6. Di antara Dua Komandan

632 67 11
                                    

Pekat ... Gelap ... Hampa

Langit malam ini sama sekali tak menyisakan satu pun bintang untuk sekedar memberikan setitik cahaya kecilnya.

Aroma bubuk mesiu masih tercium keras menusuk ke dalam indera penciuman.

Kepingan reruntuhan dari kehancuran sebuah desa, masih tergambar jelas.

Sisa-sisa kenangan kelam yang sudah terjadi beberapa jam lalu.

Arumi, dengan tatapan kosong, duduk termangu memandangi kegelapan yang membutakan matanya.

Aliran listrik yang terputus.

Sinyal yang terputus.

Seolah melukiskan korban dari suatu ketamakan sebuah negara yang haus akan keserakahan, bukanlah mereka para petinggi. Melainkan rakyat kecil dan semua fasilitas umum yang hancur berantakan.

Arumi terus menyalahkan dirinya sendiri.

Tak tahan dengan rasa bersalah yang menggelayut di atas pundaknya, membuat leher Arumi terasa berat dan berakhir menjatuhkan kepalanya bersembunyi pada dua lutut yang dia tekuk.

Isak tangis terdengar pelan darinya.

Arumi benar-benar merasa gagal total dalam tugasnya.

"Maaf," lirih Arumi yang terus mengalir deras dari mulutnya.

Hanya satu kata itu tapi sudah merobek perasaannya.

Sementara itu, di dalam pos terlihat Elang tengah berbicara dengan salah satu perawat.

"Lihat Arumi?" tanya Elang masih dengan wajah meringis.

"Kayaknya dia keluar, Pak," jawab perawat tersebut.

Masih dengan wajah pucat, Elang berjalan tertatih ingin mencari Arumi. Tetapi, Syarif tiba-tiba menghentikan tujuannya.

"Lo mau ketemu Arumi?" tanya Syarif sambil memegangi perutnya.

Elang mengangguk. "Kenapa?"

"Mau bahas soal stok obat, kan?" Pertanyaan Syarif seolah memberi kesan berbeda.

"Kalau iya, kenapa. Kalau ngga, kenapa?" Elang balik melemparkan pertanyaan kepada Syarif.

Elang pikir, Syarif akan terus mencegahnya tapi ternyata dia justru memberikan sebuah senyuman tulus lalu menjawab sembari menepuk pundak Elang.

"Ya udah kalau mau bahas stok obat," tandas Syarif membuat kedua alis Elang menyatu.

***

Di hamparan jalanan desa yang sudah hancur dan di antara gelapnya kondisi yang saat ini harus mereka jalani, Elang mencoba menajamkan matanya untuk mencari sosok perempuannya.

Langkahnya masih tertatih dan saat dia menemukan seorang perempuan tengah menekuk wajahnya persis di sebelah markas militer tempat dirinya bertugas, Elang mencoba menyeret cepat kakinya agar bisa sampai.

Tanpa mengeluarkan suara apa pun, Elang mendudukkan tubuhnya yang masih terasa nyeri.

Arumi yang merasakan kehadiran seseorang di sebelahnya, segera menoleh kilat.

"Ngapain di sini?" tanya Arumi saat melihat Elang susah payah ingin menyamakan posisi mereka.

"Cari kamu. Harusnya aku yang tanya, kamu ngapain di sini?" balas Elang dengan nafas tersendat.

"Hati-hati luka jahitannya." Arumi memberikan peringatan.

Elang tertawa kecil kemudian tersenyum manis ke arah Arumi.

ELANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang