8. Arumi Nadia

550 68 17
                                    

"Arumi ...."

"Tante Nadia," cicit Arumi dan masih terdengar jelas oleh Elang, lawan bicara Arumi di telepon.

Nadia mengamati penampilan Arumi yang kali ini terlihat dengan celana bahan dan kemeja panjang kotak kebesaran serta rambut yang diikat ke atas.

Sebagian rambutnya terlihat keluar dan menutupi sisi wajahnya.

Salah satu tangan Arumi memegang satu buah koper berwarna abu-abu.

"Kamu sedang apa di istana negara?" tanya Nadia dengan tatapan mencurigakan.

Arumi nampak grogi, dia bahkan sampai lupa menutup panggilan teleponnya dengan Elang.

"Ta-tante ... itu ... saya ... saya nganter pesanan catering di dalam," elak Arumi dengan cengiran bodoh.

Pupil mata Nadia mengecil. Dia tidak serta merta mempercayai penjelasan Arumi yang terkesan ingin mempermainkannya.

"Kamu pikir bisa membodohi saya?" Nadia melipat kedua tangan dan memindai Arumi dari atas hingga bawah.

"Ah tapi terserah deh. Bukan urusan saya juga. Kebetulan banget kita ketemu di sini. Saya denger kamu sering komunikasi dengan anak bungsu saya?" selidik Nadia.

Arumi mengangguk dengan senyum canggung. "Benar, Tante. Sesekali."

"Kalau begitu saya minta nomor kamu. Ada hal yang harus saya tegaskan sama kamu, Arumi." Intonasi suara Nadia terdengar tidak enak dan terkesan tidak ramah.

Biarpun begitu, Arumi tetap memberikan nomornya kepada Nadia.

Setelah itu, tanpa permisi, Nadia langsung melengos dan memutar tubuhnya memunggungi Arumi.

"Hm, Tante ... Tante mau pulang bareng saya?" ajak Arumi.

Sikap sopan dan ramah Arumi itu justru ditanggapi dengan tatapan jijik oleh Nadia.

"Ngga usah. Terima kasih. Saya masih ada urusan di sini." Nadia kembali memberikan tatapan tidak suka kepada Arumi.

"Lagi pula saya ngga sudi satu kendaraan sama kamu," sambung Nadia membuat hati Arumi terhina.

Arumi tidak membalas lagi.

Dia hanya tertawa kaku lalu mengangguk. "Baiklah, Tante. Hati-hati."

Nadia tidak memperdulikan kata-kata Arumi dan berjalan berlalu dari hadapannya.

Arumi benar-benar lupa kalau hingga Nadia pergi, panggilan telepon dengan Elang masih tersambung dan Elang sudah mendengar sendiri bagaimana perlakuan bundanya terhadap perempuan yang dia cintai.

***

Di sana, Elang yang tidak ingin Arumi merasa tidak nyaman karena dia mendengar perkataan Nadia, buru-buru menutup teleponnya beberapa saat setelah dia mendengar Arumi menghela nafas panjang dan tertawa getir.

Elang termenung sesaat memikirkan perasaan Arumi saat ini.

Perempuannya itu pasti dalam keadaan terpukul setelah Nadia merendahkan lewat penolakan kasar.

"Walaupun Arumi pernah salah, tapi ngga seharusnya bunda berkata kayak gitu sama Arumi," ucap Elang dengan suara tertahan dan tangan meremas ponsel.

"Bunda udah keterlaluan."

Laki-laki beralis mata hitam rapih bak semut berbaris dengan bulu mata lentik alami itu segera menghubungi Maihana.

"Kak, kenapa? Aku lagi nonton drakor."

"Dek, kamu masih suka komunikasi sama Arumi?"

Maihana tiba-tiba terdiam sejenak. Dia baru menjawab setelah Elang memanggilnya beberapa kali.

ELANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang