Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Chapter 30: Menepati janji
Pasukan yang dipimpin Raden Ronggo tiba di camp saat malam semakin larut, dengan napas terengah-engah dan langkah yang tergesa.
Debu menempel di wajah dan tubuh mereka, menambah kesan lelah dan tegang.
Mereka bergerak langsung menuju tenda utama, tempat para priagung telah menunggu.
Raden Ronggo, yang berada di barisan depan, tampak memegang helmnya dengan erat, sementara para prajurit di belakangnya saling bertukar pandang, seolah-olah mereka tahu apa yang akan terjadi.
Kemungkinan besar mereka akan di hukum.
Setibanya di depan tenda utama, Raden Ronggo berhenti sejenak.
Dia menarik napas dalam, lalu menegakkan tubuhnya.
Kedua tangannya menggenggam helm sebelum dia memberi hormat kepada penjaga dan melangkah masuk dengan langkah mantap.
Mas Narpati, salah satu prajurit yang ikut dalam rombongan, melirik rekan-rekannya sebelum mengikuti Raden Ronggo ke dalam tenda.
Di dalam tenda, Tumenggung Suryopranoto berdiri di depan meja yang penuh dengan peta, sementara Adipati Tuban dan Adipati Jipang duduk di kursi masing-masing, menunggu laporan.
Pangeran Arya Candrasena bersandar di dinding tenda, matanya tajam memperhatikan siapa saja yang masuk.
"Bagaimana?" suara Tumenggung Suryopranoto terdengar tegas namun tidak meninggikan nada, "Laporkan!!"
Raden Ronggo langsung memberi hormat, membungkukkan tubuhnya dengan dalam.
"Gusti Tumenggung, kami telah mencapai bukit yang berbatasan langsung dengan Jepara. Namun, dalam perjalanan, kami ditemukan oleh prajurit lawan. Kami terpaksa mundur untuk menyelamatkan pasukan... tetapi Mas Pengging terpisah dari kami."
Raden Ronggo meluruskan tubuhnya, namun matanya tertunduk, menghindari tatapan para priagung.
Adipati Tuban memiringkan tubuhnya ke depan, meletakkan siku di atas lutut.
"Bagaimana dia bisa terpisah?" tanyanya, suaranya mengintimidasi.
Raden Ronggo mengusap peluh di dahinya sebelum menjawab. "Dia mengambil keputusan sendiri untuk memisahkan diri. Dia... bertindak di luar komando."
Adipati Jipang, yang selama ini diam, meletakkan gelas anggur di meja dengan gerakan pelan namun penuh tekanan.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Ceritakan semuanya."
Raden Ronggo menggenggam helmnya lebih erat, wajahnya menegang. "Dia menyarankan agar kami mundur lebih awal setelah menemukan jejak musuh. Tetapi saya menilai itu terlalu dini. Ketika akhirnya kami terdesak, dia justru memilih untuk memisahkan diri, menarik perhatian musuh agar kami bisa mundur."