Pagi harinya, tepat pukul setengah enam, Tana sudah terjaga dari tidurnya. Matanya masih sedikit berat, namun ia tersenyum kecil saat melihat gilang yang masih terlelap. Dengan lembut, Tana membangunkan adiknya, menepuk pelan pundaknya. Setelah gilang mulai bangun, Tana keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur, bersiap untuk menyiapkan sarapan serta bekal kecil bagi adiknya yang akan dibawa ke sekolah.
Begitu sampai di dapur, Tana langsung memulai kesibukan paginya. Ia memeriksa bahan-bahan yang akan dipakainya, memilih menu sederhana namun bergizi yang bisa membuat gilang semangat menghadapi hari. Sambil memotong sayuran, Tana mendengar suara langkah kecil gilang melewati dapur. Gilang tampak mengantuk namun semangat, membawa handuk, dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit berlalu, aroma makanan mulai mengisi ruangan. Saat Tana tengah membalikkan telur di wajan, Gilang muncul kembali, keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Tanpa ragu, ia berlari menuju kamar, mengenakan seragam sekolahnya dengan rapi. Tak lama kemudian, Gilang berlari kembali ke dapur, kali ini memegang botol minyak hangat bayi di tangannya. “Kak, kasih minyak bayi di punggung gilang dong ” pintanya sambil tersenyum malu-malu.
Tana tertawa kecil, lalu mengambil minyak bayi itu dan dengan lembut menyapukan ke punggung adiknya. "Sudah!" ucapnya, mencubit hidung gilang dengan sayang. Gilang pun tersenyum puas, lalu kembali ke kamar untuk menyelesaikan persiapannya. Bagi Tana, setiap pagi yang dimulai dengan perhatian kecil ini adalah momen istimewa yang menambah kedekatan mereka.
Beberapa menit kemudian, Gilang muncul kembali, kali ini dengan tas sekolah yang menggantung di punggung kecilnya. Dengan semangat, ia duduk di kursi meja makan, matanya berbinar menatap hidangan yang Tana sajikan. Tana, yang telah selesai menyiapkan sarapan, tersenyum melihat adiknya begitu antusias. Ia meletakkan piring di depan Gilang dan mengusap kepalanya dengan lembut, “Makan yang banyak ya, biar nanti semangat di sekolah.”
Sementara Gilang mulai menyantap sarapannya, Tana dengan cekatan menata makanan ke dalam kotak bekal. Setiap potongan rapi dan penuh perhatian, memastikan Gilang mendapatkan makanan bergizi yang disukainya. Sesekali, ia melirik ke arah Gilang, yang makan dengan lahap, senyum bangga tak bisa disembunyikan dari wajahnya.
Setelah semuanya siap, Tana bergegas menuju kamarnya, mengambil handuk, dan melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di benaknya, ia merasa lega karena pagi ini berjalan lancar. Sambil membasuh wajahnya, ia tersenyum, merasa hangat dengan rutinitas pagi mereka yang penuh kehangatan dan saling menjaga.
Usai mandi, Tana melangkah keluar dari kamar mandi mengenakan handuk kimono yang membalut tubuhnya. Ia menuju kamar untuk berganti pakaian, memilih pakaian yang rapi dan mengenakan riasan tipis yang memberikan sentuhan segar pada wajahnya. Merasa siap untuk memulai hari, Tana kembali ke dapur, bergabung dengan gilang yang masih duduk di meja makan.
Sementara gilang sibuk meneguk susu dari gelasnya, Tana mulai menyantap sarapannya. Namun, tiba-tiba, mata gilang berkilat penuh kekaguman saat melihat kakaknya yang sudah rapi. Ia meletakkan gelasnya dengan sedikit bunyi dan tanpa ragu memuji “Kakak cantik sekali!”
Tana tersedak sejenak, tidak menyangka pujian spontan itu. Ia buru-buru mengambil segelas air untuk menenangkan diri, wajahnya memerah. Belum selesai rasa terkejutnya, Gilang kembali berkomentar “Pasti nanti jodoh kakak ganteng seperti gilang.”
Tana menghela napas pendek sambil menatap adiknya dengan ekspresi bingung. “Kamu kenapa dek?” tanyanya, setengah tersenyum.
Namun, bukannya menjawab, Gilang justru mengulangi, “Kenapa sih kakak cantik?”
Mendengar celoteh polos itu, Tana tak bisa menahan senyumnya. Dia menggelengkan kepala, tersenyum malu dengan pipi sedikit merona. Dalam hati, Tana merasa hangat dan terharu atas perhatian kecil dari adiknya yang selalu menghiburnya setiap pagi.
Usai menyelesaikan sarapannya, Tana tersenyum kecil menatap gilang yang masih menatapnya penuh kekaguman. "Sudah, sudah, jangan terus-terusan memuji kakak," ujarnya sambil tertawa ringan.
"Ayo kita berangkat. Nanti kita telat."
Tana bangkit dari kursinya, mengumpulkan piring dan gelas kotor, lalu meletakkannya di wastafel. Ia berencana mencuci semua setelah pulang nanti. Selesai minum air putih terakhir, Tana berjalan menuju pintu depan dengan gilang mengikuti di belakangnya, tas sekolahnya sudah menggantung siap di punggung kecilnya.
Sesampainya di depan rumah, Tana memastikan pintu terkunci rapat. Sebelum melangkah lebih jauh, mereka berhenti sejenak, berdiri berdampingan di teras. Tana dan gilang mengatupkan kedua telapak tangan mereka dan bersama-sama memejamkan mata, melafalkan doa agar perjalanan mereka aman dan lancar hingga tiba di sekolah. Dan setelah itu dengan rasa syukur dan keyakinan dalam hati, mereka memulai langkah mereka, berjalan berdampingan menuju hari mereka yang baru.
🦋🦋
Di dalam rumah yang luas dan megah, Tiara melangkah pelan menuju kamar aryan. Setibanya di depan pintu, ia mengetuk perlahan, menunggu jawaban dari dalam. Dari dalam kamar, Aryan mendengar ketukan itu dan berbalik menatap pintu. Dengan sedikit usaha, ia mendorong kursi rodanya mendekati pintu, lalu membuka pintu untuk ibunya.
Ketika pintu terbuka, Tiara masuk dan mengulum senyum lembut. "Aryan, hari ini kamu ikut menemani Mama ya. Hari ini ulang tahun sekolah kita, dan Lita tidak bisa hadir. Bolehkah kalau kamu yang menemani Mama?" Tiara bertanya dengan penuh harapan, matanya mencari jawaban di wajah putranya.
Aryan menatap ibunya lama, seolah mempertimbangkan permintaan itu, lalu akhirnya mengangguk kecil. Senyuman merekah di wajah Tiara, penuh rasa lega dan kebahagiaan.
"Baiklah, sekarang kamu siap-siap ya," katanya lembut. Dia melangkah menuju lemari aryan, memilihkan setelan jas yang rapi dan elegan, lalu menaruhnya dengan hati-hati di atas kasur.
"Pakai yang ini ya Nak. Mama tunggu di luar," ujar Tiara sambil melangkah keluar dari kamar, menutup pintu dengan perlahan.
Aryan mengangguk, pandangannya jatuh pada jas yang terbentang di atas kasur. Setelah Tiara pergi, ia mengambil jas tersebut dan memakainya dengan hati-hati. Setiap gerakan dilakukan perlahan, memastikan setiap detail tertata rapi. Meski perlu usaha lebih, Aryan merasa nyaman dengan jas itu, dan ia siap untuk menemani ibunya.
Sebelum keluar, aryan duduk terpaku di kamarnya, pikirannya penuh kebingungan. Entah dorongan apa yang membuatnya ingin keluar dari rumah hari ini, sesuatu yang tak biasa sejak kecelakaan itu. Perlahan ia merasakan keinginan yang kuat untuk menatap dunia luar kembali. Dengan hati-hati, ia mengarahkan kursi rodanya ke depan cermin. Tatapannya menelusuri penampilannya dari atas ke bawah. Meski hanya duduk, Aryan ingin memastikan dirinya tampak sempurna, rapi tanpa cela. Ia tak ingin sedikit pun terlihat lemah.
Mengambil napas dalam, Aryan menatap dirinya sekali lagi, bingung dengan perasaan yang mendadak meluap dalam dirinya. Setelah yakin dengan penampilannya, Aryan mendorong kursi rodanya menuju pintu. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan keluar, meluncur pelan sambil mencari sosok ibunya.
Tak lama kemudian, Aryan melihat Tiara menunggu di ruang depan. Ketika matanya bertemu dengan ibunya, ia mendekat. Tiara menoleh, pandangannya penuh kehangatan dan kebanggaan. Senyum bangga tercetak di wajahnya saat melihat Aryan yang tampan dan rapi. "Yuk, kita berangkat" ucapnya lembut. Aryan hanya mengangguk, dan Tiara segera mengambil posisi di belakang kursi roda, mendorongnya menuju pintu depan.
Sesampainya di depan rumah, sang supir pribadi mereka sigap membantu aryan masuk ke dalam mobil. Lalu melipat kursi roda Aryan dan disimpan di belakang. Setelah memastikan semuanya siap, mobil melaju meninggalkan rumah, membawa Aryan dan ibunya menuju sekolah tempat di mana hari ini, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Aryan akan menghadapi dunia di luar sana.