Alba menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 02.45, ia sudah terbiasa bangun dini hari. Menatap Anza yang memeluknya dialam bawah sadarnya, gadis itu tertidur karena terlalu lama menangis didalam pelukannya.
Hari-hari berikutnya ia harus terbiasa dengan sentuhan gadis diperlukannya ini, gadis yang menjadi istrinya. Matanya terlihat sembab dan memerah, terlihat sekali jika sehabis menangis. Alba mengelus rambut panjang Anza yang terurai.
"Dek, bangun. Waktunya holat tahajud dulu," ucap Alba berganti mengelus pipi Anza.
Anza yang dibangunkan dengan cara lembut begitu tentu saja semakin nyenyak dalam tidurnya, terlihat mengeratkan pelukannya dengan nyaman.
"Dek." Alba kali ini mengguncang bahu Anza.
"Emmh." Anza bergumam pelan.
Alba menahan senyumnya, ternyata istrinya ini termasuk gadis kebo yang susah untuk bangun. "Sholat tahajud, Dek."
Anza menggelengkan kepalanya. "Libur."
Alba mengernyitkan dahinya, bukankah semalam Anza merayunya untuk melakukan sesuatu yang--?
"Semalam--"
"Anza semalem lupa, Gus," gumamnya dengan malas.
Alba memejamkan matanya. "Kenapa bisa lupa? Bahaya, Dek. Gimana kalau semalem Mas kena bujuk rayumu?" tanyanya tak menyangka.
Anza terkekeh pelan. "Maaf, Gus. Namanya juga lupa, lagian Gus juga nggak mau!" jawabnya dengan selingan ucapan menyindir.
"Bukan nggak mau, Mas belum siap. Mas mau, tapi nunggu Mas siap dulu, Dek," ujarnya menyanggah.
"Sama aja Gus, udah sana sholat. Anza mau lanjut tidur, capek gara-gara Gus Alba bikin Anza nangis semaleman!"
Alba menghela nafasnya. "Enggeh, Dek. Mas minta maaf udah bikin kamu nangis, yaudah lepasin dulu pelukannya. Mas mau wudhu."
Anza dengan berat hati melepaskan tangannya yang melingkar diperut Alba. "Jangan lama-lama sholatnya, Anza mau peluk lagi. Perut Anza juga udah kerasa nyeri, pengen dielus," katanya dengan nada manja, padahal tadi ia mengusir agar bisa tidur kembali.
"Enggeh, Dek."
Alba berjalan memasuki kamar mandi, berwudhu dan menunaikan sholat tahajudnya. Selang beberapa menit kemudian, Alba melihat ranjang. Ternyata Anza sedang melihatnya, gadis itu menepuk kasur yang kosong.
"Enggeh, sekedap."
Alba melipat sajadah dan setelahnya menghampiri Anza, ia duduk disamping gadis itu.
"Elusin perut Anza, nyeri banget," ucapnya membawa tangan Alba diperutnya.
Alba mulai mengelus-elus dengan perlahan, walau sedikit kaku. "Hari pertama sering sakit gini, Dek?" tanya Alba menatap Anza yang mulai memejamkan matanya kembali.
"Iya, Gus. Sakit banget tauu, pengen nangis. Kenapa dari banyaknya perempuan, salah satunya harus Anza yang ngerasain sakitnya mens," ujarnya mengadu.
"Gaboleh gitu, kamu harus bersyukur bisa ngerasain sakitnya, banyak diluar sana yang nunggu kapan mens-nya datang."
Anza berdecak. "Itumah panik gara-gara takut hamil," ucapnya dengan enteng.
"Astaghfirullah, Dek."
"Iyakan! Banyak jaman sekarang begitu, belum halal udah bikin anak terus hamil diluar nikah. Tapi ada juga yang udah halal tapi malah nggak mau bikin anak," ucapnya dengan sinis menyindir Alba.
Alba meringis mendengar ucapan Anza. "Mas kan udah jelasin, kalau mau pun, kamu kan lagi mens," belanya.
"Alesan, emang dari awal kan nggak mau!"
Alba menggelengkan kepalanya. "Mau, Dek. Mas mau, besok kalau udah selesai mens-nya bilang sama Mas," ujarnya dengan menatap Anza tanpa berkedip.
Anza menjadi gugup sendiri, apalagi mendengar ucapan yang keluar dari mulut Alba. "Ah bohong, Anza udah gamau lagi bikin anak."
"Hmm, gamau?" Alba menaikkan satu alisnya.
Anza melengos tak ingin beratap mata dengan Alba. "Iya gamau, apalagi bikinnya sama Gus Alba!"
"Kenapa gamau?" tanya Alba.
"Udah males, gamood. Salah siapa tadi malem nolak Anza, biarin aja Gus Alba banyak dosa udah nolak istrinya," ucapnya dengan kesal.
Alba menahan senyumnya. "Yaudah, yakin gamau?"
Anza mengangguk.
"Beneran gamau?"
"Iya, gamau titik!"
Alba mengangguk-angguk menahan senyumnya. "Yakin, Dek?" ucapnya memegang rahang Anza, menariknya agar menatap dirinya.
Anza cemberut, menatap Alba dan menggeleng. "Mboten, Mas," ucapnya dengan lirih.
•••°°°•••
"Nduk Anza dimana, Lee? Nggak kamu ajak kesini, kenapa ditinggal?" tanya Adiba saat melihat anaknya datang sendirian tanpa membawa menantunya.
Alba menyalimi Umminya. "Sakit perut, Mii."
"Lohh, sakit perut kenapa?" tanya Adiba dengan khawatir.
"Mens," jawabnya.
Adiba mengangguk mengerti. "Udah dikompres?"
Alba mengangguk. "Udah, Alba mau minta itu, anu, Ummi." Alba menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Adiba yang memang peka pun menahan senyumnya. "Anu apa, Lee. Ngomong yang jelas, Ummi nggak ngerti," ujarnya menggoda.
"Itu Ummi, yang biasa buat cewe."
"Apa yang biasa?"
"Ummiii," rengek Alba terlihat prustasi.
Adiba tertawa melihatnya. "Ya apa to? Ummi ngga ngerti maksud kamu apa," ucapnya masih menggoda.
"Pembalut," lirihnya sangat pelan.
Adiba semakin menertawakan Alba. "Tinggal ngomong gitu aja harus malu-malu."
"Enten mboten, Ummii," tanya Alba mengalihkan pandanganya, ia bisa merasakan pipinya yang memanas karena malu.
Adiba mengangguk. "Ada, bentar Ummi ambilin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rembulan Bintang
SpiritualGadis cantik yang sangat unik, mempunyai sifat jahil, tengil, sopan santun yang sangat minus, urakan dan hilangnya urat malu harus dijodohkan dengan seorang Gus tampan yang memiliki sifat kalem, lembut tutur juga hatinya, dan yang pasti akhlaknya pa...