Chapter 09

830 87 2
                                    

Chapter 09 : Tantangan terbuka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chapter 09 : Tantangan terbuka

Tiga minggu telah berlalu sejak Mas Pengging dan Kasan tiba di Padepokan Giri Jati.

Hidup di sana terasa seperti rutinitas yang perlahan-lahan mulai ia biasakan, meskipun rasa asing belum sepenuhnya hilang.

Masih belum ada teman dekat selain Kasan—abdi yang selalu setia di sisinya dan sering kali menjadi satu-satunya orang yang bisa diajak bercanda di tengah lingkungan baru yang keras dan penuh aturan.

Para murid senior tampaknya masih melihat Mas Pengging sebagai pendatang baru, sementara beberapa justru memperlakukannya dengan sedikit dingin, mungkin karena rasa cemburu atas kemampuan alaminya.
 
Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Mas Pengging sudah harus bangun.

Udara pegunungan terasa menusuk, dan embun pagi menyelimuti daun-daun di sekitar padepokan.

Bersama murid-murid lain, ia berjalan turun ke kaki bukit untuk menimba air dari sumur di bawah lembah.

Proses ini bukanlah pekerjaan mudah. Mereka harus mengangkut ember-ember besar melewati jalan setapak yang licin dan curam, naik ke padepokan yang berada di atas.

Mas Pengging terbiasa memikul dua ember sekaligus di pundaknya, meski tubuhnya kadang terasa berat setelah beberapa hari latihan tanpa jeda. Namun, ia tidak mengeluh—ia tahu ini bagian dari disiplin.

Setelah tugas menimba air selesai, mereka akan sarapan dengan menu sederhana.

Tak lama setelah itu, sesi latihan bela diri dimulai. Selama setengah hari penuh, Mas Pengging berlatih berbagai gerakan dasar dan jurus bersama murid-murid lainnya di halaman padepokan.

Di bawah panduan ketat Ki Ageng Kambangan dan murid-murid senior, setiap jurus harus dilakukan dengan sempurna—tidak hanya secara teknik, tetapi juga dengan hati dan konsentrasi penuh.

Mas Pengging memperhatikan betul gerakan para senior, lalu menirunya dengan saksama.

Meskipun baru tiga minggu, bakat alamiahnya mulai terlihat. Ia bisa menguasai jurus-jurus dengan cepat dan bahkan mulai mengimbangi murid-murid senior yang sudah lebih lama berlatih di sana.

Ki Ageng Kambangan beberapa kali memuji kemajuannya. Namun pujiannya tidak berlebihan, dan itu menjadi motivasi tersendiri bagi Mas Pengging.
 
Ketika sore tiba, para murid mendapatkan waktu bebas. Beberapa memilih untuk beristirahat, sementara yang lain mencari kesenangan sederhana seperti berjalan-jalan di sekitar hutan atau menikmati pemandangan pegunungan.

Mas Pengging biasanya memilih duduk bersama Kasan di tepi kolam atau merenung di bawah pohon besar di sudut halaman.

Meski ia mulai terbiasa dengan ritme di padepokan, ada saat-saat di mana ia merindukan rumah dan kehidupan yang lebih bebas.

Setelah makan malam sederhana, biasanya para murid akan berkumpul di balai utama. Ki Ageng Kambangan memimpin sesi pembelajaran spiritual, mengajarkan filosofi hidup, meditasi, dan ajaran kebijaksanaan.

[BL] Kartika Ing Kisma Dhahas 🔞 | END✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang