011 Hubungan

51 27 22
                                    

Selepas kepergian keluarga Wicaksana Abraham langsung menyuruh Bintang pulang, sedangkan dirinya tenggelam dalam kubangan dokumen di ruang kerjanya. Dengan santai Abraham tampak membolak-balik lembaran kertas, matanya bergerak mengikuti huruf dan angka yang ada dalam lebar laporan pekerjaan karyawannya.

Ia tampak santai di ruangan itu, ruang kerja yang bahkan hanya setengah dari ukuran kamarnya. Ruang kerja itu tampak minimalis dengan sebuah meja kerja dan satu set sofa. Tak jarang ia memilih tidur di atas sofa ruang kerjanya, hanya karena malas berjalan menuju kamarnya yang kebetulan ada di lantai dua.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya, kepala Clara tampak menyembul dari balik pintu. Pandangannya dan suaminya langsung bertemu, segera ia memilih memasuki ruangan itu tanpa ijin dari pemilik ruangan. Ia masuk dengan sebuah cangkir berisi teh hangat buatannya. Tanpa basa-basi cangkir itu di letakkan di atas meja, Abraham tampak santai mengabaikan tingkah laku istrinya.

Clara sendiri malah memilih duduk di kursi hitam di hadapan Sang Suami, kursi tempat biasanya Bintang duduk dan berdiskusi terkait bisnis dengan Abraham. Wanita itu tampak menatap suaminya dengan ragu, sedikit banyak Clara merasa perlu mengobati dengan suaminya ini. Abraham tampak menghela napas berat saat melihat istrinya dengan santai duduk dan malah menatapnya.

"Ada apa?" Abraham melirik sekilas pada Clara sebelum akhirnya menatap kertas-kertas di tangannya.

"Aku bawa teh chamomile yang aku pesen beberapa hari lalu, cobain deh," Clara berusaha mencairkan suasana di antara mereka berdua, jujur mereka berdua begitu jarang berinteraksi kecuali memang ada hal yang perlu. Abraham hanya melirik cangkir yang ada di mejanya dan kembali bekerja.

Selain detak jam dinding dan suara kertas yang bolak balik dibaca Abraham tak ada lagi suara di ruangan itu. Abraham menghela napas, "Nanti aku minum, sekarang kamu bisa balik ke kamar. Aku masih kerja."

Clara membenarkan posisi duduknya, ia duduk tegap dan menghadap Abraham dengan serius. "Aku ..." Clara merasa ragu, namun rasanya terlalu berat untuk ia pikirkan sendiri.

"Kamu?" Abraham melirik istrinya dengan tajam.

"Ah aku ngerasa kita jangan jalin kerja sama bareng keluarga Wicaksana," Clara mengeluarkan isi hatinya yang sedari tadi terpendam. Abraham terdiam dan menatap istrinya dengan terang-terangan, dengan lembut meletakkan pena di tangannya dan kertas di tangannya yang lain.

"Terus? Merugi? Kamu pikir aku akan dengan bodohnya bilang, 'Oh kamu mau gitu oke deh aku nurutin kamu, as you wish.' Gitu? Enggak ya," Abraham menghela napas dan menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir dengan isi kepala mungil istrinya itu, ia langsung kembali membaca kertas-kertas di hadapannya.

"Kamu bisa dengerin aku dulu gak sih?" Clara menurunkan dokumen yang ada di tangan Abraham, membuat perhatian laki-laki itu sepenuhnya padanya.

"Kamu mau aku denger apa? Alesan kamu?" Abraham menghela napas. Lelah.

"Ini itu ada hubungannya sama Acha dan Gabriel! Kamu gak liat tadi Acha gak nyaman waktu Gabriel peluk?" Clara tampak seperti merengek sekarang.

"Kenapa? Gabriel cocok kok buat jadi menantu," Abraham ingin sedikit bercanda.

"Kamu mau dia kayak kita berdua? Really?" Clara meninggikan suaranya, ini diluar dugaan Abraham. Laki-laki itu terdiam saat candaannya yang di anggap serius, kalimat itu berhasil membuat fokus Abraham buyar.

"Terus aku harus hancurin hubungan kerja yang susah-susah aku bangun sama Theodore Wicaksana perkara anak itu gak nyaman sama anak Wicaksana?" Abraham merasa lelah saat Clara merengek dan meninggikan suaranya. "Clara, kamu mikirin aku gak sih? Aku udah kerja banting tulang buat kamu sama Asha, dan kamu malah ngerengek gak jelas kayak gini?" Abraham tampak meremas dokumen ditangannya.

Dissident : I Want Freedom!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang