Bab 12 - Revisi

243 16 3
                                    

Hari ini. Pukul sembilan di masjid kampus.

Suasana masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang duduk di atas lantai keramik putih sambil mengobrol setelah sholat dhuha. Sesekali mereka tertawa.

Shaima sedang berada di masjid sepagi ini setelah membuat janji temu dengan ustadz Fajri. Beliau adalah salah satu ustadz yang selalu menjadi pembicara dalam forum-forum keagamaan di kampusnya. Dia bermaksud ingin membicarakan soal Sultan kepada ustadz Fajri.

"Minum dulu nak, Shaima" Ustadz Fajri tahu kegelisahan Shaima, pria paruh baya yang berumur lebih dari 50 tahun tersebut memberinya air mineral yang telah dituang ke dalam gelas.

Shaima menghabiskan air putih di gelas dengan sekali teguk. Meletakkan gelas kosongnya dengan pelan, dengan berusaha setenang mungkin memulai percakapan dengan ustadz Fajri yang dari tadi menunggunya bicara.

"Ustadz, aku ingin bicara sesuatu" Katanya dengan suara yang sangat pelan.

"Bicaralah nak, apa ada hal yang sangat mengganggu?" Shaima mengangguk dengan wajah yang sedikit tertunduk. Dia tidak tahu harus mulai bicara dari mana.

Dia dilema. Terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya mengangkat pandangan dengan senyum tipis pada ustadz Fajri.

"Ustadz, apakah salah orang masuk Islam hanya karena ingin bersama seseorang yang dia suka?"

Ustadz Fajri terdiam sejenak, menoleh pada Shaima sebelum berpindah posisi ke hadapan gadis yang duduk dari jarak sekitar dua meter darinya.

"Lakum dinakum waliyadin"

"Setiap orang berhak atas dirinya dan agama yang diyakininya sebagai kebenaran. Tak seorang pun yang bisa mendiktenya kecuali iman-nya sendiri, lalu ketika dia menginginkan Islam sebagai agamanya kita pun tak bisa menolaknya terlepas dari apapun alasannya" Ustadz Fajri jeda sebentar memberi kesemepatan pada Shaima mencerna penjelasannya.

"Jika dia mau masuk Islam maka rangkul dia, tuntun dia dengan baik, buat dia percaya dan yakin bahwa keputusannya adalah sebuah kebenaran"

"Tapi aku takut ustadz"

"Ketakutanmu adalah ujian, ujian untukmu dan juga untuknya. Tak ada kebaikan yang tak menemui hambatannya, kamu hanya perlu percaya dan membantunya menemukan arti Islam yang sesungguhnya, selebihnya itu akan jadi urusan dia dengan Allah SWT" Ustadz Fajri kembali menuang air ke dalam gelas lalu mendorongnya ke hadapan Shaima.

"Air dalam gelas ini adalah milikmu setelah aku menyuguhkannya padamu nak, kamu akan meminumnya atau tidak itu adalah hakmu tapi bukankah alangkah tidak sopan jika kamu tak mencicipinya" Shaima menyimak maksud dari ucapan ustadz Fajri yang senyumnya tak pernah luntur.

"Sama seperti ketika seseorang diberi keistemewaan menjadi penyambung bagi orang lain untuk menemukan keyakinan pada Allah SWT, apakah dia akan membantu atau meninggalkannya itu tergantung bagaimana orangnya" Analogi itu cukup memberi jawaban secara tersirat, Shaima tahu maksud ustadz Fajri.

"Apakah orang itu seorang pria?" Dari senyum yang terpatri dari bibir ustadz Fajri dan pertanyaan yang dilontarkan pada Shaima, pria paruh baya itu pasti sudah bisa menebak apa tujuan Shaima menemuinya hari ini.

Tak berani menjawab. Shaima hanya diam dengan kepala menunduk, raut kebimbangan itu tergambar dengan sangat jelas.

"Kenapa tidak kamu temani saja dia berproses, bantu dia belajar islam agar ini menjadi ladang pahala juga untukmu" Ustadz Fajri tersenyum pada Shaima yang terlihat begitu bimbang.

"Mengajarkannya satu huruf hijaiyah walau itu Cuma Alif dan Syin akan menjadi nikmat bahagia yang takkan pernah kamu bayangkan, percayalah"

"Apakah aku bisa ustadz?" Satu lagi pertanyaan yang Shaima butuhkan, bukan semata untuk meminta jawaban tapi penguatan yang bisa meyakinkan hatinya.

STORGE PRAGMA LOVE AS IMAN RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang