"Siapa yang hamilin kamu?" Langkah gadis remaja itu terhenti dan ia mengerutkan keningnya dalam-dalam. Cukup! Cukup ia merasa terpojok selama di sekolah, menghadapi cacian dan cercaan seolah benda bergaris dua itu miliknya.
Padahal selama di perjalanan dari sekolah ke rumah tak ada suara di antara mereka, hanya ada ketegangan di antara keduanya. Sebaliknya saat mereka tiba di rumah, pertanyaan itu terlontar dengan sederhana ketika Asha menuju kamarnya.
"Asha gak hamil!" Suaranya meninggi, Asha membalikkan tubuhnya. Menghadap Sang Papa dengan mata tajam. Abraham tampak tak terkejut dengan suara tinggi Asha, sebaliknya darahnya mendidih sejadi-jadinya.
Sementara Asha, ia hanya tahu kini tak ada satupun yang akan membelanya, Sang Mama - Clara menghampiri mereka dengan tergesa. Jarang anak dan suaminya pulang bersama, bahkan di jam-jam sibuk seperti ini. Belum ia menghampiri keduanya, langkahnya terhenti tak jauh dari sana.
"Gak hamil? Terus ini apa? Ini apa, Sha?!" Suara Abraham meninggi pada putrinya, kepalanya hampir pecah saat menerima kabar di tas anaknya ada sebuah testpack bergaris dua dan struk pembeliannya. "Jelas-jelas barang ini ada di tas kamu, kamu ga tau?" Clara mematung mendengar suara suaminya yang tinggi. Abraham tipe orang yang tegas, kharismanya pun begitu kuat namun suara tinggi adalah bukan gayanya. Di luar itu mata Clara melihat benda pilih berwarna putih dan pink di tangan suaminya. Apa tadi? Asha hamil? Keseimbangan tubuhnya hampir lenyap, ia mengambil langkah mundur untuk menenangkan diri.
"Pah! Papa gak percaya ke aku?" Asha mengedarkan pandangannya, matanya menatap Sang Mama yang hampir limbung.
"Gimana papa mau percaya sama kamu? Kelakuan kamu bejat begini! Siapa orangnya?!" Tanya Abraham lagi, di kepalnya benda bergaris dua itu dengan erat dan penuh dendam. Sebuah siluet pria seusia anaknya muncul. "Baskara!" Ia menebak asal.
Wajah terkejut Asha seolah jawaban baginya, namun bagi Asha dirinya yang terkejut adalah karena dari semua laki-laki yang ia kenal kenapa harus laki-laki itu? Kenapa harus laki-laki yang menjadi tetangganya belum lama ini? Di luar itu papanya tampak tak percaya dengan dirinya. Hati Asha terluka dengan fakta itu.
"Apaan sih, Pah?! Asha GAK HAMIL!" Asha langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan menaiki anak tangga, Abraham mengedarkan pandangan melihat sang istri yang terdiam mematung dari arah dapur.
Ia menghampirinya dengan penuh emosi, "Kamu kalo ngurus anak yang becus!" Abraham tampak sedang mencari kambing hitam, ya emosinya di ujung tanduk.
"Apa sih, Mas? Tiba-tiba nyalahin aku," Clara mendengar suara suaminya langsung meninggi. Wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga itu masih memiliki aura kepemimpinan yang kuat, mereka tampak setara ketika saling meninggikan suara.
"Asha hamil! Anda kalo becus jadi mamanya mana mungkin dia jadi seperti sekarang?" suara Abraham terdengar begitu menggelegar ke seisi rumah, membuat satu dua asisten rumah tangga mereka memilih menjauh dari keributan keduanya. Ketika kata 'anda' dan 'saya' terdengar saat itu pula pertengkaran keduanya sudah berada di puncak.
"Anda juga papanya! Jangan bertingkah seolah Anda becus menjadi orang tuanya! Anda yang terlalu sibuk, Tuan Abraham Alexander Pratama! Kalo saja anda kasih secuil perhatian anda ke Asha ya Asha gak akan jadi pembangkang! Seperti, Anda!"
"BERISIK!" Suara Asha terdengar begitu tinggi, disusul suara vas porselen dari lantai dua ke lantai satu yang dilempar olehnya. "Kalian berdua," kedua orang tua Asha mendongakkan kepalanya. Menatap Asha yang tampak berantakan dengan air mata yang berair. "Kalian berdua gak cocok jadi orang tua!" Asha memilih pergi sebelum air matanya tumpah ruah.
...
Halo salam kenal ... Makasih udah mampir di cerita aku, jangan lupa vote dan kasih komentar ya buat ninggalin jejak kalian.
🤍🤍🤍
😙 See you di next chapter 😗
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissident : I Want Freedom!
Teen FictionPapa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke gue? - Asha Alexa Purnama