10

0 0 0
                                    

Malam itu, Dannia dan Younghoon meninggalkan altar dengan langkah mantap, meskipun di hati mereka masih ada rasa cemas. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah. Setiap langkah menuju perubahan akan menghadapi banyak tantangan, terutama dari pihak-pihak yang masih terikat pada tradisi dan kekuasaan lama.

Di dalam hutan, mereka berhenti sejenak untuk mengumpulkan pikiran. “Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?” tanya Younghoon, memecah keheningan yang tegang. “Kita perlu meyakinkan kedua pihak bahwa perdamaian adalah satu-satunya jalan.”

Dannia mengangguk, memikirkan setiap kata yang diucapkan. “Kita harus bertemu dengan pemimpin masing-masing kelompok. Kita perlu merancang rencana untuk memfasilitasi pertemuan ini.”

Mereka memutuskan untuk kembali ke Crimson Ridge, tempat di mana semua ketegangan ini bermula. Saat mereka melangkah ke desa, langit mulai cerah, menciptakan suasana yang lebih cerah dari sebelumnya. Namun, ada sesuatu di wajah penduduk desa yang mencerminkan ketidakpastian.

“Selamat datang kembali, Dannia, Younghoon,” sapa salah satu penduduk desa yang mereka kenal. Namun, nada suaranya menandakan bahwa mereka tidak sepenuhnya menyambut baik kedatangan mereka.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Younghoon, mencermati ekspresi penduduk yang tampak cemas.

“Masalah semakin rumit. Banyak yang masih merasa curiga dengan rencana kalian,” jawab penduduk itu, menggelengkan kepala. “Kekhawatiran akan perang masih membayangi mereka.”

Dannia menatap Younghoon, merasakan beban yang ada di pundaknya semakin berat. “Kita perlu melakukan sesuatu. Kita harus bertemu dengan pemimpin Serigala dan Vampir secepat mungkin.”

Dengan tekad baru, mereka mengatur pertemuan dengan Sangyeon dan Kun. Mereka bertemu di sebuah ruangan tertutup di pusat desa yang aman dari gangguan luar. Saat Sangyeon dan Kun tiba, suasana tegang segera terasa di udara.

“Terima kasih sudah datang,” kata Dannia, berusaha menenangkan suasana. “Kita semua tahu bahwa kita berada di persimpangan yang kritis. Kita perlu berbicara secara terbuka tentang masa depan kita.”

Kun menatap Dannia tajam. “Kau mengatakan bahwa kau ingin menghentikan perang, tapi apa yang akan kita lakukan untuk mencegahnya?”

“Pertama, kita harus mengakui kesalahan masing-masing pihak,” jawab Dannia. “Kita perlu mendengarkan satu sama lain dan menemukan titik temu yang memungkinkan kita untuk bekerja sama.”

Sangyeon mengangguk, meskipun wajahnya masih menunjukkan skeptisisme. “Kau harus tahu bahwa banyak dari kita yang telah kehilangan orang-orang tercinta dalam perang ini. Bagaimana kita bisa mempercayai pihak lain lagi?”

“Dengan transparansi dan niat baik,” tegas Younghoon. “Kita bisa membentuk sebuah dewan yang mencakup perwakilan dari kedua kelompok. Di sanalah kita bisa berdiskusi dan membuat keputusan yang menguntungkan kedua pihak.”

Kun tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menyahut, “Baiklah, kami akan memberikan kesempatan ini. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang perwakilan. Ini tentang kepercayaan. Jika kau mengkhianati kepercayaan kami, kami tidak akan segan-segan mengambil tindakan.”

Dannia menatapnya dengan penuh harapan. “Kami tidak akan mengecewakanmu. Kita akan melakukan yang terbaik untuk membangun kepercayaan ini.”

Setelah diskusi panjang dan berlarut-larut, mereka sepakat untuk merancang pertemuan besar yang akan melibatkan semua anggota Serigala dan Vampir. Semua pihak harus hadir untuk menyuarakan pendapat dan menciptakan jembatan menuju pemahaman.

Malam itu, Dannia dan Younghoon bekerja keras merancang rencana. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyusun agenda dan mencari cara agar semua bisa terlibat. Dengan bantuan Sangyeon dan Kun, mereka mulai merancang tempat dan waktu untuk pertemuan tersebut.

Akhirnya, setelah beberapa hari persiapan, hari yang dinantikan pun tiba. Keduanya berdiri di depan kerumunan yang berkumpul di alun-alun desa. Mereka bisa merasakan ketegangan di udara.

“Saudara-saudara,” mulai Dannia, suaranya tegas meskipun ada getaran di dalamnya. “Hari ini, kita berkumpul di sini bukan untuk saling berperang, tetapi untuk berbicara dan mencari solusi. Kita semua telah merasakan penderitaan akibat perang ini. Kini saatnya untuk berbicara tentang masa depan.”

Sangyeon melangkah maju, berbicara setelah Dannia. “Kita adalah dua kaum yang telah terpisah jauh. Tapi jika kita tidak bisa menemukan cara untuk bersatu, maka kita akan terus mengalami lebih banyak kehilangan.”

Kun mengambil alih, menambahkan, “Keberanian untuk berdialog adalah langkah pertama. Kita harus saling mendengarkan dan menghormati satu sama lain. Hanya dengan cara itu kita bisa menemukan solusi yang menguntungkan semua.”

Satu per satu, anggota dari kedua kelompok mulai berdiri dan berbicara. Ada yang menyuarakan rasa sakit dan kehilangan, ada juga yang berharap untuk masa depan yang lebih baik. Dalam suasana saling terbuka, mereka mulai menyadari bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan daripada perbedaan.

Malam itu, meskipun tidak ada solusi instan, sebuah jalan baru mulai terbentuk. Ada harapan baru yang muncul, dan rasa saling percaya perlahan-lahan mulai berkembang.

Saat akhirnya pertemuan berakhir, Dannia dan Younghoon saling menatap, merasakan kelegaan dan harapan.

“Kita sudah melakukan sesuatu yang besar,” kata Younghoon, senyumnya menghiasi wajahnya.

“Ya, ini baru permulaan,” jawab Dannia. “Kita masih harus berjuang, tapi aku percaya kita bisa melakukannya. Kita akan membangun masa depan bersama.”

Malam itu, di tengah dinginnya angin, Dannia dan Younghoon melangkah keluar dari alun-alun desa, menuju ke jalan yang penuh tantangan dan harapan. Mereka tahu bahwa pertempuran untuk perdamaian belum sepenuhnya selesai, tetapi mereka siap untuk menghadapi apa pun yang akan datang, bersama-sama.

Blood and DarknessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang