Usai keluar dari kamar aryan, Lita berjalan menyusuri rumah hingga bertemu dengan ibunya, Tiara, yang menunggu dengan cemas. Begitu melihat Lita mendekat, Tiara segera bertanya dengan penuh harap, "Bagaimana? Aryan mau?"
Lita hanya menggeleng pelan, menundukkan pandangannya. "Tidak maa. Kak aryan tidak mau keluar," jawabnya dengan nada kecewa. Ia tahu ibunya juga berharap aryan mau sedikit membuka diri, meski hanya berjalan di sekitar rumah.
Tiara mengangguk dengan tatapan penuh pengertian. "Baiklah, biarkan saja. Jangan memaksanya. Mungkin dia hanya butuh waktu," kata Tiara, suaranya lembut namun terdengar kesedihan yang tersimpan di dalamnya. Ia tahu, luka yang dialami aryan bukan sesuatu yang mudah untuk disembuhkan.
Lita pun mengangguk setuju, memahami kekhawatiran ibunya, lalu berkata, "Maa, Lita mau pamit. Mau pergi ketemu teman-teman." Meskipun cemas meninggalkan aryan, Lita merasa perlu meluangkan waktu sejenak bersama teman-temannya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran akan kakaknya.
Tiara tersenyum dan mengusap lembut bahu putrinya. "Iya, pulangnya jangan lama ya " ujarnya memberi izin. Ia melihat Lita berlalu, berjalan dengan langkah yang ringan, pergi menemui teman-temannya.
Setelah Lita pergi, Tiara berdiri sendirian di tengah rumah yang sepi, merasakan sunyi yang kini melingkupi rumah besar mereka. Sekilas ia menoleh ke arah kamar aryan, berharap bahwa suatu hari nanti, anaknya itu akan menemukan kembali kebahagiaannya. Namun untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu dan mendoakan, setia menjadi penopang dalam diam untuk luka yang perlahan-lahan perlu sembuh.
🦋🦋
Saat tana sibuk merapikan bunga-bunga di tokonya, suara lembut anak kecil memanggil, "Kak Tana!" Tana menoleh dan melihat sosok mungil yang tersenyum ceria di ambang pintu. Ia langsung membersihkan tangannya dari sisa-sisa bunga dan menghampiri anak itu, lalu memeluknya dengan hangat.
Anak itu adalah gilang, adik tirinya yang baru berusia enam tahun. Meski mereka berbeda ibu, Tana tak pernah memandangnya dengan perbedaan. Bagi Tana, Gilang adalah keluarganya, darah dagingnya. Setelah ayah dan ibu mereka tiada, Tana merawat gilang seorang diri. Kini, mereka hidup berdua, saling menjadi sandaran dalam menjalani hari-hari yang penuh tantangan.
Gilang baru saja pulang dari tempat les yang lokasinya tak jauh dari toko bunga tana. Masih dalam pelukan kakaknya, mata gilang berbinar, bangga dengan sesuatu yang ingin ia tunjukkan. Setelah mereka duduk, Gilang membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku yang sudah terbuka pada halaman hasil belajarnya hari itu. "Kakak, tadi gilang sama teman-teman yang lain berhitung, dan gilang dapat nilai seratus dari bu guru," kata gilang dengan wajah berseri-seri.
Tana menatap bukunya, tersenyum lebar, lalu menatap gilang penuh kasih. "Gilang hebat sekali! Kakak bangga sama kamu," ujarnya sambil mengusap lembut kepala adiknya. Gilang tersipu malu, tapi jelas terlihat senang mendapat pujian dari kakak yang sangat ia sayangi.