Abraham tampak membolak-balik lembaran kertas, matanya bergerak mengikuti huruf dan angka yang ada dalam lebar laporan pekerjaan karyawannya itu. Ia tampak berhati-hati membaca setiap perkejaan mereka, sebelum akhirnya menandatanganinya. Ia tampak santai di ruang kerjanya, ruang kerja yang bahkan hanya setengah dari ukuran kamarnya, hanya ada meja kerja dan satu set sofa di ruangan ini. Sesekali - bahkan lebih sering dirinya tidur diatas sofa dengan kaki yang menekuk, hanya karena malas berjalan menuju kamarnya yang kebetulan ada di lantai dua.
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya, kepala Clara tampak menyembul dari balik pintu. Ia dan mata suaminya langsung bertemu, segera ia memilih memasuki kamar itu dan menutupnya dari dalam. Sebuah cangkir berisi teh hangat buatannya di letakkan di atas meja, Abraham tampak santai mengabaikan tingkah laku istrinya.
Sejak makan malam dengan keluarga Wicaksana beberapa saat lalu, Clara tampak gelisah dan meminta waktu mengobrol berdua. Akan tetapi, Abraham terlalu sibuk dengan dokumen dan kesepakatan yang telah terjalin sehingga menolak ajakan itu. Ia menghela napas berat saat melihat istrinya dengan santai duduk di kursi hitam, tempat biasanya Bintang duduk untuk membantu Abraham membereskan dokumen kantor.
"Ada apa?" Abraham bahkan mengabaikan Clara, menatap kertas-kertas dan laptop yang terbuka di hadapannya.
"Aku bawa teh chamomile yang aku pesen beberapa hari lalu, cobain deh," Abraham hanya menatap cangkir minumnya sekilas dan kembali bekerja.
Selain detak jam dinding dan suara kertas yang bolak balik dibaca Abraham tak ada lagi suara di ruangan itu. Abraham menghela napas, "Nanti aku minum, sekarang kamu bisa balik ke kamar. Aku masih kerja."
Clara membenarkan posisi duduknya, ia duduk tegap dan menghadap Abraham dengan serius. "Aku ..." Clara merasa ragu, namun rasanya terlalu berat untuk ia pikirkan sendiri.
"Kamu?"
"Ah aku ngerasa kita jangan jalin kerja sama bareng keluarga Wicaksana," Abraham meletakkan pena di tangannya dan kertas di tangannya yang lain.
"Terus? Merugi? Kamu pikir aku akan dengan bodohnya bilang, 'Oh kamu mau gitu oke deh aku nurutin kamu, as you wish.' Gitu? Enggak ya," Abraham kembali membaca kertas-kertas di hadapannya.
"Lu bisa denger gue gak sih?" Abraham meletakkan kembali kertas ditangannya ke atas meja.
"Lu mau gue denger apa? Alesan lu?"
"Ini itu ada hubungannya sama Acha dan Gabriel! Lu gak liat Acha gak nyaman sama Gabriel?"
"Kenapa? Dia cocok buat jadi menantu," Abraham ingin sedikit bercanda.
"Lu mau dia kayak kita berdua? Really?" Abraham terdiam dengan candaannya yang di anggap serius, kalimat itu berhasil membuat fokus Abraham buyar.
"Terus gue harus hancurin hubungan kerja gue sama Wicaksana perkara anak itu gak nyaman sama anak Wicaksana? Clara mikir, gue banting tulang kerja kesana-kemari buat nyaman lu sama Asha."
"Gue gak minta," Clara menyela ucapan Abraham dengan nada tinggi.
"Tapi bokap lu yang minta," Clara terdiam saat nama papanya di sebut. "Gue gak terima bokap lu mandang rendah bokap gue yang punya perusahaan kecil, bokap lu yang buat terpaksa terikat sama lu."
"Maksud lu? Lu terpaksa nikahin gue?"
"Clara, selama gue pacaran sama lu gue selalu minta lu nunggu. Tapi apa? Kita married by accident, saat itu lu gak tau gue kelabakan sama bokap gue buat nyari modal nikahin lu, lu yang maksa gue nikahin lu lebih awal karena satu malam sialan itu," nada Abraham terdengar begitu dingin. Tak ada teriakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissident : I Want Freedom!
Teen FictionPapa? Mama? Maksudnya sepasang manusia yang ngasih beban ekpektasi ke gue? - Asha Alexa Purnama ... Asha menjadi seorang pembangkang (dissident) akibat tekanan orang tua yang menaruh ekpektasi padanya. Diantara banyak hal yang ia inginkan hanya sebu...