Chapter 4

805 109 5
                                    

"Jevran!" Suara Hema melengking memenuhi koridor kampus yang ramai, membuat beberapa mahasiswa yang sedang berlalu-lalang menoleh dengan tatapan heran. Namun, Hema tak memedulikan perhatian itu. Fokusnya hanya tertuju pada sosok tinggi di depan sana-Jevran-yang tampak acuh meski ia yakin suaranya terdengar cukup keras.

Di tangannya ada sebuah kotak bekal yang ia bawa dengan niat baik untuk diserahkan kepada Jevran. Tapi, Jevran bahkan tidak menoleh sedikit pun, seakan tidak peduli. Hal itu membuat Hema mendecak kesal.

"Ck, jalan cepat banget, sih!" gumamnya sambil mempercepat langkahnya, berlari kecil untuk mengejar pemuda itu. Sepatu yang ia kenakan membuatnya sedikit kesulitan menyeimbangkan langkah cepat Jevran. Tapi, Hema terlalu fokus mengejarnya sampai-sampai tidak memperhatikan sekelilingnya.

Tiba-tiba, kakinya tergelincir di lantai koridor yang licin. "Aah!" jerit kecil meluncur dari mulutnya, tubuhnya terjatuh dengan keras di atas lantai dingin. Sekotak bekal yang ia bawa terlepas dari genggamannya, berguling beberapa meter menjauh dari tempatnya jatuh.

Hema meringis kesakitan, memegangi sikunya yang terbentur cukup keras. Matanya sempat berkerut menahan nyeri, tapi suara langkah mendekat mengalihkan perhatiannya.

"Lo nggak papa?" Sebuah suara tenang terdengar dari atas kepalanya. Hema mendongak, dan mendapati seorang pemuda berdiri di depannya, mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.

Matanya melebar, mulutnya terbuka lebar karena terkejut. Matteo? Itu adalah Matteo, kakak kedua Jevran. Satu sosok yang tidak pernah ia duga akan mendekat, apalagi membantunya di saat seperti ini. Matteo terkenal dengan sikap ramahnya, berbanding terbalik dengan adiknya yang sering bersikap dingin dan cuek.

Dengan sedikit ragu, Hema menerima uluran tangan Matteo. Tangannya terasa hangat dan kuat saat menarik Hema berdiri. Ketika sudah berdiri tegak, Hema cepat-cepat melepaskan genggaman tangannya, merasa canggung.

"Sorry untuk sikap Jevran yang kayak gitu," ucap Matteo dengan nada tulus, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa bersalah. "Dia memang sering nggak peduli sama sekitar."

Hema terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Matteo. "Hah? Oh... nggak apa-apa kok," jawabnya terbata, berusaha terdengar santai meski sedikit terkejut karena Matteo, yang tidak pernah bicara dengan dirinya, saat ini malah meminta maaf atas sikap Jevran.

Matteo kemudian merogoh saku blazer kampusnya dan mengeluarkan sebuah plester kecil bergambar hamster. Dia menyerahkannya pada Hema, sambil melirik sikunya yang terlihat sedikit lecet. "Ini, siku Lo lecet, kan? Pakai ini aja."

Hema tertawa canggung sambil menerima plester itu dari Matteo. "Cuma kegores dikit kok, aman," ujarnya, tersenyum untuk menenangkan kekhawatiran Matteo. Ia berusaha terlihat biasa saja, meski dalam hatinya cukup terharu dengan sikap lembut Matteo.

Matteo tersenyum tipis melihat respons Hema. Senyumannya membuat suasana yang sempat canggung menjadi sedikit lebih hangat. Hema bergumam dalam hati, "Beda banget sama Jevran," Sikap hangat Matteo benar-benar jauh berbeda dari Jevran yang dingin dan acuh. Ia tak bisa menahan diri untuk membandingkan dua saudara itu dalam diam.

***

"Lo kenapa, sih? Gue tau Lo tau kalau dia jatuh," ujar Matteo dengan nada tajam, menatap lekat-lekat adiknya, Jevran, yang tampak sama sekali tak terpengaruh.

Di balik ketenangan wajahnya, Matteo menyembunyikan rasa kesal yang kian memuncak. Bagaimana bisa Jevran, adik yang ia kenal, begitu tak peduli? Sementara itu, Jevran terus menelusuri deretan huruf dalam buku tebal yang tengah dibacanya, sama sekali tak memberikan respon berarti terhadap kemarahan kakaknya. Matteo mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menunggu sebuah reaksi, walau kecil.

"Jevran," suara Matteo kini terdengar lebih tegas, penuh tuntutan. Namun, tetap tak ada respons langsung. Jevran hanya menghela napas pelan sebelum akhirnya menutup buku yang sedang dibacanya, lalu mengangkat wajahnya untuk menatap Matteo dengan sorot mata tajam. Sorot yang seolah berkata bahwa ini adalah pembicaraan yang tak ingin dia lanjutkan.

"Lo enggak usah ikut campur," ucap Jevran dengan suara yang datar, tapi penuh ketidakpedulian. "Orang kaya dia Cuma mau harta. Itu aja."

Matteo tertegun sejenak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Matanya membelalak, menatap Jevran dengan campuran amarah dan rasa tidak percaya. Bagaimana mungkin adiknya bisa sekejam ini? Jevran bahkan tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk empati dalam nadanya. Matteo tidak bisa menerima pandangan itu, pandangan yang begitu sinis dan sempit. Dan yang lebih membuatnya marah adalah kenyataan bahwa Jevran benar-benar percaya dengan apa yang dia katakan.

***

"Bagaimana keadaan nenek?" tanya Jevran dengan lembut, matanya penuh kehangatan saat memandang wanita tua yang duduk di sebelahnya. Udara sore yang sejuk menyelimuti ruangan, sementara suara burung berkicau terdengar samar dari luar jendela yang terbuka. Kehangatan dari percakapan mereka tampak menyatu dengan suasana hangat yang ada di rumah itu.

Wanita tua itu tersenyum lembut, kerutan di wajahnya tampak semakin jelas ketika ia tertawa kecil. "Sudah sangat baik, cucuku merawatku dengan baik," jawabnya, suaranya terdengar penuh kasih. Matanya yang keriput memancarkan kelembutan yang menenangkan, namun jawaban itu membuat Jevran mengerutkan kening, seolah sesuatu dalam ucapannya mengusik pikirannya.

"Cucu?" gumam Jevran pelan, hampir tidak terdengar. Matanya beralih sejenak, seperti mencoba mengingat atau mengaitkan sesuatu. Wanita tua itu terkekeh kecil mendengar kebingungannya.

"Ya, cucuku," jawabnya, suaranya penuh kebanggaan. "Nenek tinggal berdua dengannya di rumah ini sejak kedua orang tuanya meninggal ketika dia masih kecil. Sejak saat itu, dia menjadi satu-satunya yang merawatku. Dia anak yang baik, selalu memperhatikan dan memastikan nenek tidak kekurangan apa pun." Jevran mengangguk pelan, memahami betapa dalam hubungan antara wanita tua itu dan cucunya. Ada kekaguman yang terpantul dari matanya, menghargai ketulusan cinta dan perhatian yang diberikan cucunya.

Namun, tiba-tiba nada suara wanita itu berubah menjadi lebih serius, sedikit khawatir. Ia memandangi Jevran seolah sedang mengingatkan sesuatu yang penting. "Kau harus berhati-hati, Nak," ujarnya, nada suaranya lembut tapi tegas. "Melihatmu, aku seperti melihat cucuku sendiri. Aku tidak bisa membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi padanya, atau padamu."

Mendengar kekhawatiran itu, Jevran tersenyum tipis, mencoba menenangkan hati wanita tua di depannya. "Aku janji akan lebih berhati-hati, Nek," ujarnya dengan suara yang lembut namun penuh keyakinan. Ia ingin memastikan bahwa wanita itu tahu, ia menghargai kekhawatirannya dan tidak akan mengecewakannya. Wanita tua itu tersenyum lega mendengar janjinya, seolah beban di pundaknya berkurang sedikit. Tangannya yang keriput terangkat perlahan, dengan lembut menyentuh rahang tegas Jevran.

"Tampan sekali anak ini," katanya sambil tersenyum hangat, memandangi Jevran seolah menilai lebih dari sekadar penampilan luarnya. Ada ketulusan dan kebijaksanaan di matanya, seolah dia melihat jauh ke dalam hati pemuda itu. Jevran tertawa kecil, merasa dihargai oleh pujian sederhana itu.

"Datanglah kemari lagi nanti," lanjut wanita itu, suaranya kembali ceria. "Aku akan memperkenalkan kalian berdua. Sayang, sekarang dia sedang bekerja,"




TBC...

From Eyes to Heart  [JAKESEUNG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang