1. Adeknya Abang

442 31 1
                                    

Dua motor masuk ke garasi rumah setelah dibukakan pintu oleh pak Pardi, tukang kebun keluarga Diaskar. Java turun dari motor Gara dengan raut wajah yang takut, kebalikannya sang abang membuka helm memperlihatkan raut wajah marah yang ketara. Alisnya menukik tajam, tatapannya sinis menghujam selaras dengan wajah galaknya yang mendukung. Di motor satunya Jeva turun dengan perasaan was-was, ia khawatir dengan keselamatan saudara kembarnya di tangan si sulung. Sedangkan Lingga masih tenang bak genangan air yang tak terusik. Ia malah masuk ke dalam rumah terlebih dulu tak lupa menyuruh Jeva masuk juga.

"Masuk Jev." Jeva melirik kembarannya sekilas lalu menuruti perintah masnya. Gara tanpa berkata apapun mengikuti Lingga di belakangnya untuk masuk rumah.

Java menggeram frustasi. Ia menjambak rambut belakangnya kesal dan mengikuti langkah saudara-saudaranya masuk ke rumah.

"Duduk!" Perintah Gara mutlak pada Java yang baru saja menginjakkan kaki di ruang keluarga.

Ketiga saudaranya sudah duduk berjejer di sofa, tapi Lingga memberi sekat antara dia dan Gara. Sepertinya kakak kembarnya itu tidak mau banyak ikut campur masalah Gara yang mau menatar dirinya.

Java duduk di ottoman yang letaknya diujung berhadapan dengan posisi duduk Gara. Tepat saat bokongnya menyentuh kursi Gara melempar surat panggilan sekolah ke meja. Si sulung menatap adiknya tajam, tak terlewatkan seincipun wajahnya yang luka-luka. Sempat mimisan juga katanya sampai menodai seragam putih abu-abu yang ia kenakan.

"Baru hari pertama sekolah, mau jadi apa?" Pertanyaan dingin itu diucapkan si sulung. Java hanya diam menunduk tak berani menatap ataupun menjawabnya.

"Untung ayah sama bunda gak ada di rumah. Lo belum pernah diamuk ayah, kan? Belum pernah liat tatapan kecewa bunda, kan? Kalo cuma masalah sepele gak usah digede-gedein. Bocah! Lo udah masuk SMA, tinggalin pikiran kanak-kanak lo itu di SMP. Berantem sampek segitunya, apa yang mau lo banggain? Sok jago!"

Lingga meringis mendengar rentetan omelan kembarannya pada Java. Ia sama sekali tidak membentak, tapi nadanya yang dingin serta menusuk cukup menyakiti hati adik kecilnya.

"Abang." Jeva buka suara di tengah suasana yang menegangkan itu. Mata ketiga saudaranya tertuju padanya. Tatapan tajam Gara beralih menatap yang paling muda dan itu membuat nyalinya ciut.

"Itu bukan salah Java, dia berantem buat Jeva, maaf," ucapnya gugup. Keliatan sekali dari cara bicaranya yang menunduk dan memainkan jari tangan.

Jeva memberanikan menatap mata saudaranya. Java berterima kasih lewat tatapan matanya, tapi ekspresi Gara tetap tidak berubah.

"Ck! Lain kali kamu jangan diem aja, lawan kalo emang mereka macem-macem sama kamu. Gak usah takut. Java gak bakal selalu ada buat ngelindungin kamu, belajar lindungin diri kamu sendiri."

"Gue bakal selalu sama dia kok bang. Gak masalah gue dihukum mulu, yang penting Jeva gak papa, kan?"

Lingga tak setuju dengan pernyataan Java. Anak itu tetap harus bisa bertanggung jawab untuk dirinya sendiri.

"Gue ngerti sih maksud lo Jav, tapi Jeva harus tetep bisa ngelawan. Dan lo harus bisa nahan lain kali, mau pindah-pindah sekolah lagi kalian cuma gara-gara poin berantem penuh?"

Saat SMP kedua adik kembarnya itu sudah pindah 3 kali tiap poin kenakalan Java hampir mencapai limit, bunda dan ayah tak mau ambil resiko jika putra mereka tidak naik kelas. Walaupun Java pintar sekalipun, sekolah enggan menaikkan anak itu jika perilakunya masih seperti preman. Bunda terlebih lagi ayah, tak mempermasalahkan sebenarnya soal Java yang berkelahi untuk membela kembarannya. Karena Jeva memang jarang mau melawan jika dibully, jadi ayah dan bunda biarkan Java yang turun tangan.

J.E.V.A [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang