POV : RAYYA NADIRA ARIADINATA
.
.
.Ini adalah ceritaku ketika keinginan membunuh begitu terasa, bukan! aku bukan psikopat ataupun pembunuh bayaran. Aku hanya seorang gadis kecil yang menjadi bungsu dalam keluarga, mungkin beberapa kalian akan mengira jika aku menderita gangguan jiwa dan sebagainya, tapi kenyataan rasa ingin membunuh itu benar-benar hadir dalam diriku, aku begitu membencinya lelaki bedebah yang begitu manja juga bodoh.
Aku anak terakhir dari tiga bersaudara, kakak pertamaku seorang laki-laki kemudian kakak keduaku adalah perempuan. Dan ketiga adalah aku, manusia paling berbeda diantara keduanya, aku juga merasa heran kenapa aku ditakdirkan berbeda dari saudara-saudaraku.
Tapi percaya atau tidak justru akulah yang paling mencintai kedua orang tuaku, mungkin efek karena aku anak terakhir? Tapi memang kebanyakan anak terakhir akan mengabadikan hidupnya untuk kedua orangtua. Jujur saja aku tidak mempersalahkan hal ini, namun karena rasa cintaku kepada kedua orangtua begitu besar, aku jadi merasa paling tersakiti jika kedua orangtuaku sedang sakit.
"Bibi! Bisa biasa aja kalo ngomong sama mamaku? Jaga nada biacaranya!"
Bibi yang mendengar aku berucap seperti itu memelototiku dengan kedua bola mata jeleknya, aku jadi merasa kasihan pada mata keriput lagi layu itu.
"Kamu gak sopan sama yang tua hah!!! Anak kecil gak usah ikut campur!"
Auchh... Kalian bisa mendengarnya? Suara cempreng lagi menusuk gendang telinga itu begitu menyakitkan! Kedua tanganku reflek menutup daun telingaku yang terasa panas akibat nada setengah tingginya. Bahkan nada setengah tinggi miliknya bisa terasa sangat menyakitkan! Maklum saja dia tak memiliki anak untuk menetralisir suara, huh.
"Bibi yang gak sopan! Ngapain ikut campur urusan keluarga orang hah?! Mana bentak-bentak mama lagi, cih..." Aku mengerlying malas, bahkan wajah tuanya sangat terlihat menjijikkan!
Inilah keluargaku, keluarga menyebalkan yang begitu aku cintai kecuali si bedebah dan para perusuhnya.
----
Sejak kecil aku sangat menyukai beladiri, entah apapun itu bentuknya aku selalu berusaha mempelajarinya. Aku memang seorang gadis namun jiwa lelakiku lebih dominan, menyukai barang lelaki dan juga hobi lelaki pada umumnya. Mungkin bukan hanya diriku sendiri yang memiliki ketertarikan pada dunia lelaki seperti ini?
Di luar sana aku yakin bahwa masih banyak sekali sosok sepertiku!
Walaupun terkadang cibiran-cibiran kecil selalu hadir, aku tak mempersalahkanya aku tetap acuh dengan hal itu semua, tapi jika cibiran itu berubah semakin besar maka aku tak bisa menahan untuk mempraktekkan salah satu materi beladiri yang aku pelajari.
Toh mereka dulu yang memulai.
Seperti kebanyakan anak bungsu lainnya juga, aku kerap sekali mendapatkan apa yang aku inginkan tanpa berusaha keras. Orangtuaku cukup mampu jika sekedar membeli ini itu, tapi.... Satu hal yang sangat sulit aku dapatkan!
Izin keduanya!
Wah... Itu memang lebih sulit daripada mendaki gunung kurasa?!! Kenapa para orangtua begitu pelit kepada anakbungsunya sih? Jangankan menyebutkan alasannya baru mengatakan saja sudah ditolak.
"Maa temenku mau..."
"Gak boleh!"
Astaga! Kenapa insting mereka begitu kuat! Aku hanya ingin bermain sedikit lebih jauh dari tempat tinggalku ini, mengeskplor alam yang katanya indah itu! Ah.. Nasib sekali anak bungsu yang tak pernah tau dunia luar ini.