4

83 12 0
                                    


    Malam semakin larut, namun Sing masih terjaga. Ia tidak bisa tidur, teringat pada rumah asing yang baru pertama kali ia tinggali. Suasana sunyi membuat pikirannya melayang, merindukan rumahnya sendiri. Ketukan pintu tiba-tiba menyadarkannya dari lamunan panjangnya.

"Sing, kenapa kau belum tidur?" suara Zayyan di balik pintu membuat jantungnya berdegup kencang.

"Sebentar lagi," jawab Sing ragu.

"Tidurlah. Besok aku akan mengantar kamu pulang ke rumahmu," kata Zayyan dengan nada lembut.

"Jangan ke rumah, tapi ke sekolah saja," Sing menegaskan, tidak ingin mengganggu kenyamanan Zayyan lebih jauh.

"Baiklah," ucap Zayyan, dan langkahnya terdengar menjauh.

Setelah Zayyan pergi, Sing pun akhirnya memutuskan untuk tidur.

Keesokan harinya, sinar mentari membangunkannya. Ia terbangun dan terkejut ketika melihat seragam sekolahnya sudah tertata rapi di atas kursi. Bingung, ia berusaha mengingat, namun tak ingat kapan ia membawa seragam itu.

Dengan cepat, Sing mengenakan seragam tersebut. Ia bergegas turun menuju meja makan, di mana pembantu Zayyan sudah menunggu untuk menjemputnya. Di meja makan, terlihat Zayyan sudah duduk dengan seragam yang sama.

"Zayyan?" Sing bertanya dengan bingung. "Apa kau juga sekolah di tempat yang sama?"

Zayyan tersenyum dan menjawab, "Ya, aku anak baru di sekolah itu. Baru beberapa hari."

Sing mengangguk, merasa sedikit lega. Dia tidak sendirian. Mereka berdua akan menghadapi hari baru ini bersama-sama. Makan pagi pun dimulai, dan Sing merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Seolah-olah, Zayyan bukan hanya teman baru, tapi juga bagian dari kehidupannya yang baru.


   Hari itu, suasana di sekolah terasa seperti biasa. Teriakan histeris para penggemar Sing menggema di sekitar area sekolah. Mereka sudah berjajar, menunggu dengan penuh harapan untuk melihat sosok yang mereka idam-idamkan. Sing, dengan wajah dingin dan ketampanan yang memikat, menjadi pusat perhatian. Namun, di balik ketenangan wajahnya, ia merasa tidak nyaman dengan sorotan yang begitu intens.

Di dalam mobil, Zayyan menyaksikan semua ini dengan senyuman kecil. Ia merasa bangga melihat sing mendapat perhatian, tetapi di saat yang sama, ia juga merasa sedikit khawatir. Zayyan tahu bahwa ketenaran bisa membawa tantangan tersendiri, dan ia ingin melindungi Sing dari sisi gelap popularitas.

Setelah situasi mulai mereda dan penggemar kembali ke kelas mereka, Zayyan keluar dari mobil. Ia melangkah menuju kelasnya, berusaha tidak menarik perhatian lebih banyak orang. Kebetulan, mereka berada di kelas yang berbeda. Zayyan melakukan ini dengan sengaja agar Sing tidak curiga akan kedekatan mereka.

Sing melangkah ke kelasnya, disambut oleh sahabat-sahabatnya. Mereka tampak antusias, bercerita tentang semua hal yang terjadi di sekolah. Namun, seperti biasa, Sing hanya mengangguk acuh tak acuh dan langsung menuju bangku pojok favoritnya. Di tempat itu, ia bisa merasa tenang, jauh dari sorotan glare yang sering mengganggu konsentrasinya.

Meskipun dikelilingi oleh teman-teman, Sing sering merasa kesepian. Ia suka duduk sendiri, merenung, dan memikirkan banyak hal. Di benaknya, ada perasaan campur aduk antara rasa syukur atas perhatian yang didapatnya dan kerinduan untuk kembali ke kehidupan yang lebih sederhana.

Zayyan yang berada di kelasnya sendiri tidak bisa menahan rasa khawatirnya. Ia tahu bahwa Sing adalah orang yang lebih suka menyendiri, meskipun ia dikelilingi banyak penggemar. Zayyan mengetahui itu sebab sebelum ia berada di dunia manusia ia sempat mencari tahu semua tentang sing . Zayyan ingin mendekati Sing, tetapi ia juga tidak ingin membuatnya merasa tertekan dengan perhatian yang berlebihan.

Saat bel berbunyi, mereka berdua bertukar pandang, saling memberi senyuman. Zayyan merasa tenang melihat Sing, meskipun sing tampak acuh tak acuh. Namun, Zayyan yakin bahwa di dalam hati Sing, ada rasa nyaman yang ia miliki terhadapnya.

Saat istirahat berlangsung, suasana di lapangan basket sangat meriah. Sing, dengan semangat dan hobi besarnya, bermain basket bersama teman-temannya dan beberapa anggota tim. Dengan lincah, ia mendribble bola, melewati lawan-lawannya, dan melakukan layup yang sempurna. Tepuk tangan meriah dari para penggemar dan teman-temannya menggema di udara.

"Sing! Keren banget!" teriak salah satu penggemar .

Namun, saat ia melompat untuk mencetak poin lagi, tiba-tiba kakinya terasa aneh. Dalam sekejap, ia terjatuh, dan semua orang terdiam, kaget melihat insiden tersebut. Sahabatnya, Davin dan Beomsu, segera berlari ke arahnya.

"Sing, kau tak apa?" tanya Beomsu dengan wajah khawatir.

"Gpp," jawab Sing singkat, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang ia rasakan.

Davin, yang tidak puas dengan jawaban itu, segera menambahkan, "Ayo kita ke UKS, aku bantu."

Sing menggelengkan kepala, mencoba berdiri sendiri. Namun, baru saja ia ingin melangkah, ia terjatuh lagi karena kakinya tidak kuat menahan beban tubuhnya. Semua orang tampak cemas, dan perhatian mereka tertuju padanya.

Dari kejauhan, Zayyan yang melihat semua kejadian tersebut hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tahu betapa keras kepala Sing, tetapi ia juga merasa khawatir. Tanpa berpikir panjang, Zayyan bergegas menghampiri Sing.

" aku bantu," ucap Zayyan sambil merentangkan tangannya.

Sing terkejut melihat siapa yang datang membantunya. Ia merasa tidak enak, tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak bisa berdiri sendiri. Dengan enggan, ia mengangguk dan membiarkan Zayyan membopongnya. Beberapa langkah demi langkah, mereka bergerak menuju UKS.

Melihat pemandangan itu, Davin dan Beomsu hanya bisa melongo. Mereka tidak percaya bahwa Sing, yang dikenal sebagai sosok yang tak tersentuh dan keras kepala, kini mengikuti langkah Zayyan tanpa banyak protes. Zayyan tampak tenang dan percaya diri, seolah-olah ia telah melakukan hal ini berkali-kali sebelumnya.

"Kenapa tidak mau ke UKS ?" tanya Zayyan sambil membantu Sing berjalan.

"Aku tak suka dikasihani" jawab Sing pelan, suaranya penuh frustrasi.

Zayyan menatapnya dengan penuh pengertian. "Tapi tidak ada salahnya meminta bantuan, Sing. Kita semua butuh orang lain kadang-kadang."

Sing terdiam, merenungkan kata-kata Zayyan. Ia menyadari bahwa sikapnya selama ini mungkin terlalu keras. Menerima bantuan bukan berarti ia lemah, tetapi justru menunjukkan kekuatan dalam kerendahan hati.

Sampai di UKS, petugas segera memeriksa kaki Sing. "Kamu hanya keseleo, perlu istirahat dan kompres es," katanya sambil merawat kaki Sing.

Zayyan tetap berada di samping Sing, memberikan dukungan moral. "Lihat? Kamu baik-baik saja, hanya perlu sedikit istirahat," ucapnya sambil tersenyum.

Setelah perawatan selesai, Sing merasa lebih baik meskipun masih harus beristirahat. "Terima kasih, Zayyan. Aku tidak tahu bagaimana bisa melewati ini tanpa bantuanmu," ucap Sing tulus.

Zayyan mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih. Kita teman, dan itu yang harus kita lakukan."

Kedua remaja itu saling menatap, dan Sing merasakan perasaan hangat. Ia menyadari bahwa Zayyan bukan sekadar anak baru, tetapi juga seseorang yang bisa diandalkan. Dalam momen yang tak terduga ini, Sing belajar bahwa terkadang kita harus membuka diri untuk menerima bantuan dari orang lain.





Happy Reading 🥰🔥

Maaf ya gays ada sedikit keterlambatan update 😋

different world ( xodiac sing zayyan )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang