Teddy melangkah ke dalam rumah sakit Mayapada Jakarta Selatan, tempat yang sudah sering ia kunjungi belakangan ini. Suasana di lobi tampak tenang, dengan pencahayaan lembut yang berusaha menghangatkan suasana dingin dari aroma antiseptik yang menyengat. Dinding-dindingnya berwarna pastel, dan tanaman hijau kecil diletakkan di sudut-sudut untuk memberikan sedikit nuansa alami. Teddy selalu merasa rumah sakit memiliki aura tersendiri-sebuah tempat di mana harapan dan kekhawatiran bertemu dalam kesunyian yang mendalam.
Ia berjalan menuju eskalator, memperhatikan pasien dan pengunjung lain yang tampak melintas. Sebagian besar wajah mereka memancarkan kecemasan dan kesedihan, sementara beberapa lainnya tampak tenang, mungkin menanti kabar baik dari orang terkasih yang sedang dirawat. Teddy merasakan beban di dadanya semakin berat. Ayahnya, sosok yang selalu ia andalkan, kini terbaring lemah di ruang perawatan. Selama beberapa minggu terakhir, Teddy sering datang ke sini setelah sekolah, membawa harapan agar ayahnya segera pulih dari penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
Dalam perjalanan ke atas, pikirannya melayang-layang, teringat akan tugas-tugas yang harus diselesaikan dan beban yang harus ditanggungnya. Ujian tengah semester semakin dekat, tetapi semua itu terasa tidak penting ketika melihat kondisi ayahnya. Teddy tahu, ayahnya selalu menekankan pentingnya pendidikan dan prestasi. "Jadilah yang terbaik dalam apa pun yang kau lakukan," kata-kata itu selalu terngiang di telinganya. Namun, saat ini, semua yang ia inginkan hanyalah melihat senyum di wajah ayahnya kembali.
Saat Teddy berdiri di atas eskalator yang bergerak ke atas, ia tak menyadari bahwa seseorang juga sedang menaiki eskalator yang sama. Tiba-tiba, sebuah sentuhan lembut di bahunya membuatnya tersentak. Ia berbalik dan melihat seorang gadis muda dengan penampilan yang energik. Dia mengenakan jaket putih yang simpel, dan rambutnya tergerai rapi. Sebelum Teddy sempat mengamati lebih dekat, gadis itu sudah mengeluarkan kata-kata dengan cepat, "Uhm, ini hp-mu jatuh tadi dan layarnya sedikit lecet. Maafkan saya, saya akan bertanggung jawab."Teddy mengangkat alisnya, terkejut mendengar suara lembut itu. "Oh," katanya sambil mengulurkan tangannya menerima ponselnya, "tidak apa-apa. Hanya retak sedikit. Tidak perlu bertanggung jawab."
"Benarkah? Oh tidak, itu kelalaianku," jawab gadis itu, tampak sedikit cemas. Dia menatap layarnya sejenak, seolah merasakan berat dari kesalahan kecil yang baru saja dilakukannya.
"Tidak apa-apa. Sudah saya maafkan," Teddy berkata sambil tersenyum, berusaha untuk menenangkan gadis itu. Meskipun dia merasa akrab dengan wajahnya, dia tidak bisa menempatkannya.
"Maaf kalau begitu sekali lagi, aku izin pergi dulu karena sudah ditunggu oleh seseorang." Aruna berkata dengan cepat sebelum melenggang pergi.
"Eh, tunggu-" Teddy ingin bertanya lebih lanjut, tetapi gadis itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia mengedarkan pandangannya di sekitar, mencoba mencari jejak gadis yang baru saja berpapasan dengannya.
"Dia Aruna kan?" pikirnya dalam hati. Suara lembut dan ekspresinya mengingatkannya pada seseorang. Namun, sebelum ia bisa merenungkan lebih dalam, Teddy merasa seperti terbebani oleh rasa ingin tahunya yang tiba-tiba.
Teddy melanjutkan langkahnya, tetapi hatinya terus berpikir tentang gadis itu. Siapa dia? Apakah dia benar-benar Aruna? Pertanyaan-pertanyaan itu berkecamuk di benaknya saat ia memasuki ruang perawatan ayahnya, mencoba mengalihkan perhatian dari pertemuan singkat yang membuatnya merasa terpesona.
Sesampainya di dalam, Teddy menyapa ayahnya, tetapi pikiran tentang Aruna tidak kunjung pergi. Ia bertekad untuk mencari tahu lebih banyak tentang gadis yang membuatnya penasaran.
- sekarang aja deh update nya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
woven fates | MT
FanfictionDi Jakarta yang sibuk, Aruna Sarasvati Amartya, seorang psikolog berbakat dengan catatan akademis yang luar biasa, ditunjuk sebagai salah satu posisi yang sangat tepat di bawah pimpinan presiden Prabowo Subianto. Terlepas dari prestasinya di bidang...