Anza terkikik melihat penampilannya didepan cermin. "Kaget nggak ya Gus Alba nanti?" gumamnya sambil melihat penampilannya.
"Paling terpesona sih, orang cantik gini, seksi pula. Bisa-bisa diterkam langsung kamu, Za!" ujarnya dengan menahan tawa yang akan menyembur keluar.
Entah sedang ada urusan apa Alba dengan pekerjaannya, setelah sholat isya', Alba hanya berpamitan untuk mengurus pekerjaannya.
Dengan makeup tipisnya, Anza begitu terlihat cantik. Berpadu dengan wajah manisnya membuat seseorang yang melihatnya tak bisa berpaling.
"Lama banget sih, udah jam sembilan padahal," gerutu Anza melihat jam dinding.
Berjalan menuju kasur, Anza membaringkan tubuhnya disana. Menatap langit-langit sembari menunggu Alba pulang.
Ceklek!
Anza menatap pintu yang terbuka, menampilkan Alba dengan sarung dan beberapa kertas yang dibawanya. Anza langsung berdiri, menghampiri Alba yang membelakangi tempat tidur.
Saat Alba membalikkan badannya, ucapan istigfar lagi dan lagi ia lontarkan. "Dek?"
"Gus, malem ini Anza pake warna merah yaa. Ishh, kenapa merem Gus! Gamau liat Anza gitu, cantik lohh, seksi lagi..."
Alba yang memejamkan matanya. "Ganti baju, Dek!" ucapnya tegas.
Anza memeluk Alba dari depan. "Gamau, Gus. Katanya mau bikinin cucu buat Ummi sama Bunda," ujarnya mendongak mantap Alba.
Alba menelan ludahnya, merasakan sesuatu yang mengganjal menempel dibagian perut bagian atas. "Jangan peluk Mas, minggir dulu." Alba berusaha mendorong Anza menjauh, namun lilitan kencang itu masih bertahan.
"Dek?"
"Enggeh, Gus. Pripun?"
Alba menggelengkan kepalanya, matanya senantiasa ia tutup. "Enggak sekarang, Mas belum siap," katanya dengan pelan seperti berbisik.
Anza cemberut mendengarnya. "Kok gitu sih, nggak asik! Gus bohong, katanya mau bikinin cucu. Dasar laki-laki tukang bohong!" Anza langsung melepaskan pelukannya dengan kesal, mendorong Alba.
Karena tak siap, Alba mundur beberapa langkah akibat dorongan itu, beberapa berkas yang dipegangnya pun ikut berhamburan. "Astaghfirullah, Dek."
Anza bersedekap, menatap Alba dengan sinis. "Apa?!"
"Siapa yang ngajarin begitu?" ucapnya, ia menunduk tak berani menatap Anza yang hanya berpakaian tipis dan terbuka.
"Gatau."
"Mas belum siap, Dek. Mas masih perlu beradaptasi, tunggu beberapa waktu," jelasnya.
"Bodo amat!" ucap Anza dengan kesal, ia menghentakkan kakinya dan berjalan menuju kasur ia langsung tengkurap diatas kasur.
Alba menatap Anza sekilas, melihat gadis itu tengkurap dengan cara yang kasar. Ia memilih mengambil dokumen yang berhamburan.
Tak lama Alba mematung mendengar suara isakan, ia mendongak menatap bahu terbuka Anza yang bergetar. Alba memejamkan matanya dan menghela nafasnya gusar.
Berjalan menuju ranjang, Alba meletakkan dokumen tadi diatas nakas. Alba mendudukkan dirinya dipinggir kasur. Tangannya mengusap kepala gadis itu. "Dek?" panggilnya dengan lembut.
Anza diam tak merespon.
Alba mengambil selimut, menutup tubuh terbuka Anza dengan selimut tersebut. Ia membalikkan tubuh Anza. "Maafin, Mas. Mas nggak bermaksud gitu, Dek," ujarnya menghapus airmata yang membasahi pipi Anza.
Anza masih menangis dengan sesenggukan, enggan menghentikannya.
"Liat, Mas." Alba memegang rahang Anza, menariknya untuk menatap dirinya.
Anza menatap Alba dengan buram karena air mata yang menghalanginya.
Alba mengelus pipinya. "Dengerin, Mas. Mas nggak bermaksud menolak atau apapun itu, Mas cuma butuh waktu buat adaptasi, Dek. Maafin Mas kalau kamu tersinggung. Wallahi, Mas bener-bener nggak ikhlas liat kamu nangis gini, apalagi Mas yang bikin kamu nangis." Alba menatap Anza yang masih mengeluarkan air matanya.
"Bo-hong," ucap Anza dengan terbata.
Alba menggelengkan kepalanya. "Enggak, Dek. Kasih Mas waktu sebentar, nggeh?"
Anza menggeleng, ia merentangkan tangannya ingin dipeluk.
Alba memejamkan matanya yang tak sengaja melihat sesuatu yang tak ingin dilihatnya.
"Nggak m-mau peluk?" tanya Anza melihat Alba yang terdiam sambil memejamkan matanya.
"Purun, Dek," ucapnya tersenyum dan langsung membawa gadis itu ke pelukannya, ia mengusap punggung gadis itu dengan perlahan.
Anza menenggelamkan wajahnya didada Alba, ia mulai terisak lagi.
"Dek, kok nangis lagi? Gimana maunya kalau gitu, Mas minta maaf."
•••°°°•••
"Perasaan kamu gimana? Ainun sayangg," tanya Shanum dengan menggoda.
Ainun menatap Shanum sinis. "Gausah ngeledek kamu, Shan!"
Hasna tertawa pelan melihat raut Ainun.
Mereka berada didalam kamar, yang kebetulan memang terisi 3 orang per kamarnya.
"Ikhlasin, Nun. Bukan jodoh kamu Gus Alba tuh," ucap Hasna.
Shanum menganggukkan kepalanya setuju. "Betull, aku cariin yang baru gimana?" ujarnya sambil menaik-turunkan alisnya jahil.
Hasna beristighfar melihatnya.
"Enggak ah, lagian aku cuma mengagumi Gus Alba, bukan cinta," ucapnya
"Yang bener, Dek?" Shanum mendekatkan wajahnya pada Ainun.
Dengan kesabaran setipis tisu dibagi dua, Ainun tentu saja langsung menampar pelan wajah Shanum. Pelan namun berhasil membuat Shanum mangaduh.
Shanum memegang pipinya. "Sakit tau!"
"Lebay," balas Ainun.
"Gaboleh gitu Ainun, itu namanya kekerasan dalan pertemanan!"
"Iya tuh, kali ini aku setuju sama kamu," ucap Shanum mengacungkan jempolnya pada Hasna.
"Nyenyenye!"
Shanum menggelengkan kepalanya. "Kasian ditinggal pujaan hati nikah," ledek nya lagi.
"Apasihhh, biar aja nikah. Bodo amat!" Ainun menatap sebal temannya itu.
Shanum tertawa melihat Ainun yang terlihat sangat kesal. "Utututu, kasiann. Ikhlas yaa, soalnya istri Gus Alba lebih cantik dari kamu." Semakin keras pula tawa Shanum dengan ucapannya sendiri.
Ainun cemberut mendengarnya. "Iyasih," gumamnya dengan lemas, dan menerima kenyataan bahwa istri Gus Alba lebih cantik dari dirinya.
Hasna ikut tertawa. "Mending ayo tidur, besok bangun pagi," ajak Hasna guna menyudahi obrolan singkat malam ini.
"Tiap hari juga bangun pagi, Na!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Bintang
SpiritualGadis cantik yang sangat unik, mempunyai sifat jahil, tengil, sopan santun yang sangat minus, urakan dan hilangnya urat malu harus dijodohkan dengan seorang Gus tampan yang memiliki sifat kalem, lembut tutur juga hatinya, dan yang pasti akhlaknya pa...