Tanya Hati

187 49 6
                                    

Lia menatap salah satu room chat yang sudah hampir 1,5 bulan ini tidak memunculkan notifikasi pesan dari gadis jangkung yang tiba-tiba muncul di hidupnya. Terlebih Lia juga tak pernah lagi melihat kehadiran Mika yang sebelumnya rajin menyambangi fakultasnya hanya untuk mengajaknya makan siang atau sekedar membawakannya makanan.

Berbagai pertanyaan muncul di benak Lia. Bisa saja ponsel Mika hilang, atau sedang tidak punya kuota, atau mungkin si jangkung itu memang sudah menyerah untuk berusaha mendekatinya. Ada perasaan tak nyaman ketika membayangkan skenario yang terakhir. Jujur saja, sedikit terbersit keinginan Lia untuk mengirim pesan kepada sosok yang lebih tua, namun gengsinya terlalu besar untuk melakukannya. Lagipula Lia tak tahu apa yang harus dibicarakannya. Sungguh Lia bingung dengan perasaannya sendiri, mengapa secara tiba-tiba ia merasa seperti kehilangan. Mengapa Lia merasa Mika sedang meng-ghosting-nya?

Tak seharusnya hal ini berpengaruh bagi Lia, tak seharusnya juga Lia mempedulikannya, justru seharusnya Lia senang bisa menjalani hari-hari tanpa gangguan seperti sebelumnya. Tapi hari demi hari berlalu, tanpa sadar Lia menghitung jumlah hari tanpa pesan dan ucapan selamat pagi dari Mika. Lia menghembuskan nafasnya kasar, mungkin ia salah menduga, karena sepertinya Mika memang berpengaruh di hidupnya.

Tak mau membahas hal ini dengan sahabat-sahabatnya, Lia memilih berkonsultasi dengan sang kakak. Walau tetap saja ada keraguan dan rasa gengsi di benaknya, namun tetap diketuknya pintu kamar kakaknya perlahan.

"Bang, lagi sibuk gak?" Tanyanya dari luar kamar. Tak ada jawaban, namun terdengar bunyi kunci pintu dibuka dari dalam, membuat Lia sedikit menaruh rasa curiga.

"Iyuwhh... lagi ngelakuin yang jorok-jorok ya? Kok dikunci dari dalem?"

"Asbun banget bocil, ada apa?" Jawab sang kakak mengabaikan pertanyaannya.

"Ehm gak ada apa-apa sih, cuma mau ngobrol aja. Tapi kalo Bang Owen lagi sibuk kapan-kapan aja deh ngobrolnya." Lia hendak berbalik badan sebelum tangan besar kakaknya menahan kepalanya agar tak melangkah lebih jauh.

"Masuk, gue lagi gak sibuk." Jawab Owen singkat.

"Sayang udah dulu ya, tumben banget ini ada interupsi dari bocah kematian. Nanti aku telpon lagi. I love you." Lia yang melihat pemandangan itu langsung memasang muka jijik.

"Kenapa gitu ekspresi lo?"

"Geli aja lihat lo mode bucin, gak cocok sama otot lo yang gede itu." Jawab Lia sambil terkekeh.

"Dasar jomblo, iri aja. Mau ngobrolin apa? Penting banget kayaknya."

"Gak bisa dibilang penting juga sih." Lia memutar otak agar pertanyaannya tidak terdengar mencurigakan.

"Ya apa bocil? To the point kek." Jawab Owen tak sabar.

"Uhm... gue mau nanya soal Kak Mika."

"Emang dia kenapa?"

"Itu dia bang yang mau gue tanyain ke lo, dia gak kenapa-kenapa kan? I mean, is she okay?" Owen terdiam sejenak mendengar pertanyaan adiknya.

"I don't know, maybe yes, maybe no. Gue udah lama gak liat dia sih di kampus. Lagi sibuk ngerjain skripsinya mungkin." Lia mengangguk pelan, jawaban dari sang kakak adalah sebuah info baru untuknya. Selama Mika mendekati dirinya, Lia tidak pernah tahu bahwa Mika juga tengah sibuk berkutat dengan skripsi. Pantas saja Mika selalu terlihat kelelahan dan seperti kurang tidur. Mungkin juga itulah alasan kenapa Mika tiba-tiba menghilang dari peredaran dan berhenti mengganggunya.

"Wait... kenapa tiba-tiba lo nanya gitu ke gue? Bukannya kalian berdua sering ketemu ya?" Tanya Owen sesaat setelah menyadari suatu kejanggalan.

"Lebih tepatnya dia yang nyamperin gue sih bang, tapi udah sebulan lebih ini gue gak lihat batang hidungnya nongol."

SKRIPSI CINTA MAHIKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang