Warning: contain some harsh words, a bit violance, and kinda slutshaming 😔🙏
****
"Body count?"
"Lima."
"Wuih, lima? Serius lima?" Bio bertanya berkali-kali seolah dia tidak percaya. "Banyak juga, Bro!"
"Sebentar, sebentar. Disclaimer dulu. Ini gue nggak pamer ya. Bio nih yang nanya makanya gue jawab."
Cowok yang disebut-sebut Ibas bernama Bio itu memangku wajah sambil mengusap dagu. Raut wajahnya menggambarkan seolah dia sedang menyanjung Ibas. "Serius ya ini lima?"
"Serius. Bohong gue disamber geledek!"
"Mantap!" Bio tepuk tangan sok asik. "Terus cewek kemaren itu gimana? Yang ciuman sama lo. Sempet icip-icip juga nggak?"
"Nggak sejauh itu sih. Gue sebagai cowok kan tau diri ya. Tau batas-batasan lah."
"Tau diri tapi nggak nolak pas dicium?"
"Enggak dong! Sulit itu. Ibaratnya lo kucing, terus disodorin ikan asin, masa mau nolak? Rugi lah, Bro!"
"Gue tau banget nih yang begini-begini." Bio tertawa-tawa sambil menunjuk Ibas. "Kita mah nggak niat ya, tapi kalo disodorin ya nggak bakal nolak."
"Nah, itu! Paham, kan, maksud gue?"
Flip.
Sashi menutup ponselnya hingga layarnya yang tadi memutar potongan video berubah gelap.
Hari ini, namanya kembali naik gara-gara Ibas membahasnya di acara podcast murahan. Padahal, Ibas bukan siapa-siapa. Tapi seseorang justru memberinya panggung seolah dia adalah tokoh terkenal yang kehadirannya sangat dinanti-nanti. Bagian paling memuakkannya, Sashi dibenci habis-habisan untuk apa yang dia lakukan, beberapa bahkan melabelinya murahan. Tapi Ibas? Cowok itu justru dengan bangga membahasnya di ruang terbuka. Merasa keren. Seolah ciuman dan tidur dengan banyak perempuan adalah sebuah prestasi yang patut dia pamerkan.
Sashi betulan membencinya. Bukan hanya pada Ibas, tapi juga lingkungan sosial yang bersikap jauh lebih ramah pada laki-laki daripada perempuan.
Kepalanya tenggelam di antara kedua lutut yang tertekuk. Dia capek. Betulan capek. Tapi Mima bilang, semua ini adalah salahnya. Jadi mau sebanyak apapun Sashi ingin memaki, semua kata-kata kasar itu akhirnya dia telan sendiri.
Demi nama baiknya.
Demi karirnya.
Demi dirinya ... yang ingin diterima di mana pun dia hadir. Miris sekali.
Kepala Sashi terangkat ketika ponselnya bergetar. Ada pesan dari Papa yang marah besar di grup keluarga, Mama yang merasa kecewa dan sangat malu, Setta yang memaki dengan bahasanya yang tidak terkendali, juga Sammyㅡadik kecilnya yang sekarang sudah lihai menyebutnya sebagai beban keluarga.
Sashi tersenyum kecut. Kali ini dia bahkan tidak melakukan apa-apa, tapi masih dia juga yang kena. Bukan hal baru, sih. Tapi dia jadi tersadar kalau dia tidak pernah punya rumah untuk berlindung, bahkan di saat dia sedang menjadi bahan olok-olokan seperti sekarang.
Acara marah-marah mereka masih berlanjut di grup. Sashi yang lelah memejamkan mata. Ketika matanya kembali terbuka, jarinya bergerak menekan opsi left.
Napasnya tertarik begitu panjang setelahnya. Ada panggilan masuk dari Jaziel. Terus menyala-nyala hingga Sashi memutuskan untuk mengangkatnya.
"Di mana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome to Colors
Ficción GeneralSkandal video tiga detik yang tersebar di media sosial membuat hidup Sashi jungkir balik. Karirnya sebagai selebgram hancur dalam semalam. Dia kehilangan teman, pekerjaan, bahkan keluarga. Semua ini karena kebodohannya yang tanpa sadar mencium kekas...