Mobil perlahan masuk ke halaman rumah, berhenti dengan tenang setelah perjalanan yang cukup panjang. Begitu mesin dimatikan, Tiara turun terlebih dahulu, berjalan ke bagian belakang mobil untuk mengambil kursi roda yang terlipat rapi. Ia membukanya dengan cekatan, sementara sang sopir dengan hati-hati membantu aryan berpindah dari dalam mobil ke kursi roda.
Di saat yang bersamaan, sebuah mobil lain juga berhenti di depan rumah. Lita keluar dengan langkah cepat, wajahnya berseri-seri saat melihat ibu dan kakaknya sudah tiba lebih dulu. Dengan penuh rasa ingin tahu, Lita mendekati mereka dan bertanya, "Bagaimana tadi di sekolah? acaranya lancar kan?"
Tiara mengangguk, senyumnya merekah dengan hangat. "Semua berjalan lancar dan meriah. Banyak anak-anak yang bersemangat ikut lomba, dan orang tua yang mendukung " jawabnya sambil mengingat momen-momen manis yang baru saja mereka alami. Mendengar hal itu, Lita tersenyum puas, ikut senang melihat acara yang penting bagi keluarga mereka berjalan dengan baik.
Lalu, dengan nada bangga, Lita berpaling ke aryan, berbagi kabar dari kantornya. "Kak, rapat di kantor tadi semuanya berjalan sangat baik," katanya dengan nada antusias. Aryan hanya mengangguk kecil, menatap adiknya dengan pandangan tenang dan sedikit lelah. Meski tak banyak bicara, sorot matanya menunjukkan ia menghargai usaha adiknya yang berdedikasi.
Dengan kehangatan yang memenuhi suasana, mereka pun bersama-sama menuju ke dalam rumah, membawa rasa syukur atas hari yang terlewati dengan baik dan penuh kebahagiaan.
🦋🦋
Begitu sampai di rumah, Tana langsung mengingat pekerjaannya yang tertunda sejak pagi. Tanpa menunggu lama, ia menuju dapur dan segera menyalakan keran air, membasahi tangan sebelum mulai mencuci piring yang tertinggal di bak wastafel. Suara aliran air dan denting piring yang saling bersentuhan menciptakan suasana tenang di dapur, sebuah rutinitas yang sederhana namun menenangkan.
Sementara itu, Gilang masuk ke kamar dengan langkah cepat menuju kamar mereka. Tak lama, ia keluar dengan membawa handuk, siap untuk menyegarkan diri setelah seharian beraktivitas. Ia berjalan menuju kamar mandi, pintu menutup dengan suara lembut, sementara Tana masih sibuk, memastikan setiap piring dan gelas kembali bersih.
Setelah selesai mencuci piring, Tana melanjutkan tugas lainnya, yaitu menyapu lantai rumah. Dengan gerakan yang teratur, ia mengayunkan sapu, membersihkan setiap sudut ruangan, memastikan tak ada debu yang tertinggal. Sore itu, kakak-beradik itu menjalani kegiatan mereka masing-masing, tenggelam dalam kesibukan kecil di rumah, menikmati momen tenang bersama tanpa banyak kata.
🦋🦋
Saat memasuki kamarnya, Aryan membiarkan pandangannya tertuju ke langit yang mulai memudar di balik jendela. Hembusan napasnya berat, seperti membawa beban yang tak kasat mata. Hening mengisi ruangan hingga ponselnya tiba-tiba berdering, memecah keheningan itu. Aryan memundurkan kursi rodanya perlahan, mengulurkan tangan untuk meraih ponselnya yang menampilkan nomor asing.
Ia menjawab panggilan itu, namun di seberang sana, awalnya tak ada suara. Saat Aryan hendak menutup panggilan, terdengar suara lembut wanita, nyaris seperti bisikan yang langsung menusuk hati.
“Aryan…” Suara itu lirih, namun cukup untuk membuat tubuh aryan gemetar. Mata aryan melebar, dadanya seolah dihantam. "Karin…" ia berbisik, nyaris tak percaya dengan apa yang didengarnya. Emosi yang selama ini terpendam mendesak keluar bersama rasa sakit yang begitu dalam, memenuhi hatinya dengan kenangan yang ia coba kubur.
Tanpa berpikir panjang, Aryan melempar ponselnya dengan keras ke arah cermin, suara kaca pecah bergema, memancing Tiara dan Lita yang berada di luar kamar untuk berlari ke arahnya. Aryan, tak lagi sanggup menahan air mata, ia jatuh dari kursi rodanya. Tangisnya tumpah, sesak memenuhi ruangan, sementara genggaman emosinya perlahan runtuh.
Tiara membuka pintu dengan keras, matanya membelalak melihat aryan terpuruk di lantai, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang tak bisa ia tahan. "Aryan!" serunya, penuh kekhawatiran. Tanpa berpikir panjang, ia dan Lita segera menghampiri aryan. Lita berjongkok di sampingnya, tangannya gemetar saat mengusap air mata di wajah aryan, dengan suara lirih namun panik, ia bertanya, "Kak, kamu kenapa?"
Tiara menatap putranya yang hancur di depannya, tak mampu berkata-kata untuk sejenak, merasakan luka batinnya seolah merembes melalui air mata yang tak henti mengalir. Dengan hati yang berdebar keras, Tiara memeluk aryan erat-erat, seakan berusaha menenangkan gejolak emosi yang tengah menguasainya. "Aryan, kamu kenapa nak?" tanyanya dengan bibir yang gemetar, matanya mulai membasah melihat rasa sakit di wajah putranya.
Dalam pelukan hangat ibunya, Aryan tak lagi mampu menahan jeritan yang telah lama tertahan dalam dadanya. Teriakan kesedihan meluap, memenuhi ruangan dan membuat kedua wanita itu ikut terluka. Tiara membiarkan aryan melepaskan semua kesakitannya, mengusap lembut punggungnya, berusaha menguatkannya dalam pelukan yang penuh kasih dan penerimaan.
Aryan masih terisak dalam pelukan ibunya, tubuhnya bergetar lemah seiring dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Ingatannya kembali pada sosok wanita yang baru saja menghubunginya, mantan kekasih yang dulu menjadi pusat dunianya. Wanita itu, Karin, telah meninggalkannya dengan luka yang sangat dalam, menghancurkan harapannya, hingga ia kini sulit mempercayai hubungan percintaan.
Kata-kata maaf yang terdengar tadi malah mengoyak kembali hati aryan yang sudah rapuh, seperti membangkitkan rasa sakit yang berusaha ia pendam selama ini. Teringat masa lalunya, Aryan merasa seolah dirinya dulu begitu bodoh, terlalu terbuka, terlalu berharap pada seseorang yang akhirnya hanya menorehkan luka. Tangannya gemetar dalam pelukan tiara, penyesalan menelusup di setiap isakan yang keluar dari bibirnya. Ia menyesal pernah mencintai karin begitu dalam, menyesal pernah membuka hatinya hingga kini hanya ada kerapuhan di sana.
Tiara merasakan betapa dalam rasa sakit putranya, ia tak berkata apa-apa, hanya terus mengelus lembut rambut aryan sambil mencoba memberinya kekuatan. Tiara tahu luka ini takkan sembuh dengan cepat, namun dalam hatinya ia berjanji untuk selalu berada di sisinya, menjadi tempat aryan bersandar dalam kegelapan yang menyesakkan hatinya.