Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 62: Bunga yang baru mekar di taman
Raden Hemas berdiri di sudut halaman, di bawah bayang-bayang pohon besar yang daunnya bergemerisik pelan diterpa angin dingin pagi itu.
Raden merapatkan mantel bulu dan rompinya, menghalau dingin yang seolah menusuk.
Mata hitamnya mengamati keramaian dengan tenang, namun ada sorot kehati-hatian di dalamnya.
Puluhan orang berkumpul di sini, masing-masing membawa aura kebangsawanan dan kedewasaan yang terpancar dari sikap mereka.
Tidak seorang pun, Raden Hemas kenal.
Kebanyakan sudah berusia matang, beberapa bahkan terlihat rambutnya telah memutih, namun tetap tegap dan anggun.
Semua tamu mengenakan surjan dan kebaya terbaik, yang penuh dengan detail sulaman yang rumit, memamerkan kehalusan kain dan keindahan seni tradisional. Menunjukkan seberapa mahal kain itu.
Namun di tengah kemewahan itu, justru kesederhanaan Raden Hemas yang mencuri perhatian.
Surjan putih polos nya, tanpa hiasan mencolok.
Motif pada kainnya sederhana, memberi kesan anggun yang tak berlebihan.
Meski begitu, Raden tetap menjadi sorotan.
Kecantikannya alami, wajahnya bersih dan memancarkan keanggunan muda yang sulit diabaikan.
Mantel bulu dari Negeri Ming seharga satu koin emas juga tak luput dari perbincangan banyak tamu.
Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara hadirin.
Beberapa tamu melirik ke arahnya, sebagian dengan rasa iri yang tak mampu mereka sembunyikan.
Rupawan dan muda, Raden Hemas tampak seperti bunga yang baru mekar di tengah taman penuh bunga yang telah melewati masa puncak.
Raden Hemas bukannya tidak menyadari tatapan-tatapan itu, akan tetapi Raden Hemas memilih untuk tetap berdiri diam dengan tenang.
Tidak ada sedikit pun gestur sombong dalam sikapnya, hanya ketenangan seorang istri muda yang tahu tempatnya, namun justru memancarkan kesan yang elegan.
“Sederhana, tapi justru karena itu dia terlihat berbeda,” sahut yang lain. "Bagaimana istri paruh baya seperti kita bisa bersaing dengan istri berumur dua puluhan?"
Raden Hemas menundukkan sedikit wajahnya, menyembunyikan senyum kecil di balik saputangan nya.
Raden tahu, ini hanyalah awal dari harinya di keraton, dan segala perhatian ini hanyalah bagian dari dunia yang baru ia masuki.
Saat waktu jamuan pun tiba, para tamu diarahkan menuju meja jamuan besar yang memanjang, mampu menampung 120 orang dengan kursi yang telah disusun rapi dan terisi penuh.