Bangka Belitung, Juli 2000
Swadya mendongak menatap rumahnya yang terbuat dari papan. Rumah sederhana yang terlihat nyaman bagi orang-orang, tetapi tidak bagi Swadya yang merasa rumah itu seperti Neraka.
Swadya berjalan mendekati pintu masuk rumahnya. Saat tangannya hendak membuka pintu dengan mendorong gagang pintu, tangannya melemah hingga tidak jadi membuka pintu saat suara dari dalam terdengar menggelegar. Tubuh kecil Swadya mulai bergetar saat mendengar pecahan barang dari dalam rumahnya. Lalu, perlahan tangan ringkih Swadya membuka pintu dan terlihat kedua orang tuanya yang saling bersitegang.
"Aku nggak pernah mengharapkan anak itu ... harusnya kamu setuju untuk menggugurkannya waktu itu. Nggak ada gunanya mempertahankannya sedangkan sekarang aja kamu masih mau main-main."
Kalimat penuh emosi itu langsung masuk ke telinga Swadya sampai sesuatu terasa menyesakkan terasa di dadanya. Gadis itu mungkin memang masih berusia enam tahun, tapi pikirannya tidak sekecil usianya sejak setiap saat selalu mendengar ucapan-ucapan menyakitkan dari kedua orang tuanya. Gadis itu paham maksud mereka. Gadis itu sejak awal memang tidak diinginkan. Dia ada karena pergaulan bebas orang tuanya.
"Maafin Dya karena sudah ada di hidup Bapak dan Emak. Dya nggak apa-apa, kok, kalau nggak tinggal bareng lagi. Dya bisa tinggal dengan Nenek kalau Bapak dan Emak nggak mau sama Dya. Dya nggak apa-apa, kok." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Swadya terkekeh kecil sambil menatap kedua orang tuanya. Binar matanya terlihat polos. Namun tergambar jelas kesedihan sorot matanya.
Kedua orang tua Swadya serentak mengangguk. Dalam hati mereka mengucap syukur karena memiliki anak pengertian seperti Swadya.
"Baiklah. Kamu akan tinggal bersama Nenek dari sebelah bapak."
Ibu Swadya memalingkan wajahnya enggan menatap Swadya setelah mengatakan kalimat tersebut. Wanita berusia dua puluh tahun itu enggan menatap anaknya yang sedang tersenyum kecil. Dia ingin selalu bersama Swadya, namun gambaran akan bahagia tanpa Swadya di masa depan lebih terlihat menggoda.
"Iya, Dya nurut ... Dya sayang Emak dan Bapak."
🍂🍂🍂
Jakarta, Desember 2024
Gedung-gedung pencakar langit di pusat Jakarta mulai terlihat. Seiring berjalannya waktu, Jakarta telah berubah menjadi lebih baik dari tahun-tahun sebelum, walaupun kemacetan masih terus terjadi.
Di jalanan yang terasa engap jika berada di tengah-tengahnya, Swadya yang berada di mobil dengan arus macet yang seperti tidak akan berhenti terus saja menggerutu. Wanita berusia tiga puluh tahun itu jengah dengan pengemudi di depannya yang seperti baru pandai mengendarai mobil. Dibilang baru pandai karena memang doyan sekali berhenti mendadak, belum lagi terkadang mobilnya tidak berjalan saat mobil di depannya sudah bergerak maju dan karena itu Swadya sampai harus memencet tombol klakson. Uh, tak tahukah dia bahwa Swadya sedang buru-buru karena akan ada rapat terkait proyek yang akan dilaksanakannya? Menyebalkan sekali.
Swadya menatap jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Wanita itu kemudian berdecak. "Sialan ... tau gini mending aku nggak nginap di rumah nenek kemarin," ujarnya.
Mata Swadya menilik sekitarnya. Fokusnya terhenti saat melihat seorang anak laki-laki yang berjalan di pinggir jalan dengan kepala tertunduk. Gayanya tidak terlihat seperti pengemis, malah Swadya dapat menilai kalau setelan baju anak itu pastilah kisaran 10 juta rupiah. Namun, kenapa anak itu berjalan di pinggir jalan?
Tak tahan jika melihat anak kecil yang terlihat menyedihkan, Swadya memutuskan menepikan mobilnya di tengah ricuhnya kemacetan. Swadya kemudian keluar dari mobilnya, dan berlari kecil mengejar anak laki-laki yang dilihatnya tadi.
Saat tepat berada di belakang anak laki-laki itu, Swadya menepuk pundak anak itu yang dapat Swadya rasanya jika anak itu terlihat menegang di tempat. Anak itu perlahan membalikkan tubuhnya. Tubuh kecil itu mematung melihat Swadya yang wajahnya memang terlihat menyeramkan dengan rahang yang tegas.
Swadya menatap anak itu. Dia melihat wajah anak laki-laki itu yang pucat, akan tetapi tetap bersikap tenang. Pembawaan yang bagus sekali, dan Swadya semakin yakin bahwa anak di depannya ini bukanlah pengemis.
"Ada apa, Tante?" tanya Anak laki-laki itu.
Swadya tersenyum. Wanita itu sangat suka dengan pembawaan orang yang tenang. "Mengapa ada di tepi jalan, Nak? Di mana orang tuamu?" tanya Swadya.
Anak laki-laki itu terdiam sejak. Bimbang untuk menjelaskan karena takut orang di depannya ini bukan orang baik. Anak itu kemudian menatap wajah Swadya. Pandangan yang semulanya takut berubah menjadi tersentuh saat melihat senyuman tulus di wajah Swadya. Namun, dia tidak boleh langsung percaya karena zaman sekarang orang pandai memanipulasi orang lain.
"Aku hanya jalan-jalan. Ada apa, Tante?" tanya Anak laki-laki itu lagi.
Swadya mengangguk-angguk. Tangan wanita itu perlahan naik dan kemudian mengusap rambut bergaya undercut milik anak laki-laki yang ditemuinya itu.
"Tenanglah. Tante bukan orang jahat, apa kau tersesat?" tanya Swadya dengan lembut seakan lupa bahwa dia pernah menggerutui orang saat kemacetan tadi hanya karena dia akan segera mengadakan rapat.
Wajah pucat anak laki-laki itu berangsur menghilang. Jantungnya yang semula berdebar kembali berdetak normal.
Anak laki-laki mengangguk, kemudian berkata, "Aku tersesat, Tante."
Raut khawatir terlihat jelas di wajah Swadya. Bingung harus membantu anak itu seperti apa. Haruskah membawanya ke kantor polisi? Atau mungkin menelpon orang tuanya? Lalu, Swadya menimang-nimang mana yang lebih mudah dilakukan, dan dia memiliki opsi kedua.
"Apa kamu ingat nomor telepon orang tuamu?" tanya Swadya.
"Aku tidak ingat, tapi aku membawa kartu nama Papi, Tante," jawab Anak laki-laki itu.
"Boleh Tante lihat?"
Anak laki-laki itu mengangguk. Dia lalu memasukkan tangan ke dalam saku celana, dan mengeluarkan sebuah kartu yang telah lecek. Dia lalu menyodorkan kartunya kepada Swadya.
Mata Swadya membaca kartu nama yang diberikan kepadanya. Saat melihat sesuatu yang tidak asing, Swadya langsung teringat dengan rapat yang akan dilakukannya. Wanita itu lantas melihat jam di pergelangan tangannya, dan menyadari bahwa waktu tersisa 25 menit sebelum rapat dimulai.
"Tante akan bertemu sama Papi kamu untuk rapat, kamu mau sekalian ikut Tante?" tanya Swadya.
Anak laki-laki itu mengangguk. Ingin menolak pun susah, karena tidak mungkin ada orang yang akan menolongnya lagi. Jadi, lebih baik menerima ajakan tante di depannya ini daripada harus menunggu dicari oleh orang suruhan Papinya.
Swadya lalu melihat sekelilingnya, dan menemukan pangkalan ojek di seberang jalan.
"Kita naik ojek, nggak apa-apa, 'kan? Tante buru-buru ada rapat dan di kemacetan ini nggak mungkin bisa sampe dalam 25 menit," tutur Swadya.
"Aku ngikut aja, Tante."
Keduanya lalu bergegas menuju pangkalan ojek, dan pergi dengan ojek yang dikendarai oleh pria berusia sekitar 35 tahunan dengan Anak laki-laki itu yang berada di tengah antara Swadya dan Tukang Ojek. Swadya juga memeluk anak itu dengan erat, dan menciptakan rasa hangat dan aman yang melingkupi anak laki-laki tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Beautiful Family
Genç Kız EdebiyatıMasa lalu yang menyakitkan membuat Swadya Wahyunindah berkeinginan membentuk sebuah keluarga yang bahagia. Namun, di tengah keinginannya ada rasa takut yang terselip di dalam hatinya. Swadya takut keluarganya kelak akan hancur seperti keluarganya du...