Chapter 23

334 48 6
                                    

"Cassie, kapan kamu datang, sayang?" Riana bertanya dengan nada penuh kasih, memeluk Cassie dengan erat.

Cassie tersenyum kecil, menerima pelukan hangat itu dengan penuh keakraban. "Belum lama, bibi. Aku hanya sebentar di sini," jawabnya, dengan senyum tipis.

Riana mengangguk, mengerti meskipun sedikit kecewa karena Cassie tidak bisa tinggal lebih lama. "Bagaimana kabar ibumu, sayang?" tanyanya lembut sambil mengusap rambut Cassie, seperti seorang ibu yang penuh kasih sayang. Gesturnya tampak tulus, tanpa memperdulikan kehadiran Hema yang berada tidak jauh dari mereka.

Cassie tersenyum cerah, menatap Riana dengan penuh hormat. "Ibu baik, bibi. Sekarang sedang di Jepang bersama Ayah untuk urusan pekerjaan," jawab Cassie sopan, lalu menambahkan dengan nada bercanda, "Bibi sendiri bagaimana? Bibi terlihat bahagia sekali akhir-akhir ini. Pasti karena sebentar lagi akan mendapatkan cucu, kan?"

Wajah Riana seketika bersinar mendengar pertanyaan itu, dan tawa kecil terlepas dari bibirnya. "Benar sekali, Cassie. Aku benar-benar tidak sabar," ujarnya dengan nada penuh haru, tatapannya sejenak beralih ke Ansel, yang sedang berbincang dengan adiknya di ruang tamu. "Rasanya baru kemarin aku membesarkan Damian dan Matteo, dan sekarang mereka akan menjadi seorang ayah. Waktu berlalu begitu cepat."

Cassie mengangguk setuju, tersenyum hangat mendengar cerita Riana tentang Damian dan Matteo, kedua putra sulungnya yang sebentar lagi akan menyambut buah hati mereka. Ia kemudian melirik ke arah Hema yang berdiri di dekatnya, tersenyum tipis. "Jevran pasti akan segera menyusul. Iya kan, Hema?" ujarnya, mencoba mengalihkan pembicaraan dan melibatkan Hema dalam percakapan.

Hema tersenyum kecil, meski tidak sepenuhnya tersenyum bahagia. "Iya, semoga," jawabnya lirih, meskipun di dalam hatinya terasa berat. Ia tahu topik ini selalu menjadi momok baginya.

Namun, sebelum Cassie bisa berkata lebih banyak, Riana kembali membuka mulut, dan kali ini dengan nada yang lebih tajam. Senyum di wajahnya perlahan memudar menjadi senyum pahit. "Ya, jika saja dia bisa memberi putraku keturunan," ujarnya dengan suara sedikit lebih rendah, tetapi cukup jelas untuk didengar oleh Hema. "Seandainya Jevran menikah denganmu, sayang," lanjut Riana, kali ini matanya kembali menatap Cassie dengan penuh penyesalan, "dia pasti sekarang sudah di posisi yang sama seperti Damian dan Matteo."

Kata-kata itu seakan melukai udara di sekitar mereka. Riana mengatakannya tanpa sedikit pun memperdulikan perasaan Hema yang jelas-jelas ada di sana, berdiri hanya beberapa langkah dari mereka. Seolah-olah kehadiran Hema tak berarti apa-apa dalam pembicaraan ini.

"Bibi, kenapa bicara seperti itu," Cassie mencoba menghentikan pembicaraan itu, merasa tidak enak hati. Ia tahu Hema pasti terluka oleh ucapan itu.

Namun, Riana tampaknya tidak peduli, atau lebih tepatnya, ia tidak ingin peduli. "Sudahlah, sayang. Ayo kita ke taman belakang saja, kita bisa berbicara lebih tenang di sana," ujarnya seraya menggandeng tangan Cassie, menariknya pergi dan meninggalkan Hema yang masih berdiri diam di tempatnya, terpaku mendengar setiap kata yang baru saja diucapkan.

Hema menundukkan kepalanya perlahan, hatinya terasa seperti diremukkan. Tangan gemetar, ia berusaha keras menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk matanya. Namun, rasa sakit di dalam hatinya tak bisa terbendung. Ia tahu Riana tidak pernah benar-benar menerimanya, tapi mendengar langsung seperti ini, di depan Cassie pula, membuat luka itu semakin dalam. Seakan menegaskan kegagalannya sebagai istri Jevran.

Sejenak, ia melirik ke arah perutnya sendiri, merasa semakin tak berdaya. Sejak menikah dengan Jevran, ia tahu harapan keluarga Jevran besar, terutama dari Riana. Dan kini, setelah sekian lama, harapan itu berubah menjadi beban yang berat, yang ia tak tahu bagaimana caranya ia harus menghadapinya.

From Eyes to Heart  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang