X

91 15 1
                                    

Teddy meninggalkan ruang perawatan dengan pikiran yang penuh akan pertemuannya yang singkat dengan gadis yang baru saja ia temui. "Dia Aruna kan?" pikirnya lagi, tetapi tidak bisa mengabaikan perasaan campur aduk yang hadir di hatinya. Dia mencoba menenangkan diri dan berfokus pada kondisi ayahnya yang sedang dirawat.

Di sisi lain, Aruna sedang bergegas menuju ruang perawatan ayahnya. Dia baru saja menerima pesan dari ibunya dan merasa bersalah karena jarang bertemu dengan ayahnya. Dalam perjalanannya, dia merenungkan insiden di eskalator. “Kuharap orang itu baik-baik saja. Tadi aku harus lebih berhati-hati,” pikirnya.

Ketika Aruna melangkah masuk ke ruang perawatan ayahnya, dia menyapa ayahnya dengan lembut. “Maaf aku terlambat, Pah. Ada banyak yang harus aku urus di rumah sakit.”

Ayahnya tersenyum meski tampak lemah. “Tidak apa-apa, kak. Yang penting kamu di sini,” jawabnya.

Sementara itu, Teddy merasakan beban berat di pundaknya ketika memasuki mobilnya. Meski harinya diwarnai oleh kekhawatiran terhadap ayahnya, ingatan akan Aruna terus berputar di pikirannya. “Siapa dia sebenarnya? Apa dia bekerja di sini?” gumamnya. Rasa penasaran itu membuatnya ingin mengetahui lebih banyak tentang gadis itu.

Teddy melangkah keluar dari rumah sakit, pikirannya masih tertinggal pada pertemuan singkatnya dengan gadis yang ia temui di eskalator. Jalanan Jakarta sore itu terlihat ramai, kendaraan berlalu-lalang dengan suara klakson yang bersahutan. Cuaca sedikit mendung, menciptakan suasana yang seakan merefleksikan perasaan Teddy. Ia memutuskan untuk menghubungi Rajif saat mengemudikan mobil, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekhawatiran tentang kondisi ayahnya yang sedang dirawat.

Sambil melaju pelan di antara mobil-mobil lain yang berdesakan, Teddy membuka aplikasi pesan di ponselnya. Setelah menyalakan lampu blinker, Teddy mengetik pesan.

Teddy: “Rajif, ada waktu sebentar?”

Beberapa detik kemudian, ponselnya berbunyi.

Rajif: “Selalu ada waktu untukmu, abang. Kenapa?”

Teddy: “Aku tadi ketemu seorang gadis di rumah sakit. Sepertinya dia Aruna.”

Begitu namanya keluar, Teddy merasa sedikit penasaran, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Jalanan semakin macet, dan Teddy harus berhati-hati dengan mobil di depannya yang tiba-tiba berhenti. Ia menunggu balasan dari Rajif.

Rajif: “Aruna? Kenapa kamu nanya-nanya tentang dia? Padahal kamu kan cuek banget waktu kita bahas dia.” katanya sambil tertawa.

Teddy mengernyit, merasa sedikit terjebak dalam pertanyaannya sendiri.

Teddy: “Nggak ada apa-apa. Cuma penasaran.”

Rajif: “Penasaran? Kamu? Sejak kapan kamu peduli?”

Teddy berusaha mengabaikan nada menggoda Rajif, tetap fokus pada jalan.

Teddy: “Ya, mungkin aku hanya ingin tahu lebih banyak.”

Rajif: “Cuma penasaran? Atau ada yang lebih dari itu?”

Teddy: “Nggak gitu, bro. Aku cuma... bingung aja.”

Kedua sahabat itu saling berbincang sambil melewati lampu merah. Teddy merasa sedikit kesal, tapi juga tertawa kecil di dalam hati. Dalam kepadatan lalu lintas Jakarta, ia berusaha untuk tidak terjebak dalam perasaan itu.

Rajif: “Mungkin kamu udah jatuh cinta diam-diam, abang? Haha.”

Teddy menggeleng, mencoba mempertahankan sikap dinginnya, meskipun hatinya berdebar sedikit.

Teddy: “Ngaco kamu! Nggak usah ngaco deh!”

Malam itu, Teddy melanjutkan perjalanannya pulang, sementara pikiran tentang Aruna dan pertemuan bapak dengan para calon menteri besok terus berputar di benaknya.

Malam harinya, Teddy tidak bisa tidur nyenyak. Dia terus berpikir tentang Aruna dan pertemuan mereka. “Kalau dia bukan dokter, apa dia psikolog? Mencari tahu lewat rajif tidak berguna!  ” Dia berusaha mencari informasi lebih lanjut tentang Aruna, tetapi tidak menemukan banyak hal. “Aku harus bertemu dengannya lagi,” pikirnya, bertekad untuk mencari cara agar bisa berbicara dengan Aruna secara langsung.

Di sisi lain, Aruna juga tidak bisa menghilangkan ingatan tentang pria yang ia temui di eskalator. “Kenapa dia terlihat begitu familiar?” Dia penasaran, tetapi belum bisa menyebutkan namanya. Di dalam pikirannya, dia hanya tahu bahwa ada sesuatu yang menarik dari orang itu.

Hari demi hari berlalu, dan keduanya berusaha menjalani rutinitas mereka, meskipun pikiran satu sama lain tidak bisa sepenuhnya menghilang. Tanpa mereka sadari, takdir sedang menyiapkan pertemuan baru yang akan mengubah segalanya.

Suatu sore, saat Aruna menyelesaikan jam kerjanya, dia melihat seorang pria berdiri di dekat pintu masuk rumah sakit. Tanpa sadar, perasaannya bergetar ketika melihat sosok tersebut. Teddy juga merasakan sesuatu yang serupa saat dia memasuki rumah sakit untuk mengunjungi ayahnya. Saat keduanya saling menatap, momen singkat itu terasa penuh makna.

Namun, tanpa Teddy ketahui bahwa Aruna bukanlah seorang psikolog di rumah sakit tersebut, dan Aruna pun belum tahu bahwa pria itu adalah mayor Teddy, hubungan mereka masih dipenuhi ketidakpastian dan rasa ingin tahu yang mendalam.

Namun, tanpa Teddy ketahui bahwa Aruna bukanlah seorang psikolog di rumah sakit tersebut, dan Aruna pun belum tahu bahwa pria itu adalah mayor Teddy, hubungan mereka masih dipenuhi ketidakpastian dan rasa ingin tahu yang mendalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


- hai!

woven fates | MTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang