AM 1

1.6K 86 2
                                    

Hari ini, Haechan berangkat lebih awal ke kantor, melangkah dengan cepat seperti angin yang menyapu pagi. Beberapa jam lagi, ia harus menghadiri kuliah yang akan memakan waktu hingga sore. Sejak enam bulan lalu, Haechan menjalani magang di kantor ini, dan selama itu pula, Jeno menyembunyikan perasaannya dengan rapat, hanya mencintai Haechan dalam diam.

Sesampainya di kantor, Haechan segera menyelesaikan berkas-berkas yang belum selesai kemarin.

"Tumben datang pagi, Chan?" sapa salah satu anak magang yang kebetulan lewat.

"Iya, ada kelas setelah ini, jadi buru-buru," jawab Haechan sambil tersenyum.

Tiba-tiba, seseorang menyodorkan secangkir minuman dan makanan padanya.

"Sibuk boleh makan, jangan lupa," ujar Renjun, sahabat Haechan dengan penuh perhatian.

Haechan memeluk Renjun erat, "Aaa, makasih banyak!" serunya dengan senyum yang cerah.

"Ya sama-sama, Chan. Gue lanjut kerja dulu, bye!" ucap Renjun dengan santai.

Haechan mengangkat jempol, lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya.

Beberapa saat kemudian, Jeno tiba dengan asisten pribadinya. Semua karyawan serentak berdiri untuk memberikan hormat pada Jeno yang tampak begitu anggun di hadapan mereka.

Tepat saat waktu makan siang tiba, Haechan pergi ke kampus. Ia tiba tepat waktu, bersamaan dengan dosen yang baru saja memasuki ruangan.

Sementara itu, Renjun yang sedang makan siang di kantor mulai merasa ada yang kurang. Ia mencari-cari Haechan, namun tidak menemukan sahabatnya itu. Ia melihat atasan beserta asisten mereka juga menuju ke kafe, seolah sedang mencari seseorang.

Jeno terlihat resah, matanya mencari-cari Haechan.

"Nyari siapa sih,?" tanya Jaemin, asisten Jeno.

"Anak magang itu, Haechan. Kemana dia?" tanya Jeno, dengan raut wajah yang sedikit cemas.

"Asisten gue udah memberi tahu, katanya dia ada kuliah hari ini, mungkin pulangnya sore," jawab Jaemin.

Jeno mengangguk pelan, menandakan bahwa dia paham, lalu duduk di salah satu meja.

Tiba-tiba, ponsel Haechan bergetar, menandakan panggilan masuk.

"Ya, halo," jawab Haechan.

"Halo, apakah ini saudara Haechan?" suara di seberang sana terdengar khawatir.

"Iya, saya Haechan. Ada apa?" jawabnya, sedikit cemas.

"Saya dari rumah sakit. Kami ingin memberitahukan bahwa ibu Anda sedang dalam kondisi kritis akibat kecelakaan."

Haechan terdiam, tubuhnya seakan kaku mendengar kata-kata itu. "Ibu saya?" suaranya tercekat.

"Iya, kami mohon Anda segera datang. Kondisi pasien semakin memburuk," lanjut suara itu.

"Baik, saya akan segera ke sana," jawab Haechan dengan suara yang terdengar hampir pecah.

"Saat ini, kami tunggu di Samsung Hospital," kata perawat itu, sebelum panggilan terputus.

Haechan berlari keluar dari gedung kampus, langkahnya cepat dan penuh kecemasan, menuju rumah sakit yang tak jauh dari kampusnya. Sesampainya di sana, ia melihat keadaan ibunya yang semakin memburuk, pendarahan di otak yang memprihatinkan.

Dengan wajah yang penuh keputusasaan, Haechan menunduk, bibirnya bergumam lirih, "Ya Tuhan, tolong selamatkan ibuku."

Air mata mengalir tanpa suara, Haechan hanya terisak dalam kesendirian, merasa seolah dunia ini runtuh. Ia hanya memiliki ibunya, hidup bersama di apartemen sederhana, jauh dari kemewahan. Namun, semua itu tampak tak berarti ketika kehidupan ibunya terancam.

Ponsel Haechan berdering lagi. Panggilan dari Renjun.

"Ya, kenapa, Njun?" suara Haechan terdengar tegang.

"Chan, lo nangis?" tanya Renjun, dengan suara yang mulai cemas.

Di meja sebelah, Jeno yang sedang makan mendengar nama Haechan disebut. Ia langsung menoleh, matanya seolah tertarik pada percakapan yang tak terduga.

"Ibu... ibu...," suara Haechan terbata-bata, "Ibu kecelakaan, dia kritis, aku nggak tahu harus bagaimana, Njun... hiks..." Haechan tersedu, tak bisa menahan rasa sakitnya.

"Gue kesana, tungguin gue. Rumah sakit mana?" suara Renjun terdengar cepat dan penuh kepanikan.

"Samsung Hospital, dekat kampus," jawab Haechan, hampir tak bisa mengucapkan kata-kata dengan jelas.

"Gue kesana, sabar ya, Chan."

"Gue tunggu," jawab Haechan, hampir terisak.

Renjun segera berdiri. Jeno yang mendengar percakapan itu, dengan cepat berdiri dan menatap Renjun.

"Renjun, ada apa?" tanya Jeno, dengan nada sedikit serius.

"Ibu Haechan kecelakaan, beliau sekarang kritis. Saya harus ke sana menemui Haechan," jawab Renjun dengan terburu-buru.

"Biar saya saja yang menemui Haechan," ucap Jeno, suara lembut namun tegas.

"Tidak, Pak. Jangan merepotkan. Saya yang akan ke sana," jawab Renjun cepat.

"Di rumah sakit mana?" tanya Jaemin, asisten Jeno, dengan memberi kode halus pada Renjun agar memberi jalan bagi Jeno.

"Samsung Hospital," jawab Renjun, dengan sedikit cemas.

Jeno tak menunggu lama, langsung pergi menuju rumah sakit, langkahnya terburu-buru namun penuh tekad.

Renjun hanya bisa tersenyum simpul dan Jaemin merasa gemas melihat sikap Renjun. Lucunya, pikirnya dalam hati.

Sesampainya di rumah sakit, Jeno berjalan menelusuri lorong rumah sakit, bertanya pada perawat, hingga akhirnya ia menemukan Haechan yang duduk di sana, lesu, dengan tubuh gemetar. Ia mendekat perlahan, berhenti tepat di depan Haechan, lalu berlutut.

"Haechan," panggilnya lembut.

Haechan mendongak, wajahnya memerah karena air mata yang sudah menggenang. Dengan cepat, ia menundukkan kepala.

"Kenapa Pak datang kemari?" tanya Haechan, dengan nada kaget.

Tanpa berkata lebih lanjut, Jeno meraih tubuh mungil Haechan dan memeluknya erat. "Menangislah, Haechan. Jangan terus berpura-pura kuat," bisiknya lembut, sambil mengelus punggungnya yang bergetar.

Dalam pelukan itu, Haechan menangis dengan sesungguhnya, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang sejenak melupakan kepedihan yang ia rasakan.

BERSAMBUNG...

Anak Magang  (nohyuck)✔✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang