Chapter 08

826 84 1
                                    

Chapter 8: Cinta bertepuk sebelah tangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 8: Cinta bertepuk sebelah tangan

Sore itu, angin berembus lembut. Mas Pengging duduk di depan pondok, mencoba menenangkan pikiran.

Matanya memandang lurus ke arah pemandangan di seberang padepokan, tapi pikirannya melayang jauh. Latihan dan ujian yang berat tadi pagi masih terasa di tubuhnya, membuat otot-ototnya pegal.

Langkah lembut terdengar dari belakang.

Ketika ia menoleh, tampak seorang gadis berparas ayu, mengenakan kebaya hijau muda dengan selendang tipis melingkar di pundaknya.

Rambutnya digelung rapi, dihiasi bunga melati di sisi kanan. Wajahnya lembut, dengan mata yang teduh tapi menyimpan kesan malu-malu.

"Selamat sore, Kakang," sapa gadis itu dengan nada lirih, sedikit ragu tapi berusaha terdengar ramah.

Mas Pengging menegakkan punggung, sedikit kikuk. "Selamat sore, Nyimas. Ada yang bisa saya bantu?"

Gadis itu tersenyum kecil, senyum yang lembut namun canggung. "Saya Raden Ajeng Sukawati, tapi Kakang boleh memanggil saya Sukawati saja."

Mas Pengging mengangguk sopan, merasa aneh dipanggil "Kakang" oleh seseorang yang baru ia temui.

"Pengging," jawabnya singkat. "Mas Pengging."

Ada jeda canggung di antara mereka. Mas Pengging memalingkan pandangan, merasa tidak nyaman. Pikirannya berputar, bertanya-tanya mengapa seorang gadis berada di padepokan tempat para pria belajar ilmu beladiri.

"Siapa sebenarnya Nyimas?" tanyanya dengan nada sedikit bingung.

"Saya putri Ki Ageng Kambangan," jawab Sukawati lembut. "Saya tinggal di sini bersama Romo."

"Oh." Mas Pengging terdiam sejenak. Ia merasa semakin canggung.

"Saya melihat Kakang tadi pagi di kandang banteng," lanjut Sukawati. Ia mengeluarkan botol kecil dari tas selendangnya dan menyerahkannya dengan kedua tangan. "Ini saya bawakan jamu. Jamu ini manjur untuk mengembalikan stamina."

Mas Pengging terkejut dan langsung mengangkat kedua tangan menolak. "Ah, terima kasih, tapi tidak perlu repot-repot."

"Tidak, Kakang. Terimalah," desak Sukawati sambil memaksakan senyum, meski di balik senyum itu tampak jelas sedikit kekecewaan. "Saya hanya ingin membantu."

Mas Pengging akhirnya menerima botol itu dengan enggan. "Baiklah. Tapi lain kali tidak perlu repot-repot seperti ini, Nyimas."

Sukawati tersenyum tipis, namun sorot matanya menunjukkan kekecewaan yang dalam. Ia mengangguk kecil, lalu berbalik dan pergi dengan langkah pelan, meninggalkan Mas Pengging yang masih duduk termangu di tempatnya.

Dari samping, Kasan yang sedang membersihkan pondok tersenyum geli. "Tuan, gadis itu sepertinya menyukai Anda."

Mas Pengging mengernyit dan melirik Kasan dengan tatapan menyelidik. "Jangan ngawur."

[BL] Kartika Ing Kisma Dhahas 🔞 | END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang