Pukul sembilan lewat lima belas menit, dengan laju mobil yang pelan Sultan mengendarai mobilnya menuju pemukiman yang dulu dikunjunginya bersama Shaima. Perempuan itu berbinar bahagia, di pangkuannya ada setumpuk buku dan perlengkapan sekolah, sembako, serta baju-baju yang masih layak pakai.
Shaima menepati ucapannya mengumpulkan sumbangan dari beberapa orang temannya, bahkan Sultan ditodongnya untuk memberikan sejumlah bajunya yang masih layak pakai serta meminta sejumlah uang untuk membeli sembako.
Mereka punya banyak waktu kosong sebelum menunggu waktu ujiannya tiba. Jadilah beberapa hal selalu mereka lakukan berdua seperti mendatangi beberapa perpustakaan atau toko buku, membantu beberapa kegiatan komunitas seni, termasuk dengan mendatangi pemukiman itu hari ini.
Senyum dan tawa lebar terus diperlihatkan Shaima saat bersama anak-anak itu. Mereka bermain bersama bahkan makan di tempat yang sama. Duduk beralaskan tikar seadanya.
"Apa semenyenangkan itu melihat mereka?" Suara Sultan membuat Shaima beralih memperhatikan pria yang duduk bersila di sebelahnya.
"Bukan hanya menyenangkan tapi bersyukur..." Jawab Shaima sambil tersenyum pada Sultan yang bergerak membenarkan letak kacamata Shaima yang sedikit melorot dari hidungnya.
"Ternyata hal sederhana yang kita punya bisa menjadi sesuatu yang luar biasa bagi mereka saat mereka yang memilikinya"
"Sesederhana buku tanpa sampul ini menjadi sangat berguna di tangan mereka" Sultan menarik garis bibirnya dengan sangat tipis.
Shaima menelengkan kepalanya ke samping menunngu Sultan yang mungkin akan menanggapi ucapannya.
"Kenapa diam?"
"Tidak, aku cuma..." Pria itu berhenti sejenak, memperhatikan Shaima yang sepertinya penasaran dengan apa yang akan dia ucapkan.
"Aku suka kata 'sederhana' itu keluar dari bibirmu" Shaima terpaku mencerna arti kalimat yang diucapkan Sultan padanya.
"Apa kata sederhana itu berubah arti saat aku yang mengucapkannya?"
"Bukan katanya yang berubah arti tapi orang yang mengucapkannya memberi arti"
Sultan tersenyum kembali dengan sangat tipis sambil menyampirkan ujung jilbab Shaima yang menjuntai ke atas bahu perempuan itu.
Shaima berdecak ketika menyadari kalimat Sultan adalah sebuah pujian halus yang tak diucapkan secara gamblang.
"Cih...Memuji saja harus berbelit-belit"
*******
Sepulangnya dari pemukiman, Shaima akhirnya mau bercerita pada Vania tentang hubungannya dengan Sultan. Bagaimana pria itu memperlakukannya, terlepas dari sikapnya yang kadang dingin tapi Shaima tahu bagaimana cara melemahkan pria itu.
Yah, tentu saja dengan air matanya. Dia tahu bahwa pria itu tak bisa berkutik dengan air matanya.
Vania menyimak cerita Shaima yang tadi pergi dengan Sultan ke perkampungan kumuh untuk memberikan bantuan dari hasil sumbangan teman-temannya yang dikumpulkan beberapa hari yang lalu. Ada banyak yang memberikan bantuan, bahkan melebihi dari yang dia pikirkan.
"Jadi gimana dia sudah...." Vania menyatukan ujung jarinya sebagai tanda ciuman.
"Gimana rasanya dicium kak Sultan???" Shaima menjitak kepala Vania.
"Perempuan otak kotor. Kenapa nanyanya hal konyol sih, Van. Kita belum muhrim jadi gak boleh, kalau kata bapakku jangan mau jadi bekas bibir cowok manapun dan dengan alasan apapun"
"Halah..." Vania mencebik tak terima jawaban Shaima.
"Padahal kayaknya kak Sultan lumayan kayaknya kalau nyium. Kamu khilaf deh Sha, sekali-kali atau aku wakilin mau???" Shaima mengetok kepala Vania dengan buku di tangannya mendengar ucapan temannya yang tak ada akhlak itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
STORGE PRAGMA LOVE AS IMAN RASA
RomantizmKetika semua terjadi karena jalan yang telah ditentukan semesta. Aku... Kamu... Dan akhirnya jadi Kita... . Seperti rangkaian kata yang membentuk syair lagu yang diiringi melodi untuk membentuk nyanyian indah, seperti itulah kisah kita dimulai.