Setelah pertengkaran yang memanas di parkiran, Lita dan Fahira akhirnya meninggalkan tempat itu. Saat mereka melangkah kembali ke mobil, Fahira dengan sengaja memberi pasangan yang baru saja mereka tinggalkan sebuah isyarat yaitu mengacungkan jari tengahnya, menandakan kemarahan dan kebencian yang jelas. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, Lita duduk di kursi kemudi, dan tanpa menoleh lagi, mereka melaju menjauh, meninggalkan kekesalan di belakang mereka. Sepanjang perjalanan, Lita diam dalam fokus, mengarahkan kendaraan menuju rumah Fahira terlebih dahulu untuk mengantarnya pulang. Setelahnya, barulah Lita melanjutkan perjalanannya sendiri, menyisakan kesunyian di antara kenangan-kenangan pahit yang menyelimuti pikirannya.
Sesampainya di rumah, Lita turun dari mobil dan melangkah masuk, berharap menemukan kedamaian di dalam. Namun, saat memasuki ruang utama, matanya segera menangkap sosok ibunya, Tiara, yang duduk di sofa dengan wajah basah oleh air mata. Hati Lita mencelos, ia segera menghampiri dan duduk di sampingnya. “Maa, mama kenapa?” tanyanya lembut, perasaan cemas tergambar jelas di wajahnya.
Tiara mengusap sisa air mata di pipinya dan menatap Lita dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran. “Tadi… kakakmu jatuh dari kursi roda,” suara Tiara bergetar, penuh kesedihan. “Mama coba ajak dia bicara, tapi dia tetap diam, tidak mau berbicara sama sekali.”
Mendengar kabar itu, Lita langsung bangkit, tak ingin membiarkan kakaknya tenggelam dalam kesendiriannya. Ia berlari menuju kamar Aryan, membuka pintu perlahan, dan mendapati kakaknya sedang duduk menghadap jendela, terbenam dalam kesunyian yang berat. “Kak…” panggil Lita lirih, suaranya hampir berbisik. Aryan menoleh pelan, tatapannya kosong namun sarat dengan kesakitan yang tak terungkap. Lita mendekat, lalu berlutut di hadapan aryan sambil meraih tangannya, hangat dan penuh perhatian.
“Kak, mama nangis ” ucap Lita lembut, berusaha menyentuh hatinya yang tertutup. Aryan terdiam, matanya sedikit melebar, terkejut mendengar kabar itu. Hatinya mengerut dalam kekhawatiran yang tersembunyi. Lita melanjutkan dengan suara lembut yang penuh kasih, “Kakak gak mau bicara juga sama Lita? Mama sedih kakak gak mau bicara sama mama…”
Tatapan aryan perlahan meredup, matanya berkaca-kaca saat ia menunduk, menahan luapan emosinya yang tak mampu ia keluarkan. Lita mengeratkan genggaman tangannya pada kakaknya, berbisik pelan, “Kakak gak sendirian. Kakak ada mama… ada Lita. Kami rindu suara kakak.” Suaranya mengalir dengan kelembutan yang menyayat, mengharapkan bisa menembus dinding kesedihan yang mengungkung hati aryan.
Aryan tetap tertunduk, namun dalam hatinya, ia juga menangis. Kehadiran Lita memberinya sedikit kehangatan, namun luka yang ia tanggung terasa terlalu dalam. Lita tetap berada di sisinya dalam hening yang sarat akan makna, berharap suatu hari kakaknya akan menemukan keberanian untuk kembali berbicara, untuk kembali bersuara.
🦋🦋
Dan malam harinya, kehangatan sederhana menyelimuti meja makan kecil di rumah Tana dan Gilang. Sambil menikmati hidangan yang telah disiapkan Tana, Gilang tak lupa memberikan pujian manisnya yang khas. "Enak sekali kak!" katanya, membuat senyum Tana mengembang. Setelah selesai makan, pemuda kecil itu tanpa ragu ikut membantu, mengangkat piring dan gelas untuk dibawa ke wastafel. Mereka bekerja sama membersihkan meja dan mencuci piring, satu ritual malam yang penuh keakraban dan kebersamaan. Tana selalu merasa bangga melihat gilang, bukan hanya karena ia anak yang rajin, tetapi juga karena hatinya yang tulus ingin membantu.
Setelah semua selesai, mereka menuju kamar, bersiap untuk istirahat. Gilang, dengan gerakan riang, bergegas berbaring lebih dulu. Tak lama, Tana menyusul, meraih tubuh kecil gilang ke dalam dekapannya. Dengan nyaman, mereka memejamkan mata, menikmati ketenangan malam dan rasa aman yang tak ternilai, tenggelam dalam tidur yang tenang, berdua.
Sementara itu, di rumah lain yang masih terang dengan lampu-lampu malam, Lita tengah menjalani rutinitas yang berbeda namun penuh kasih. Selesai makan bersama ibu mereka, Lita membawa sepiring makanan dan segelas minum ke kamar kakaknya, Aryan. Sejak aryan jatuh sakit, Lita memastikan kebutuhan kakaknya terpenuhi dengan telaten. Malam itu, ia menyuapi Aryan dengan sabar, sambil berbicara dengan nada lembut, berusaha membuat suasana hati aryan lebih baik.
"Kak, besok di kantor Lita ada meeting loh " kata Lita pelan, mencoba mengajak aryan terlibat dalam percakapan ringan. Ia mulai bercerita tentang persiapannya untuk rapat, berbagi tentang pekerjaannya dan apa yang akan ia sampaikan esok. Aryan mendengarkan dengan seksama, terkadang mengangguk, sementara matanya tertuju pada Ipad di tangannya, membaca materi yang telah disiapkan Lita.
Lita tahu bahwa sejak aryan jatuh sakit , tugas dan beban itu kini beralih ke pundaknya. Meski terkadang merasa lelah, ia tak pernah mengeluh. ia tahu betapa kerasnya aryan berjuang membangun perusahaan hingga menjadi besar dan dikenal luas. Baginya, ini bukan hanya soal pekerjaan, tetapi juga tentang menjaga impian yang telah dibangun kakaknya dengan susah payah. Jadi, malam demi malam, Lita tetap ada di sisi aryan, memastikan ia tidak merasa sendiri dan bahwa usahanya tetap berjalan, dihargai, dan diteruskan.
"Jadi menurut kakak bagaimana? Materinya sudah cocok kan?" tanya Lita. Meskipun sakit, pendapat aryan selalu menjadi penentu langkah terakhir sebelum ia melangkah ke kantor esok hari. Mendengar Aryan mengangguk pelan, Lita merasa lega. "Syukurlah. Berarti besok Lita akan bawa materi ini untuk dijelaskan," jawabnya dengan senyum kecil, rasa percaya dirinya kembali utuh.
Dengan penuh ketelatenan, Lita kembali menyuapi aryan hingga makanannya habis. Setelah itu, ia menyerahkan segelas air putih, dan aryan meneguknya perlahan sampai tandas. Dalam hati, Lita merasa hangat melihat kakaknya yang masih setia mengawasi langkahnya, meski dari balik sakitnya yang menyulitkan.
Beberapa menit kemudian, Lita membantu aryan berbaring, memastikan tubuh kakaknya nyaman di atas tempat tidur. Dengan lembut, ia menyelimutinya, lalu mematikan satu lampu agar kamar aryan menjadi tenang dan nyaman untuk beristirahat. Ia berkata "Selamat malam kak," sebelum melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati.
Lita menuju dapur, meletakkan piring dan gelas di wastafel, lalu mulai mencucinya. Setiap tugas kecil itu terasa berarti baginya, seolah semua yang ia lakukan adalah bentuk cinta yang tak terbatas untuk kakaknya. Setelah menyelesaikan semuanya, Lita akhirnya menuju kamarnya sendiri, bersiap untuk beristirahat, sambil berharap esok hari berjalan lancar. Di dalam hati, ia berjanji akan menjaga perusahaan dan impian aryan, menjadikannya sumber kekuatan di tengah segala tantangan yang mereka hadapi bersama.