Hari-hari berlalu, dan hubungan Gracia dan Sean semakin kuat. Mereka menjalani rutinitas baru-berbagi waktu bersama, mendukung satu sama lain dalam karier, dan menjalin impian bersama. Namun, di balik kebahagiaan yang mereka nikmati, ada satu hal yang belum mereka pertimbangkan.
Suatu pagi, Gracia merasakan mual yang tak biasa. Dia mengira itu hanya efek dari makanan yang kurang cocok, tetapi rasa mual itu terus berlanjut selama beberapa hari. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengambil tes kehamilan yang sudah disimpannya.
Saat dia menunggu hasilnya, jantungnya berdebar kencang. Pikiran tentang kemungkinan menjadi seorang ibu atau ibu baru memenuhi kepalanya. "Apa yang akan Sean katakan?" tanyanya pada dirinya sendiri. "Apakah kami siap untuk ini?"
Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Gracia melihat hasil tes. Dua garis merah muncul jelas. Gracia menutup mulutnya, merasakan campuran antara kebahagiaan dan ketakutan. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Dengan gemetar, dia mengirim pesan ke Sean. "Bisakah kita bertemu? Ada yang perlu aku bicarakan."
Sean yang sedang menjalani pelatihan dengan antusias merespons. "Tentu! Aku akan segera ke sana."
Ketika Sean tiba di rumah, wajahnya penuh rasa ingin tahu. "Ada apa, Gracia? Kamu terlihat sedikit tegang."
Gracia mengajak Sean duduk di sofa. "Sean, aku... aku sudah melakukan tes kehamilan."
Sean menatapnya dengan bingung. "Oke, dan...? Apakah hasilnya baik?"
Gracia menahan napas, matanya berkaca-kaca. "Aku hamil, Sean."
Senyum Sean langsung menghilang, digantikan dengan ekspresi terkejut. "Apa? Kamu serius?"
"Ya," jawab Gracia, suaranya bergetar. "Aku baru saja mengambil tes, dan itu positif."
Sean terdiam sejenak, mencoba mencerna informasi tersebut. "ini sangat mendadak. Kita... kita akan menjadi orang tua?"
Gracia mengangguk, merasakan campuran kegembiraan dan kekhawatiran. "Aku tahu ini bukan waktu yang mudah untuk kita. Kita masih muda, dan ada banyak yang harus kita pikirkan."
Sean menarik napas dalam-dalam, berusaha tetap tenang. "Gracia, aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini untukmu. Apapun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama."
Gracia merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. "Tapi, Sean, kita belum siap. Kita masih memiliki banyak impian dan rencana."
"Benar," Sean menjawab, "tetapi kita bisa membuat rencana baru. Kita bisa melanjutkan impian kita sambil menjadi orang tua. Kita hanya perlu saling mendukung."
Mata Gracia berkaca-kaca saat mendengar kata-kata Sean. "Apakah kamu benar-benar siap untuk ini?"
"Aku tidak tahu," kata Sean jujur. "Tapi aku tidak ingin kehilangan kamu. Kita bisa mencari cara untuk membuatnya berhasil. Kita bisa belajar bersama."
Gracia mengangguk, merasa didukung oleh cinta dan komitmen Sean. "Aku ingin kamu berada di sisiku, Sean. Kita bisa melakukan ini."
Sean meraih tangan Gracia, menggenggamnya erat. "Kita akan menemukan cara. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya satu lagi dari perjalanan kita."
Setelah beberapa saat berdiam diri, Gracia merasakan kelegaan. "Terima kasih, Sean. Aku merasa lebih baik sekarang. Kita akan melakukan ini bersama."
Mereka berdua berpelukan erat, merasakan cinta yang mengikat mereka semakin kuat. Meskipun ada ketakutan dan ketidakpastian, mereka tahu bahwa mereka tidak sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love In Uniform
General FictionDi balik seragam yang rapi dan disiplin militer yang ketat, ada kisah cinta yang berkembang dalam diam. Sean Nathaniel Valerio, seorang prajurit muda yang berani, telah mengabdikan hidupnya untuk melindungi tanah air. Setiap hari, dia berlatih denga...