Di salah satu sudut kafe yang tenang, Lita duduk bersama teman-temannya, menikmati sore hari sambil bercengkerama. Namun di antara sekumpulan teman-teman itu, hanya ada satu orang yang benar-benar ia anggap dekat, seseorang yang dapat ia percayai sepenuhnya, Fahira.
Meski Lita memiliki banyak teman, hatinya sulit terbuka sepenuhnya kepada orang lain. Rasa percaya, bagi Lita, adalah hal yang langka dan berharga, dan fahira adalah satu-satunya yang telah berhasil meraih tempat istimewa itu. Saat mereka bersantai, Fahira melirik Lita dengan pandangan penuh perhatian, lalu bertanya dengan lembut "Bagaimana kabar kak aryan? Apakah hari ini dia sudah mau bicara?"
Lita tersenyum tipis, namun matanya memancarkan kelelahan yang sulit disembunyikan. Fahira memahami apa yang sedang dirasakan temannya. Hanya fahira yang selama ini setia menemani Lita dan memahami kesedihannya. "Belum," jawab Lita lirih.
"Kak aryan tetap seperti hari-hari sebelumnya, hanya diam."
Fahira menggenggam tangan Lita dengan lembut, memberikan dukungan tanpa banyak bicara. Bagi fahira, melihat Lita berjuang sendiri untuk saudara yang dicintainya adalah hal yang menyayat hati. Ia tahu Lita tidak akan berhenti berharap, meski setiap hari aryan tetap tenggelam dalam dunianya yang sunyi.
Fahira menatap Lita dengan penuh perhatian, tak mengalihkan pandangan sedetik pun ketika sahabatnya tiba-tiba membuka diri. Suara Lita terdengar pelan, namun setiap kata yang diucapkannya sarat dengan emosi yang selama ini tertahan. Lita menundukkan kepalanya, tangan mengepal di atas meja, dan matanya menyiratkan kekecewaan yang mendalam.
"Setelah kejadian itu, aku takut..." Lita memulai dengan nada berat, "Aku takut tak ada lagi yang mau menerima kak aryan dengan tulus. Aku ikut trauma. Melihat keadaannya sekarang, hatiku hancur berkeping-keping."
Fahira diam mendengarkan, tahu bahwa kata-kata ini adalah cerminan dari luka yang tak pernah sembuh. Lita melanjutkan, suaranya bergetar "Aku sangat dendam. Aku ingin membalas semuanya, karena wanita itu tak pernah tahu betapa dalam luka yang dia tinggalkan. Aku tak pernah bisa memaafkannya... apalagi mengizinkannya hidup bahagia setelah apa yang dia lakukan."
Lita mengalihkan pandangan, menatap jauh, seakan melihat bayangan masa lalu yang pahit. "Sekarang dia hidup dengan tenang, sementara kak aryan menderita sendirian. Dia bahkan tak pernah meminta maaf dengan tulus. Aku benar-benar membenci wanita itu."
Hening sejenak, hanya suara napas Lita yang terdengar di antara mereka. Fahira menggenggam tangan Lita, menyalurkan kekuatan dan ketenangan dalam sentuhannya. Ia tahu bahwa sahabatnya tak pernah berhenti menanggung luka yang sama dengan aryan, dan betapa dendam itu semakin berat di hati Lita seiring berjalannya waktu. Dalam hati, Fahira berharap suatu hari luka Lita akan menemukan penyembuhannya, tanpa harus membawa dirinya semakin dalam kegelapan.
Di tengah percakapan mereka, suara seseorang tiba-tiba terdengar dari arah jalan. “Gilang, jangan lari-lari!” seru orang itu yang terdengar sedikit kewalahan. Lita dan Fahira secara refleks menoleh ke arah suara itu. Di trotoar, mereka melihat seorang anak kecil berlari dengan tawa riang, sementara sosok yang tampaknya kakaknya terus memanggil-manggilnya, berusaha mengejar dengan napas yang mulai terengah.
Fahira tersenyum lembut, menikmati pemandangan manis di hadapannya. “Lucu sekali adik kecil itu,” katanya, melirik ke arah Lita sambil tertawa kecil. “Lihat, kakaknya sampai kewalahan memanggilnya.”
Lita mengangguk pelan, memandang mereka dengan tatapan kosong namun penuh pemikiran. Ada seberkas kehangatan di sana, tapi juga kegetiran yang dalam. Perlahan, Lita mengalihkan pandangannya kembali ke meja, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bagi Lita, melihat ikatan manis antara si kecil dan kakaknya seperti mengingatkannya pada ikatan yang ia dan aryan miliki. Pemandangan itu, walaupun sederhana, menggoreskan rasa hangat dan getir dalam hatinya.
Anak kecil itu akhirnya berhenti berlari, wajahnya cerah dengan senyum penuh kemenangan seolah baru saja memenangkan permainan. Kakaknya mendekat, sedikit terengah, lalu menunduk dan mengusap kepala adiknya. Melihat keduanya saling menatap penuh kasih, Fahira merasa hatinya terenyuh. Dengan satu tangan menyangga dagunya, ia terus memperhatikan adegan hangat di depan matanya, senyumnya merekah penuh gemas.
“Dia lucu sekali... oho, manisnya,” gumam Fahira, tak bisa menahan kekagumannya. Matanya berbinar ketika melihat si kecil tiba-tiba mengangkat wajahnya dan, dengan polosnya, mencium pipi kakaknya. Pemandangan itu mengundang tawa lembut dari Fahira.
“Betapa saling menyayanginya mereka,” lanjut Fahira, seakan berbisik kepada dirinya sendiri. Namun, ketika ia mengalihkan pandangannya ke Lita, senyumnya perlahan meredup. Lita masih menatap meja, pandangan kosongnya seolah jauh dari tempat itu, mungkin terbenam dalam perasaan yang tak terucap.
Fahira menatap sahabatnya dengan lembut, tak berkata apa-apa, namun dalam hatinya ia tahu bahwa pemandangan tadi menambah perih di hati Lita, mengingatkan Lita pada kedekatannya dengan aryan yang kini terasa begitu jauh.