🌘🌑🌒
Pagi menyambut hari. Hari ini udara terasa lebih hangat, seolah mengundang semangat baru bagi Kamari. Setelah siap dengan seragam sekolahnya yang rapi, dia melangkah ke dapur, tempat di mana ibu dan ayahnya sudah sarapan bersama.
“Selamat pagi, sayang!” seru Emily, ibunya, dengan senyum hangat. Dia sedang menuangkan secangkir kopi untuk dirinya dan Travis, ayah Kamari, yang duduk di meja sambil membaca koran.
“Selamat pagi, Bu. Selamat pagi, Ayah,” jawab Kamari, mengambil tempat duduk di kursi yang sudah disiapkan.
Sarapan pagi ini terlihat lezat: telur orak-arik, roti panggang, dan buah segar. Kamari mulai menyantap sarapan dengan lahap, berusaha menghilangkan rasa cemas yang menyelimutinya setelah semua kejadian aneh yang terjadi belakangan ini.
“Kamari, kamu sudah siap untuk ujian hari ini?” tanya Travis, meletakkan koran di samping piringnya.
“Ya, Ayah. Aku sudah belajar semalam,” jawab Kamari, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan pikiran tentang vampir dan kekuatan yang baru ia temukan.
“Bagus, semoga hasilnya memuaskan,” kata Emily, lalu menambahkan, “Dan ingat, jika ada yang mengganggu di sekolah, jangan ragu untuk memberi tahu kami.”
Kamari mengangguk, berusaha mengingat semua nasihat ibunya. Ia tahu bahwa meskipun dia dikenal sebagai gadis ceria dan hangat, disukai hampir semua teman-temannya di sekolah, tetap ada hal-hal yang bisa mengganggu kenyamanan. Sebagai murid populer yang cantik, Kamari memang sering menjadi pusat perhatian, dan ibunya tahu betul bahwa putri semata wayangnya itu tidak pernah mengalami perilaku bullying yang serius. Paling-paling hanya godaan-godaan kecil dari teman-temannya yang ingin mendekatinya.
Namun, sebagai seorang ibu, Emily ingin memastikan bahwa Kamari merasa aman. Dia terus mengingatkan bahwa dia dan Travis akan selalu berada di sisi Kamari, siap melindunginya jika ada seseorang yang berusaha mengganggu atau menyakitinya.
Mereka menyelesaikan sarapan bersama dengan suasana yang hangat. Setelah mencuci piring dan merapikan meja, Kamari bergegas pergi ke sekolahnya. Meskipun Emily tidak lagi bersikap terlalu khawatir kepada Kamari seperti sebelumnya, ia tetap tidak membiarkan putrinya pergi ke sekolah sendirian. Ibu kota mereka memang telah aman dari kasus pembunuhan misterius yang sebelumnya terjadi, tetapi rasa khawatirnya sebagai seorang ibu tetap ada.
Hari ini, Kamari akan diantar oleh ayahnya, Travis, yang sekalian akan pergi bekerja di kantor polisi. Saat mereka berjalan menuju mobil, Kamari merasakan kehangatan dari perhatian orangtuanya. Travis membuka pintu mobil dan memberi isyarat agar Kamari masuk.
Mobil Travis bergerak menelusuri jalanan hutan pinus yang berkabut tipis menuju ke sekolah Kamari. Pepohonan tinggi menjulang di kedua sisi jalan, dikelilingi oleh kabut lembut yang memberikan suasana misterius. Sinar matahari yang berusaha menembus celah-celah pepohonan menambahkan sentuhan keemasan pada pemandangan, tetapi Kamari merasa gelisah dengan suasana ini.
Setiap kali mobil melaju, aroma segar dari hutan dan suara lembut daun yang bergetar membuatnya sedikit tenang. Namun, pikiran tentang vampir dan kekuatan baru dalam dirinya kembali mengganggu. Dia menatap keluar jendela, berharap bisa menemukan ketenangan di antara keindahan alam.
“Ada yang mengganggu pikiranmu, Kamari?” tanya Travis, memperhatikan perubahan ekspresi putrinya di cermin spion.
“Tidak, Ayah. Aku baik-baik saja,” Kamari mencoba tersenyum, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
“Jika ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, jangan ragu. Aku selalu ada di sini untuk mendengarkan,” jawab Travis, nada suaranya lembut namun tegas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice [SELESAI]
Teen FictionAlaric, seorang vampir, hidup dengan naluri berburu yang sudah menjadi bagian dari kodrat alamnya-di mana makhluk berdarah dingin seperti dirinya memburu makhluk berdarah hangat untuk bertahan hidup. Namun, keadaan berubah ketika ia jatuh cinta pada...