3. Si Sulung Nomor 1

169 24 0
                                    

Gara baru keluar dari lab setelah praktek anatomi. Ia masih dengan jas labnya keluar dari gedung kedokteran menuju parkiran.

"Mau langsung pulang Al?" Seorang gadis menyapanya sambil membawa beberapa tumpuk buku. Namanya Rani, gadis cantik saingannya dalam berdebat di kelas.

Gara meliriknya sekilas sebelum menghela nafas dan merebut tumpukan buku yang dibawa gadis itu.

"Mau kemana?" Gadis yang awalnya terkejut tiba-tiba bukunya berpindah tangan hanya berusaha menahan diri untuk tidak terlalu senang, sebab Gara memang seperti itu orangnya.

"Sama ke parkiran. Aku juga mau pulang, capek." Keluhnya. Laki-laki itu hanya mengangguk mengerti.

"Padahal kamu ganteng lho Al, baik, pinter, gentle lagi. Kok bisa cowok sesempurna kamu gak punya pacar." Gara melirik sekilas sebelum benar-benar memalingkan wajahnya. Ia tidak suka bahasan ini.

"Gue sulung di rumah, gak ada waktu buat pacaran. Gue punya adek-adek yang harus gue urusin."

"Tapi kan adek-adek kamu udah gede, pasti dikit lagi mereka punya pacar. Lagian kan ada ayah sama bunda kamu." Gara menghentikan langkahnya menatap gadis itu jengkel. Menyerahkan kembali tumpukan gadis itu pada pemiliknya.

"Itu urusan gue, gak usah ikut campur. Lagian gue mau pacaran atau gak, apa hubungannya sama lo?"

Laki-laki itu berlalu masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Rani di parkiran. Ia tersenyum kecut mendengar ucapan Gara, apa hubungannya? Ya, mereka memang hanya teman. Tapi jujur saja siapa yang tidak jatuh cinta pada orang seperti Gara? Walaupun laki-laki itu terkesan cuek dan jutek, ia sangat baik dan perhatian.

"Ada hubungannya, karena aku suka kamu."

∆_∆

Gara mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, ia masih memikirkan ucapannya pada Rani tadi. Apa ia sudah keterlaluan ya? Dia bukannya tidak peka jika gadis itu memiliki rasa, tapi Gara benar-benar tidak peduli apapun selain saudara-saudaranya. Terakhir ia pacaran itu SMA, setelah putus ia tidak mau pacaran lagi. Itu pertama dan terakhir kali, pacaran itu merepotkan menurutnya.

Hp nya berdering, menampilkan nama 'Jeva' sebagai pemanggil. Ia menekan icon hijau dan me-loudspeaker panggilannya.

"Kenapa Jev?" Terdengar grasak-grusuk di seberang, lalu nafas Jeva yang tersengal.

"Abang, dimana? Jeva s-sesek bang." Terdengar nafas adiknya makin pendek-pendek membuat Gara panik.

"Kamu dimana?" Ada jeda sebelum adiknya menjawab.

"Di rumah."

"Abang pulang sekarang. Jangan dimatiin telponnya Jev."

Tanpa pikir panjang Gara menancap gas mobilnya dengan kecepatan tinggi. Saat sampai di rumah ia tidak mendapati motor Lingga yang seharusnya tidak kemana-mana hari ini, Java juga sepertinya belum pulang. Pantas saja Jeva menelponnya.

Jeva ada di ruang tamu, terbaring di sofa masih menggunakan seragam. Gara dengan cepat menghampiri sang adik, menyentuh dahi serta lehernya.

"Abang?" Ia membuka matanya sedikit, melihat Gara yang datang masih dengan jas dokter dan kacamata bulatnya.

"Kamu habis ngapain?" Gara mengecek kondisi tubuh Jeva. Kulitnya memerah, panas, dan kering. Nafasnya cepat dan pendek-pendek, detak jantungnya juga meningkat.

Tak mendapat jawaban dari Jeva, Gara dengan cekatan memberikan penanganan. Ia pergi ke kamar orang tuanya untuk mengambil handuk, kamar itu paling dekat soalnya. Membasahinya dan kembali pada Jeva yang masih terbaring di sofa ruang tamu. Gara membuka kaos sang adik dan melapiskan handuk basah itu ke tubuhnya.

J.E.V.A [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang