Prolog

312 24 0
                                    

Lingga berdiri di depan pintu kamar orang tuanya dengan semangat, menunggu sang kembaran yang bersikeras mau membukakan pintu padahal dia sama tak sampainya. Bocah berusia 4 tahun itu berjinjit kepayahan meraih gagang pintu dan membukanya lebar untuk sang adik.

Begitu pintu dibuka Lingga langsung mendorong pintunya dengan sekuat tenaga membuat Langga yang masih 'menggantung' di pintu ikut terseret.

"Pelan-pelan!" geram bocah itu. Lingga hanya tersenyum kepadanya dan bergumam maaf.

"Lingga? Gara? Sini sayang." Sang bunda yang sedang bersandar di ranjang menjaga seorang bayi memanggil dua putranya itu untuk mendekat.

Lingga langsung berlari dan naik ke ranjang. Membuat kasur itu sedikit bergoyang membangunkan sang bayi.

"Pelan-pelan! Nanti dia bangun Lingga!" Gara kembali mengomel pada saudaranya yang tak sabaran.

"Namanya siapa bunda?" Pekikan senang dari suara Lingga sangat ketara, anak itu sepertinya bahagia sekali punya adik baru.

"Yang ini namanya Aska, yang satunya Alas. Dua-duanya laki-laki sayang."

Gara yang menyadari ada kejanggalan dalam bundanya bertanya, "satunya?"

Bunda tersenyum sendu, tapi dua putra kecilnya sepertinya tidak menyadari hal itu.

"Adek yang satunya masih di rumah sakit, gak boleh pulang."

"Adeknya Lingga dua?!" Lingga salah fokus dengan informasi itu.

"Kenapa masih di rumah sakit? Kenapa gak ikut pulang sama bunda sama ayah kayak Aska?" Bundanya cukup mengerti jika putra pertamanya itu kritis. Gara sangat pemikir dan suka mengamati sekitarnya, dia anak yang cerdas dan cenderung fokus pada hal-hal kecil. Berbeda dengan Lingga yang memiliki empati tinggi yang cenderung fokus pada hal-hal besar dan ekspresif sekali.

"Adeknya masih sakit sayang, nanti kita jenguk ke rumah sakit ya."

"Lingga mau ikut ke lumah sakit!"

"Rumah sakit! Dasar cadel!" Gara mengoreksi ucapan Lingga sekaligus mengejeknya.

"Gala gak usah diajak bunda!" Lingga berteriak dengan muka polosnya. Dia tak terlihat marah atau pun kesal, dengan lucunya mengucapkan kalimat yang kontradiktif sekali dengan ekspresi wajahnya.

"Gak boleh gitu abang, udah jadi abang masak mau berantem hayo di depan adeknya."

Lingga dan Gara saling pandang lalu Lingga mengulurkan tangan lebih dulu yang langsung dijabat oleh Gara.

"Lingga gak mau dipanggil abang bunda, itu buat Gala aja. Lingga panggilnya mas! Bial beda!" Ucap balita itu semangat.

Gara mengangguk setuju, "iya nanti pas dipanggil biar gak ketuker."

Bunda tertawa dengan percakapan kedua putranya. Mereka memang kembar tapi tak sesulit itu untuk membedakan keduanya. Lingga punya tahi lalat di ujung bawah mata kirinya sedangkan milik Gara di kanan.

"Iya deh, sekarang mas Lingga sama abang Gara tidur ya. Besok pagi kita ketemu adek."

"Bunda Lingga mau tidul disini."

"Iya disini sama adek ya, Gara mau disini juga?" Anak laki-laki itu diam tapi langsung naik ke kasur dengan telinga yang merah. Gara ini memang tsundere sekali, di usianya yang baru mau memasuki taman kanak-kanak ia sudah mulai merasa malu jika berganti pakaian di satu ruangan dengan Lingga.

"Nama panjangnya Aska siapa bunda?" Lingga kembali memulai percakapan setelah tadi sibuk menata posisi tidur. Bunda ada di ujung samping kiri, lalu ada Aska, Lingga, baru Gara di ujung satunya yang pinggirannya sudah diganjal bantal oleh bunda.

J.E.V.A [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang