Jeva mengamati pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya pucat, matanya sedikit sembab, bibirnya kering, hidungnya masih merah sedikit. Sangat kacau, anak itu meremat pelan dadanya yang terasa nyeri. Sakitnya dari kemarin, mungkin gara-gara ia menangis di bawah selimut semalaman. Ia tidak merasakan kehadiran Java sama sekali di kamar kemarin, tidur dimana saudaranya itu?
Ia menenteng tas ransel yang sudah ia siapkan di atas kasur. Turun ke bawah untuk sarapan bersama.
Ia menarik kursi meja makan dan sama sekali tidak ada yang terusik. Gara duduk masih fokus dengan laporan-laporan di tangannya, Java fokus memakan sarapannya sendiri mendahului yang lain, sedangkan Lingga fokus dengan ponselnya. Ia merasakan atmosfer canggung yang kuat sekali, keheningan di ruang makan membuat kepalanya pening.
"Anu ... "
"Ayah sama bunda nanti balik dari luar kota. Setelah ini uang saku bunda yang pegang." Gara mengucapkannya dengan tegas dan tanpa merasa bersalah menyela Jeva yang hendak bicara.
"Anu ... "
"Gak masalah." Lagi-lagi ucapannya disela, kali ini oleh Lingga.
"Bang ... "
"Gue selesai, duluan." Gara hendak beranjak tapi Jeva berteriak lebih dulu.
"Aku mau ngomong sesuatu, dengerin dulu! Sebentar aja." ucapnya dengan nada memohon di akhir. Semua saudaranya diam, memperhatikan yang lebih muda sekarang.
"Maaf, maaf buat keegoisan ku. Maaf buat masalah yang udah aku lakuin. Maaf udah buat abang sama mas Lingga gak percaya ke aku. Maaf Jav, gue gak bermaksud ngelukain lo. Maafin Jeva ya." Usai mengatakan itu ia pergi keluar rumah, meninggalkan ketiga saudaranya yang masih diam mencerna permintaan maaf si bungsu.
Lingga berdecak, beranjak dari duduknya hendak menyusul yang lebih muda tapi Gara menahannya.
"Gue mau minta maaf ke lo. Maaf, gue gak pernah dengerin lo. Maaf kalo' ternyata cara gue bikin lu sakit Lingga."
Lingga menggeleng, ia sudah setengah mati merasa bersalah atas ucapannya kepada saudara-saudaranya. Mendengar Gara berucap maaf lebih dulu, ia semakin merasa bersalah.
"Gue yang harusnya minta maaf, gue keterlaluan sama kata-kata gue kemaren. Maaf ya gar." Lalu ia menoleh ke Java yang masih diam di meja makan memperhatikan mereka berdua.
"Maaf Java, Gue ... Gue gak bermaksud buat—"
Java memeluknya tanpa aba-aba membuat Lingga menghentikan ucapannya
"Gak perlu minta maaf mas. Kita semua salah, kita salah paham. Gak masalah. Sekarang Java tau posisi mas Lingga ataupun bang Gara berat juga."
Rasanya semua beban dipundak dua sulung itu luruh saat Java berucap demikian.
"Makasih." lirih sekali Lingga mengucapkan dengan nada lega yang ketara.
Gara kemudian menarik kerah belakang Java untuk menjauh dari saudara kembarnya. Yang paling muda merengut tak suka dengan tangan yang disilangkan. Ia tak suka ditengeng seperti kucing oleh Gara dan itu membuat Lingga terkekeh geli.
"Udah pelukannya, nanti Jeva iri gak diajak pelukan." Mendengar nama si bungsu satu lagi disebut mereka jadi tak sabar untuk meluruskan semua ini saat mereka bertemu. Terlebih Java akan bertemu dengannya sebentar lagi di sekolah.
∆_∆
"Halo? Kenapa Rav?" Jeva berdecak sebal karena Raven sejak tadi memberikan spam padanya.
"Tolongin gue Jev, gue dikeroyok." Jeva melotot mendengar ucapan Raven yang terkesan santai.
"Dimana?" Ia tidak tau bisa bantu apa, yang penting datang saja lah.
"Ini di simpang tiga Hariana. Gue udah gak kuat lari Jev, cepet ya."
Jeva mengantongi ponselnya dan segera berlari menuju simpang tiga yang dimaksud tanpa memperdulikan keadaannya. Padahal tadi saat berangkat nafasnya sudah pendek-pendek walaupun hanya duduk di bus.
Ada beberapa segerombol siswa yang seragamnya sudah berantakan melewati gang. Jeva bersembunyi dibalik beton tak mau ambil resiko dicurigai karena seragamnya sama dengan miliki Raven. Ia tidak mau mati konyol dengan dipukuli segerombolan siswa yang ia tidak tau siapa.
"Ahkk—mmphhh!" Baru saja akan berteriak karena tiba-tiba ditarik, Raven dengan sigap membekap mulut Jeva agar tidak ketauan.
"Ini gue, Jev. Santai!" Jeva menoleh ke belakang dan mendapati Raven yang sudah babak belur. Seragamnya dikeluarkan dan rambutnya awut-awutan.
"Lo kalo' mau tawuran gak usah ngajak-ngajak kek elah! Mereka siapa sih?"
"Anak-anak dari SMA gue yang lama. Dendam sih kayaknya karena habis gue gebukin, gue pindah hehe." Jeva menatapnya tak percaya.
"Yaudahlah serah! Sekarang ini gimana kaburnya? Itu ada 5 sampek 7 orang paling. Gila lo ya! Gak ngotak lo!"
"Lah ngapa kabur? Lawan aja lah, gue telpon lo supaya ada yang bantuin mukul."
"Gila! Gue gak bisa pukul orang! Harusnya lo telpon Java aja kalo' gitu!" Raven menoleh pada Jeva dengan tatapan shok.
"Mukul gak perlu skill Jev, pukul mah pukul aja! Lo cuma butuh emosi!"
Raven menariknya keluar dari tempat persembunyian lalu mereka menggiring anak-anak yang mengejarnya ke lahan kosong dekat lapangan sepak bola. Biasanya disana akan ramai jika menjelang sore tapi karena ini masih pagi, masih jam masuk sekolah pula maka dari itu tempatnya masih sepi.
"Woy bajingan! Mau kabur kemana lo?!" Raven berhenti berlari, Jeva yang tidak menyangka Raven akan berhenti malah menabrak punggung temannya itu.
"Gak kabur!" jawabnya sengak dan mendapat tatapan 'yang bener aja lu anjing?!' dari Jeva.
Dan yah akhirnya terjadi duel satu lawan satu, awalnya terlihat imbang bahkan Raven terlihat akan menang tapi saat mereka menyerang bersama-sama anak itu terlihat kewalahan. Jeva yang tidak punya basic bela diri sebelumnya bingung harus melakukan apa. Ia menarik ponselnya dari saku celana dan menyalakan sirene polisi dengan volume full membuat anak-anak itu lari terbirit-birit, meninggalkan Raven yang tengah terbaring di rumput yang basah.
Raven terduduk dan mengacungkan jempol ke arah Jeva, "Cerdas juga lo."
Jeva tersenyum mendengar pujian yang dilontarkan temannya sebelum ia merasakan jika jantungnya berdegup tak beraturan, nafasnya pendek-pendek. Ia meremat dadanya yang terasa nyeri dan ambruk bersimpuh di tanah membuat Raven panik.
"Heh! Jev! Kenapa?!" Jeva tak sanggup berkata apapun dan hanya menunjuk ponselnya yang tergeletak di tanah.
∆_∆
"Jeva belum dateng ya?" Java mencegat salah seorang temannya yang ia kenal di depan kelas saudara kembarnya. Sebab Jeva sudah berangkat lebih pagi tapi ia sama sekali tak melihat adiknya itu di kelas.
"Lah? Kok tanya gue sih Jav, kan lo kembarannya!" Malah jawaban menyebalkan yang Java dapat dari temannya itu, membuat Java menatapnya jengkel. Ya tidak salah juga sih sebenarnya.
"Hehe canda Jav! Gak ada tuh adek lu dari tadi, gue di kelas mulu perasaan. Gak keliatan Jeva nongol ini."
Java meninggalkan laki-laki itu begitu saja tanpa mengucapkan terimakasih. Ia merogoh kantong celananya menghubungi nomer sang adik.
"Halo? Dimana Jev?"
"Gue bukan Jeva, sekarang lo ke rumah sakit ini deh buru." Java mendengar suara Raven yang menjawab panggilannya bukan Jeva.
"Mana adek gue? Kenapa dia?" tanyanya dingin dan hanya di jawab decakan oleh Raven di seberang.
"Udah buru cepet dateng, adek lo sesek ini."
"Shareloc!"
___________________________________________
End Note.

KAMU SEDANG MEMBACA
J.E.V.A [Tamat]
Short StoryCerita keseharian seorang bungsu keluarga Diaskar yang dimanja seisi rumah. Bahkan sampai supir, tukang kebun, dan pembantunya ikut memperlakukannya bak pangeran kecil yang harus dilayani. Saat kecil si bungsu menyukainya, tapi seiring berjalannya w...