Chapter 3

411 60 0
                                    

"Gila lo! Baru awal udah dapet nomor telepon Damian," seru Denis dengan mata berbinar-binar, menatap kartu nama yang disodorkan Juan di atas meja. Kartu nama itu bukan sembarang kartu. Itu adalah kartu yang diberikan oleh Damian Valentino Atmadja, anak dari keluarga terpandang yang sangat sulit didekati. Nama besar keluarga Atmadja membuat siapa pun yang berhubungan dengan mereka seolah mendapat pengakuan sosial tersendiri. Denis memandang kartu itu seakan melihat kunci emas ke dunia yang penuh prestise.

Senyum puas tersungging di bibir Juan, yang seolah ingin mengatakan, "Iya, gue berhasil." Dengan gaya santai, Juan melipat tangan di dada dan berkata, "Dia juga minta ketemu besok di ruang vokal fakultas bisnis jam satu siang."

Denis, yang tadinya sudah kagum, kini semakin takjub. Dia sampai berdecak penuh rasa bangga melihat sahabatnya bisa bergerak secepat itu. Baru hari pertama dalam tantangan mereka untuk mendekati keturunan keluarga Atmadja, dan Juan sudah mencetak poin penting dengan mendapat nomor telepon Damian.

"Keren banget sih lo, asli. Enggak sia-sia ternyata selama ini nyanyi di kamar mandi!" ucap Denis, menertawakan kebiasaan Juan yang sering bernyanyi keras-keras saat mandi. Juan hanya mendengus, tapi tidak menolak ledekan itu. Lagipula, lelucon itu benar adanya. Siapa sangka hobi nyanyi di kamar mandi bisa membawanya ke momen ini?

Sementara itu, Ansel sedang sibuk memotong cake coklatnya dengan tenang. Juan, yang masih dipenuhi rasa penasaran, melirik ke arah Ansel dan bertanya, "Lo gimana, Sel? Matteo?"

Ansel berhenti sejenak dari kegiatannya, memandang Juan dan Denis sebelum menjawab dengan suara santai tapi penuh kebanggaan. "Besok malem gue mau ke arena... sama Matteo," katanya, dengan sedikit penekanan pada kata "Matteo," membuat matanya berkilat bangga. Setelahnya, ia dengan tenang menyuapkan potongan cake ke mulutnya, seolah apa yang dia katakan barusan bukanlah sesuatu yang besar.

"Anjir! Gila sih lo berdua!" Denis hampir memukul meja saking kagumnya, matanya berbinar-binar penuh kekaguman pada Juan dan Ansel yang berhasil mendekati dua sosok paling sulit di kampus. Damian dan Matteo bukan hanya keturunan keluarga kaya raya, tetapi mereka juga punya reputasi yang sulit ditembus. Bergaul dengan mereka berarti bisa masuk ke lingkaran sosial yang eksklusif.

Juan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Denis tidak terbawa euforia dulu. "Lo jangan kagum dulu, Nis. Ini masih tahap awal. Siapa pun bisa kalau cuma niat buat temenan. Damian sama Matteo itu kan emang friendly, masih terbuka kalau mau deketin. Tapi, kalau udah melibatkan hati, itu beda cerita, bro," kata Juan bijak, meski wajahnya tetap memancarkan kepuasan diri.

Ansel mengangguk, setuju dengan pendapat Juan. "Banyak banget yang coba deketin mereka. Siapa sih yang enggak mau deket sama keturunan Atmadja? Tapi ujungnya pasti banyak yang gagal, apalagi kalau udah nyebutin Jevran," ujar Ansel sambil mengingatkan mereka tentang sosok yang paling sulit dijangkau dari keluarga Atmadja.

Nama Jevran memang langsung mengubah suasana. Ketiganya serentak menoleh ke arah Hema yang dari tadi diam sambil memasang wajah masam. Jevran adalah anak paling sulit didekati. Jika Damian dan Matteo masih bisa diajak bicara dengan ramah, Jevran adalah tembok yang tidak bisa ditembus.

"Lo dapet apa, Hem?" tanya Juan, nadanya terdengar lebih hati-hati sekarang, karena mereka semua tahu mendekati Jevran bukanlah perkara mudah. Matanya menatap Hema penuh rasa ingin tahu, meskipun ia bisa menebak jawabannya. Jika Damian dan Matteo saja susah, apalagi Jevran.

Sebelum Hema sempat menjawab, Denis dengan senyum jahilnya sudah menyela, "Dapet hikmahnya."

Sekejap, Juan dan Ansel meledak dalam tawa terbahak-bahak. Hema mengumpat kesal, wajahnya semakin masam, menatap tajam ke arah Denis yang masih terkekeh melihat reaksi sahabatnya. "Sialan lo, Nis," ucap Hema dengan nada jengkel.

From Eyes to Heart  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang