah terpisah jauh. Aku telah mencapai titik terendahku, dan aku tidak tahu bagaimana caranya kembali. Tidak ada jalan pulang dari jurang ini.

"Hah, kayaknya aku udah cukup puas hari ini," ucap Herman dengan nada riang, seolah yang baru saja terjadi hanyalah hiburan kecil baginya. Tawanya terdengar ringan dan santai, kontras dengan perasaanku yang hancur lebur. Dunia seolah runtuh di sekelilingku, sementara Herman bersikap seakan-akan tidak ada yang salah. "Besok kita lanjut lagi, oke?" tambahnya, menepuk bahuku dengan ringan. Tapi sentuhan itu terasa seperti pukulan berat, menghujam diriku layaknya belati. Tubuhku kini tak mampu menahan beban sekecil itu, terasa rapuh dan tak berdaya.

Aku hanya terdiam, tubuhku lunglai di lantai yang dingin. Setiap tetes energiku seakan tersedot oleh rasa sakit yang menyelimuti setiap inci diriku—baik fisik maupun emosional. Jiwaku kosong, seperti wadah yang telah diambil isinya tanpa tersisa.

Herman menarik napas panjang, terdengar puas, seolah dia baru saja menyelesaikan sesuatu yang besar. Tatapannya sesaat berpindah ke arahku, penuh kemenangan. Seperti seorang raja yang telah menaklukkan wilayah baru, dia tersenyum tipis, menikmati kekuasaannya. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, dia berbalik dan berjalan menuju pintu dengan langkah yang ringan dan percaya diri. Gerakannya serba terkendali, begitu kontras dengan tubuhku yang tertelungkup tak berdaya, kehilangan kontrol.

Suara pintu tertutup keras di belakangnya, menggema di ruangan kecil yang tiba-tiba terasa begitu sunyi. Keheningan yang menyusul seolah menjadi tanda akhir dari sebuah tragedi. Semua suara yang tadinya ada—tawa Herman, langkah kakinya, bahkan napasku sendiri—lenyap. Kini hanya ada ruangan yang terasa menyesakkan, sunyi yang lebih menyakitkan daripada teriakan apa pun.

Di depan mataku, TV masih menyala, terus mempertontonkan adegan yang menghancurkan hatiku. Rina, yang selama ini menjadi sumber kekuatanku, terlihat menikmati, terus digilir oleh pria-pria di layar. Setiap detik video itu bagaikan tamparan yang membangkitkan kenyataan pahit. Aku mencoba menutup mataku, berharap suara dan gambar di layar itu segera lenyap. Namun, meskipun mataku tertutup, suara mereka terus berlanjut, menembus kesadaranku, membuat tidur ataupun pelarian dari kenyataan menjadi mustahil.

Aku berdoa dalam hati, berharap besok tidak akan ada lagi kesakitan, meskipun aku tahu bahwa harapan itu hanya ilusi. Rasa takut dan ketidakpastian menghantui setiap detik yang tersisa, membuat waktu seolah berjalan lambat.

Keesokan harinya, aku terbangun dengan sentuhan dingin yang menghantam wajahku. Air, basah dan tajam, menimpa wajahku tanpa ampun. Ketika mataku terbuka, sosok Herman sudah berdiri di depanku, senyumnya yang menggelikan terlukis jelas di wajahnya. Tangan kirinya terus menyipratkan air dengan santai, seolah itu hanyalah permainan baginya. Dia menikmatinya, mempermainkan rasa sakit dan ketidakberdayaanku.

"Bangun, Arani," ucapnya dengan nada santai, seperti memanggil anak kecil yang tertidur di siang hari. Seolah apa yang sedang terjadi ini hanyalah lelucon kecil, bukan penderitaan yang tak berujung. Aku merasakan kemarahan berkecamuk di dalam diriku, tapi tubuhku terlalu lemah untuk melawan. Aku ingin berontak, ingin meneriakkan segala kebencian yang terpendam, tapi ikatan di tangan dan kaki, serta bola yang menyumpal mulutku membuatku tidak berdaya. Nafasku terengah-engah, semakin sulit karena sumpalan itu menghalangi udara masuk ke paru-paruku dengan bebas.

Terjerat HutangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang