Mikael terdiam.
Pertanyaan yang keluar dari mulut sang pemburu terasa bagaikan bayangan yang ikut menyeret sang warlock untuk berkelana di dalam hutan halusinasi yang tengah melingkupi benak Jonathan. Netranya yang berwarna kecokelatan perlahan berada dalam sudut yang diselaraskan dengan milik Jonathan yang sewarna jelaga. Keduanya saling bertatapan selama beberapa waktu. Mikael dapat menelisik pendar kebingungan yang membuat sang pemburu tampak begitu polos, bagai bayi serigala yang masih belum belajar tentang bahaya dari seluk beluk hutan yang liar.
Binar dalam matanya masih tampak terlalu suci untuk seorang pria dengan kemampuan tinggi untuk melakukan genosida terhadap suatu koloni 'anak malam'. Rasanya seakan sang warlock tengah berhadapan dengan Jonathan di masa kecilnya dulu. Penuh dengan rasa keingintahuan dan begitu lugu, rentan terhadap pemberian afeksi kecil yang dapat menjerumuskannya dalam kepercayaan buta.
"Apakah kau menyukai mataku yang berwarna kuning itu, Tuan Muda?"
Napas pria di seberang kursi Mikael itu terhela dengan ketidaksukaan. "Bukan Tuan Muda. Namaku Jonathan," ujarnya sembari menopang dagu di atas punggung tangannya.
"Apa kau menyukai warna mataku, Jonathan?" tanya Mikael mengulang pertanyaannya, kali ini dengan menyebut nama sang pemburu.
Kepala pria di hadapannya itu mengangguk pelan dengan sorot mata yang begitu lembut, seperti tengah mengutarakan kekaguman yang murni dan tulus. Seolah-olah, dunia di sekitar lingkup pandang Jonathan telah menyempit dan berpusat pada wajah elok sang warlock. "Aku tidak mengira kalau aku akan bertemu denganmu di sana, setelah sekian lama ...."
Mikael tersenyum lembut dan mengulurkan tangannya ke jemari Jonathan, menyentuh ujung jemari pria tersebut dengan jemarinya sendiri.
"Aku memiliki urusan untuk dibicarakan dengan Tuan Ghast. Tapi, bukankah harusnya aku yang mengatakan hal seperti itu? Aku tahu kalau kau bukan penggemar keramaian dan tempat bising seperti itu, Jonathan. Apa yang akhirnya membawamu ke sana?"
Jemari Jonathan bereaksi dari sentuhan Mikael dengan perlahan. Ibu jari dan telunjuknya mengusap permukaan ruas kedua dari jari tengah sang warlock dengan teramat lembut. Terdapat waktu jeda sebelum sang pemburu kembali membuka bibirnya untuk menjawab perkataan Mikael. Netranya beralih memperhatikan jemari-jemari ramping sang warlock yang dihiasi dengan beberapa cincin perak di pangkal ruasnya. Benak Jonathan berusaha keras untuk menyusun kata demi kata yang dapat ia sampaikan pada Mikael, tapi perhatiannya terus teralihkan dengan rincian-rincian sederhana yang ditangkap oleh netranya.
Rasanya, pria itu melewatkan banyak detail tentang warlock yang membantunya menyegel ruang kerja sang ayah di kediaman Sterling tersebut selama ini. Apakah dulu netranya tampak sejernih sekarang ini? Apakah helaian rambutnya tampak begitu lembut dan jatuh dengan sempurna seperti sekarang ini sejak dahulu? Apakah jemari-jemari rampingnya selalu dihiasi dengan aksesori perak? Apakah warna kesukaannya segelap langit malam yang gulita? Apakah tatapannya terasa begitu lembut dan penuh pengertian seperti sekarang ini?
Apakah selama ini sebenarnya Jonathan telah menjadikan Mikael sebagai satu-satunya orang yang dapat ia percaya untuk menyaksikan kelemahannya selain Arthur, sang kepala pelayan, tanpa dia sadari?
"Ada pemuda yang dibujuk untuk memberikan darahnya di kelab itu dan keracunan ichor hingga tidak sadarkan diri selama beberapa waktu. Aku menampungnya di manor untuk sementara sampai aku menemukan pelakunya. Tapi, aku belum berhasil menanyai informasi apapun selain ke Camille."
Kepala Mikael mengangguk dengan paham setelah mendengar penjelasan ringkas dari sang pemburu. "Aku dapat membantumu, jika kau berkenan."
Bola mata Jonathan kembali bergulir ke arah wajah Mikael, menatap pria itu dengan secercah harapan yang sedikit demi sedikit timbul ke permukaan netranya. Kedua sudut bibir pria di hadapannya terangkat naik secara bersamaan dengan garis lengkung yang lembut tercipta di tengah. Pikiran Jonathan malah menjadi berkecamuk ke arah yang lain setelah terlalu lama memandangi rupa elok seramah peri-peri hutan yang bersukacita di tengah tarian musim panas itu.
Dadanya kembali terasa seakan tengah dihimpit dengan sesak dan hal-hal yang ia tidak ketahui betul penyebabnya apa. Jantungnya berdegup gaduh, seolah-olah raganya tengah diajak berlari kencang mengitari tepian danau yang berada di bagian halaman belakang kediaman Sterling.
Namun, pada akhirnya, pikiran intrusifnya berakhir terdorong dengan impuls yang terlalu menuntut untuk diikuti.
Raga sang pemburu tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya, kemudian bergerak condong ke arah depan dengan tangan yang meraih tengkuk sang warlock. Kedua kelopak mata Jonathan terpejam dengan antusiasme yang menjalar ke seluruh syaraf di dalam tubuhnya saat bibir pria itu mendarat sempurna pada bibir tebal Mikael.
Mimpi-mimpi yang ditepisnya selama satu dekade belakangan seperti kembali hidup, memenuhi benak Jonathan dengan angan dan harap-harap—akan sepotong kebahagiaan yang terwujud dalam dunia penuh kesadarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[ yungi au ]: 𝐕𝐄𝐍𝐀𝐓𝐎𝐑
FanfictieJonathan sejujurnya tidak tahu mengapa semua itu menimpa keluarganya. Mengapa harus ia yang menanggung semua duka itu? Apakah semua kebahagiaan harus ditebus dengan kesedihan dan kehilangan? Apa Jonathan harus mengembannya seorang diri atau lebih ba...