1

183 17 0
                                    

Langit mendung, seolah menyimpan petir yang belum ingin dilepaskan. Di dalam rumah besar keluarga Halilintar, suasana tidak jauh berbeda-mendung dan tegang. Di ruang tamu, Amato berdiri tegap dengan ekspresi marah, tangannya terkepal.

Amato: "Kamu pikir kamu bisa lolos begitu saja, Halilintar?"

Halilintar, yang saat itu masih berusia 7 tahun, berdiri terpaku, matanya penuh ketakutan. Dia tidak mengerti apa yang salah. Itu bukan salahnya. Dia hanya ingin membantu.

Halilintar: "Aku... aku tidak bermaksud begitu, Ayah..."

Amato: "Diam! Kau hanya membuat semuanya lebih buruk. Kau tahu betapa berbahayanya apa yang kau lakukan?"

Perkataan itu seperti petir yang menghantam tubuh Halilintar. Hanya karena dia salah meletakkan peralatan ayahnya, Amato kehilangan kendali dan menyalahkan Halilintar atas kegagalan eksperimennya di tempat kerja.

Aisyah, ibu mereka, berdiri di dekat pintu, wajahnya muram. Dia ingin menghentikan Amato, tapi dia tahu suaminya. Sekali Amato memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa menghentikannya.

Aisyah: "Amato, mungkin ini hanya kesalahpahaman. Halilintar tidak bermaksud begitu..."

Amato: "Aisyah, ini bukan waktunya untuk membela dia! Kau tahu betapa seriusnya ini!"

Suara Amato menggema di seluruh ruangan, membuat saudara-saudara Halilintar yang lain berdiri di kejauhan, memperhatikan dengan rasa takut dan tak berdaya. Taufan, Blaze, dan Thorn biasanya tidak pernah terdiam seperti ini. Mereka selalu penuh energi dan suka membuat onar, tapi kali ini, mereka tahu situasinya tidak bisa dianggap enteng.

Gempa berdiri di belakang mereka, berusaha untuk tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi. Dia lebih memilih untuk tetap tenang, meskipun dia bisa merasakan ketegangan di antara semua orang.

Di sudut ruangan, Ice sudah tertidur di sofa, seperti tidak ada yang mengganggunya. Solar, di sisi lain, sedang mengamati situasi sambil merenung. Ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak yakin apa.

Amato menatap Halilintar dengan tatapan dingin. "Kamu harus belajar dari kesalahanmu, Halilintar. Dan aku akan memastikan kau tidak akan mengulanginya lagi."

Seketika, Amato menghampiri Halilintar dan menampar pipinya dengan keras. Halilintar jatuh tersungkur ke lantai. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena rasa sakit fisik, tetapi juga karena perasaan hancur yang mulai menguasainya. Dia merasa hancur di dalam. Air mata mengalir di pipinya, tapi dia menahan tangis. Dia tahu bahwa menangis tidak akan mengubah apa pun.

Halilintar: "Aku... aku minta maaf, Ayah..." suaranya bergetar, namun tanpa harapan.

Tetapi Amato tidak peduli. Dalam pikirannya, ini adalah cara untuk mendisiplinkan anaknya, agar dia tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Aisyah mencoba mendekat, tapi Amato mengangkat tangan untuk menghentikannya.

Amato: "Jangan ikut campur, Aisyah. Ini urusanku dengan dia."

Di saat itu, sesuatu berubah dalam diri Halilintar. Dia merasa marah, tapi bukan hanya pada ayahnya-melainkan pada dunia. Semua orang sepertinya tidak peduli dengan apa yang dia rasakan. Semua yang dia lakukan selalu salah di mata ayahnya, tidak ada pengertian, tidak ada cinta.

Halilintar: (dalam hati) Aku tidak akan pernah cukup untuknya. Tidak peduli apa yang aku lakukan... aku akan selalu salah.

Amato akhirnya pergi dari ruangan, meninggalkan Halilintar dalam keadaan tersungkur di lantai. Aisyah segera menghampiri putranya, mengusap kepala Halilintar yang tertunduk.

Aisyah: "Maafkan Ayahmu,hali... dia hanya sedang tertekan."

Tapi kata-kata ibunya hanya terasa hampa di telinga Halilintar. Dia tidak lagi peduli. Perasaan sakit itu terlalu dalam.


















_____________________________________________

Aku harap cerita pertama ini dapat menarik perhatian kalian.

Jika ingin info kelanjutan ceritanya silakan komen di kolum komentar.

Vote and coment ya guys!

Oh yaa! Jangan lupa untuk follow akaun ini untuk dapatkan notif update terbaru cerita ini. Ok daaa!!





SISA HUJAN LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang