3

129 17 5
                                    

Hari sudah menjelang pagi, mentari mulai menyinari bumi. Sing bersiap untuk menuju sekolahnya. Sesampainya di sekolah, teriakan histeris para penggemar Sing sudah memenuhi halaman. Namun, Sing yang cuek mengabaikan suara-suara itu, fokus memasuki kelasnya. Di dalam kelas, ia disambut oleh kedua sahabatnya, Beomsu dan Davin.

"Hai bro..." sapa Beomsu, namun hanya disambut dengan deheman oleh Sing. Kedua sahabatnya sudah tak heran lagi dengan sikap manusia kutub ini. Bel pun berbunyi, dan mereka mengikuti pelajaran hingga selesai.

Saat waktu pulang tiba, Beomsu berencana mengajak Sing untuk nongkrong dan sekadar menghibur. "Hei bro, gimana kalau kita ngopi dan makan-makan? Itu akan membuat mood-mu kembali," ucap Davin. Sing mengabaikan tawaran itu dan pergi begitu saja. Beomsu mencoba memanggil, tetapi Sing tetap acuh tak acuh.

Beomsu hanya bisa menghela napas melihat sahabatnya yang sulit diajak nongkrong, meskipun uangnya banyak. Sing pun memutuskan untuk menaiki motor besarnya, menyusuri kota, dan akhirnya tiba di tepi hutan. Ia berencana untuk berburu, sebab hanya itu yang bisa membuatnya sedikit tenang.

Di tengah-tengah berburu, Sing mendapati sekelebat bayangan yang mengintainya. Ia tampak acuh dan terus berburu. Tiba-tiba, seseorang menghadangnya. "Hai pemuda, kau putra keluarga Zo, bukan?" Sing terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia pun hanya diam, tetapi hatinya bergetar. Banyak orang tiba-tiba muncul, mengepungnya. Ia mengira mereka adalah musuh keluarganya.

"Mau apa?" ucap Sing spontan, suaranya tegas meski hatinya bergetar.

"Hahaha, kami ingin menangkapmu, pemuda," jawab salah satu dari mereka dengan nada mengejek. Saat mereka mendekat, Sing tak tinggal diam. Dengan refleks yang cepat, ia menendang salah satu dari mereka. Namun, orang itu tak terima dan menyerang balik. Sing kualahan karena banyaknya mereka, hingga terjatuh ke tanah.

Saat orang itu akan menyerang lagi, tiba-tiba terdengar suara desingan anak panah. Beberapa anak panah meluncur dan menusuk kelima orang itu secara bersamaan. Sing terkejut, mencari tahu dari mana arah anak panah itu. Tiba-tiba, berdirilah seorang pemuda tampan dan manis di sampingnya, mengulurkan tangannya.

"Bangunlah, aku akan membantumu," ucap pemuda itu . Sing tak bisa berkata-kata, terpesona oleh sosok di hadapannya. Apakah ini pertolongan yang ia butuhkan, atau justru awal dari petualangan yang lebih berbahaya?

Sing masih sedikit ragu dengan pemuda di hadapannya itu. Ia takut jika pemuda itu juga sekongkolan dengan mereka. Ketika pikirannya melayang jauh, sang pemuda seolah bisa membaca gelisah di wajah Sing.

“Jangan mikir aneh-aneh. Aku bukan golongan mereka. Bangunlah, aku akan mengobatimu,” ucap pemuda itu tegas namun lembut. Melihat kesungguhan dalam mata pemuda itu, Sing akhirnya menurut dan mengikuti langkahnya.

Saat mereka tiba di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi, Sing merasa aneh. Ia baru menyadari bahwa ada sebuah rumah di tengah hutan ini. Pintu gerbang terbuka, dan pemandangan di depan matanya membuatnya tertegun. Mension besar nan indah berdiri megah, bahkan lebih besar dari rumahnya sendiri.

“Tak perlu takut, masuklah ke rumahku,” kata pemuda itu sambil melangkah ke dalam. Sing ragu, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia mengikuti pemuda itu, dan di dalam, para pembantu menyambut mereka dengan ramah. Suasana di dalam mension itu begitu nyaman, dengan hiasan yang elegan dan aroma segar dari bunga-bunga.

“Silakan, masuk ke salah satu kamar tamu ini,” ucap pemuda itu, menunjuk ke arah sebuah pintu yang dihiasi ukiran indah. “Aku akan memanggil dokter.”

“Tidak perlu,” jawab Sing cepat, “aku hanya butuh istirahat sejenak.” pemuda itu mengangguk, tampak memahami keinginan Sing.

Setelah Sing masuk ke kamar tamu, ia duduk di tepi ranjang. Rasa lelah dan ketegangan mulai merambat dalam dirinya. Ia memandangi ruangan yang megah, dinding yang dihiasi lukisan-lukisan indah, dan jendela besar yang menghadap ke hutan.

Tiba-tiba, salah satu pembantu menghampiri Sing. “Permisi, Tuan. Tuan Muda Zayyan meminta saya untuk menanyakan kepada Anda, apakah Anda ingin makan di meja makan atau di kamar saja?”

Sing tersentak. Ternyata, nama pemuda itu adalah Zayyan nama yang manis, pikirnya dalam hati. “Di sana saja,” jawabnya datar, berusaha menyembunyikan rasa penasaran yang menggelora.

“Baiklah, Tuan. Mari saya antar,” kata pembantu itu, membimbing Sing menuju ruang makan.

Saat tiba di meja makan, Sing telah disambut oleh keberadaan Zayyan, yang duduk di salah satu kursi dengan postur tenang. Namun, bagi Sing, sikap Zayyan terasa lebih dingin daripada dirinya sendiri. Sing mengamati sekitar, suasana ruangan yang elegan dan nyaman membuatnya merasa tenang.

“Makanlah,” ucap Zayyan, suara yang rendah namun tegas. “Aku tak tahu makanan kesukaanmu, jadi aku siapkan semua.”

Sing terkejut saat melihat menu makanan di hadapannya. Hampir semua hidangan adalah makanan favoritnya dari sushi hingga pasta, hingga dessert yang selalu ia idamkan. “Bagaimana Zayyan tahu?” pikirnya, kebingungan dan rasa syukur bercampur.

Sementara itu, Zayyan yang duduk di depannya diam-diam tersenyum tipis, sangat tipis bahkan hampir tak ada yang menyadarinya. Ia memperhatikan Sing dengan seksama, melihat ekspresi terkejut yang tergambar jelas di wajahnya.

“Semua ini… makanan favoritku,” ucap Sing pelan, masih terheran-heran. “Tapi bagaimana kau tahu?”

“Aku hanya menebak” jawab Zayyan dengan nada tenang, sembari menyendok makanan ke piringnya.

Sing merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang menarik dalam diri Zayyan, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih dalam. Meski sikap Zayyan tampak dingin, ada kehangatan yang sulit diungkapkan.

“Makanlah,” kata Zayyan lagi, kali ini dengan nada sedikit lebih lembut. “Kamu perlu energi.”

Sing mengangguk dan mulai menyantap hidangannya. Setiap suapan membawa kenikmatan yang luar biasa. Tak hanya karena rasa masakan yang lezat, tetapi juga karena perhatian yang Zayyan berikan.

“Terima kasih,” ucap Sing tulus, matanya bertemu dengan mata Zayyan. “Ini sangat enak.”

Zayyan hanya mengangguk, senyum tipisnya kembali muncul. “Aku ingin kamu merasa nyaman di sini.”

“Kadang, kita perlu menemukan tempat di mana kita merasa diterima,” ucap Zayyan.

Tiba-tiba, Sing merasakan sesuatu yang baru rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam hutan yang sepi, ia menemukan seseorang yang bisa mengerti, seseorang yang mungkin bisa menjadi sahabat sejatinya.

Makan malam itu berlanjut dengan obrolan santai , menghapus semua keraguan yang sempat menggelayuti hati Sing.




happy Reading 🥰🔥

different world ( xodiac sing zayyan )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang