Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 47: Boyongan
Pagi itu, meja makan keluarga besar Wedana dipenuhi suasana hangat dan tenang.
Di kursi utama, Tuan Wedana, seorang pria dengan raut wajah tegas namun lembut, duduk mengamati keluarganya yang sibuk menikmati hidangan.
Di sebelahnya, Nyai Wedana, istri setianya, menyunggingkan senyum hangat sambil sesekali melirik putri bungsunya, Raden Hemas, yang kini sudah menjadi istri orang.
Di sisi lain meja, Raden Suryautama, kakak tertua Raden Hemas, dengan sikap tenangnya sesekali berbincang ringan dengan istrinya, Raden Ayu Sulastri.
Suasana akrab mereka seperti melingkupi meja makan yang dipenuhi hidangan khas pagi itu.
Mas Pengging, meskipun kini memiliki status lebih tinggi sebagai seorang Adipati namun di keluarga barunya ia hanyalah seorang menantu.
Mas Pengging berpikir lebih baik untuk tetap menjaga sikap hormat dan rendah hati.
Setelah memastikan semua selesai dengan sarapan mereka, ia meletakkan serbet makan dengan perlahan, lalu menunduk sedikit sebelum berbicara.
“Tuan Wedana, Nyai Wedana, mohon maaf saya menyela.” katanya dengan suara rendah namun jelas.
Semua perhatian tertuju kepada Mas Pengging.
“Saya ingin menyampaikan rencana kami. Dengan izin Panjenengan semua, saya bermaksud memboyong Hemas ke Karangkemuning hari ini juga.”
Raden Hemas menunduk, tangannya menggenggam erat ujung kain Surjan yang ia kenakan.
Dalam hatinya, ia merasa campur aduk—antara sedih karena harus meninggalkan rumah masa kecilnya dan gugup memulai babak baru sebagai seorang istri.
“Saya juga harus segera menghadap ke Keraton untuk menemui Yang Mulia Kaisar untuk menyampaikan terima kasih atas kemurahan hati memberikan restu pernikahan dan hadiah yang berharga.” lanjut Mas Pengging dengan nada yang tetap sopan.
Tuan Wedana mengangguk perlahan, matanya tajam namun penuh wibawa.
“Boyongan hari ini? Sebenarnya itu terlalu cepat— kalian bisa tinggal selama satu minggu." Ujar Tuan Wedana terlihat sedikit sungkan. "Namun kita juga tidak boleh melupakan, tanggung jawab Gusti Adipati yang kini lebih besar.”
“Memang benar jika masalah negara harus disunggi diatas segalanya..” sahut Nyai Wedana, suaranya lembut namun tegas. “Kami harap Tuan Wedana berkenan menjaga putra bungsu kami, dan selalu kirimi kami surat jika ada apa-apa. Dalem kami selalu terbuka untuk kalian.”