Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 59: Berkuda bersama
Sore itu, Raden Hemas duduk di taman kediaman utama, di bawah rindangnya pohon sawo kecik yang berbuah lebat.
Sebuah nampan perak berisi camilan sore berupa kue kering dan irisan buah-buahan tropis tersaji di hadapannya.
Jari-jarinya yang ramping mengambil sepotong kue, mengunyahnya perlahan sambil menikmati semilir angin sore.
Matanya sesekali menatap langit yang mulai berwarna jingga, menenangkan hati dan pikirannya.
Langkah-langkah berat terdengar dari arah gerbang, dan suara pintu kecil yang terbuka memecah keheningan taman.
Raden Hemas menoleh.
Suaminya, Mas Pengging, berjalan mendekat dengan pakaian dinas yang sedikit lusuh, tanda ia baru saja pulang dari luar.
“Sudah pulang, Kangmas?” tanya Raden Hemas sambil meletakkan kue di atas piring kecil.
Mas Pengging tersenyum tipis, duduk di kursi rotan di samping istrinya. Ia melepas blangkon yang dikenakan, menyeka keringat di dahinya.
“Ya, hari ini tidak banyak yang dikerjakan,” katanya santai. “Bagaimana harimu? Apa kamu masih mual?”
Raden Hemas menggeleng perlahan, tersenyum lembut. “Tidak, aku baik-baik saja.”
“Syukurlah,” jawab Mas Pengging lega. “Hari ini Paman Tumenggung mengirimkan hadiah untuk kita atas kabar bahagia ini. Sebuah kuda.”
“Kuda?” Mata Raden Hemas membesar, penuh antusias. “Paman Tumenggung? Paman Tumenggung Suryopranoto?”
Mas Pengging mengangguk sambil tersenyum geli. “Ya, Paman Tumenggung Suryopranoto. Sepertinya beliau masih ingat hari di mana kamu tiba-tiba muncul membubarkan iring-iringan prajurit saat naik kuda gila.”
Raden Hemas mendengus malu, menutupi wajah dengan kipas kecilnya. “Jangan katakan lagi, Kangmas. Saya malu mengingatnya.”
Mas Pengging tertawa kecil, menggoda istrinya yang wajahnya memerah. “Bagaimana pun, itu cerita yang tak akan dilupakan Kangmas lupakan, karena hari itu Kangmas bisa berinteraksi dekat denganmu.”
Raden Hemas segera mengubah topik pembicaraan, rasa penasaran mengalahkan rasa malunya.
“Di mana kudanya sekarang?”
“Kudanya ada di kandang.” jawab Mas Pengging.
Raden Hemas segera bangkit dari duduknya, mengibaskan kain surjan yang dikenakannya agar rapi. “Kalau begitu, ayo kita lihat.”
Mas Pengging tersenyum melihat istrinya yang penuh semangat, meski tengah mengandung.
Mas Pengging berdiri, menyentuh lembut punggung istrinya. “Baiklah, mari kita lihat hadiah dari Paman Tumenggung.”