Kembali ke Tanah Lahir

0 0 0
                                    


Kejora bersinar cerah di atas kota yang sibuk, menandakan bahwa pagi telah tiba. Di antara deru kendaraan dan hiruk-pikuk aktivitas, Raka melangkah cepat menuju terminal bus. Meskipun udara pagi terasa segar, hatinya terasa berat. Setelah sepuluh tahun menjauh dari rumah, kini ia harus kembali ke tempat yang pernah ia tinggalkan. Kembalinya Raka bukanlah sekadar untuk menengok kampung halaman, tetapi untuk mengurus warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya: sebuah rumah tua yang hampir runtuh.


Satu tahun terakhir, Raka menerima kabar bahwa ayahnya sakit keras, namun kesibukannya membuatnya sulit untuk pulang. Baru setelah mendengar bahwa ayahnya telah tiada, ia merasa penyesalan mendalam karena tak sempat mengucapkan selamat tinggal. Ia duduk di bangku bus, merasakan setiap detakan jantungnya yang penuh ketidakpastian. Kenangan akan masa lalu mulai menghantui pikirannya.


Kejora bersinar lebih terang saat bus melaju meninggalkan kota, menuju desa kecil tempat ia dibesarkan. Di balik jendela, pemandangan berubah dari gedung-gedung tinggi menjadi sawah yang menghijau, pepohonan yang rimbun, dan rumah-rumah sederhana yang berderet di sepanjang jalan. Raka merasakan sesuatu yang aneh; ada kerinduan dan nostalgia yang tak dapat ia hindari. Terbayang jelas wajah-wajah teman-temannya, terutama Arini, gadis yang dulu mengisi hari-harinya dengan tawa dan cinta.


Setibanya di desa, Raka disambut dengan udara segar yang jauh berbeda dari polusi kota. Jalan setapak menuju rumah keluarganya terasa lebih sempit daripada yang ia ingat. Rasa haru dan rindu menyeruak dalam dadanya saat melihat rumah tua itu. Dindingnya yang sudah pudar, atapnya yang mulai bocor, dan pekarangan yang dipenuhi rumput liar, semua itu membangkitkan kenangan masa kecil yang indah dan juga pahit.


Saat Raka melangkah masuk, ia teringat betapa hangatnya suasana di rumah ini saat ayahnya masih ada. Kini, rumah itu terasa sepi dan penuh kenangan yang menyakitkan. Meskipun ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan, Raka merasa terjebak dalam lamunan, teringat akan momen-momen ketika ia dan Arini berlari-larian di halaman, bercanda dan berbagi impian.


"Raka ..." Suara lembut mengagetkannya dari lamunan. Ia menoleh dan melihat Budi, sahabat masa kecilnya, yang kini bekerja di desa. Wajah Budi terlihat lebih dewasa, tetapi senyumnya tetap sama. "Kamu sudah kembali."


"Ya, Budi. Aku tidak bisa menunda lagi. Ayah sudah tiada," jawab Raka dengan nada berat.


"Maaf mendengarnya. Kami semua merindukanmu. Tapi, ada sesuatu yang harus kau tahu ..." Budi terlihat ragu sejenak, lalu melanjutkan. "Arini sudah bertunangan."


Kabar itu seperti petir di siang bolong bagi Raka. Meskipun ia tahu bahwa Arini berhak bahagia, hatinya tetap merasa terluka. Betapa sulitnya harus menerima kenyataan bahwa wanita yang ia cintai telah melanjutkan hidup tanpa dirinya. Dalam sekejap, perasaannya campur aduk antara rindu dan penyesalan.


"Dia ... dengan siapa?" tanyanya, berusaha menahan emosi.


"Dengan Bima, sahabat kita. Mereka sudah bertunangan hampir setahun," jawab Budi. "Mereka berdua sering bertemu, dan Arini tidak pernah berhenti mengingatmu. Tapi dia juga tidak bisa menunggu selamanya."


Raka merasa dunia seakan runtuh di sekelilingnya. Ia teringat semua kenangan indah bersama Arini—senyuman manisnya, tawa riangnya, dan momen-momen kecil yang penuh makna. Rindu itu kembali membakar hatinya. "Aku tidak tahu harus bagaimana," ujarnya, suaranya bergetar.


"Kau harus berbicara padanya, Raka. Jika kau masih mencintainya, jangan biarkan kesempatan itu berlalu begitu saja," Budi menasihati. "Tapi ingat, Bima juga temanku. Ini rumit."


Raka mengangguk. Ia tahu keputusan ini tidaklah mudah. Setelah beberapa saat terdiam, Raka akhirnya memutuskan untuk menjelajahi rumah tua itu. Ia berjalan ke kamar ayahnya, tempat yang penuh kenangan. Di dinding, ia melihat foto-foto keluarga yang sudah pudar. Tiba-tiba, ia teringat pada mimpi-mimpinya yang terpendam saat kecil—mimpi untuk menjadi seorang arsitek, membangun rumah yang indah, dan memiliki keluarga bahagia.


Saat Raka mengamati foto-foto tersebut, ia merasakan gelombang nostalgia. Kenangan akan Arini yang tersenyum di sampingnya, saat mereka berdua masih remaja, kembali menghampirinya. Ia teringat ketika mereka berjanji untuk selalu bersama, tidak peduli apa pun yang terjadi. Namun janji itu runtuh ketika ia pergi ke kota untuk mengejar impiannya.


Raka memutuskan untuk menata kembali rumah itu, bukan hanya untuk memenuhi tanggung jawab terhadap warisan, tetapi juga untuk menemukan kembali jati dirinya. Ia mulai membersihkan ruangan demi ruangan, mengeluarkan barang-barang lama, dan menemukan kembali benda-benda yang menyimpan kenangan berharga. Setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada Arini dan masa-masa indah yang pernah mereka jalani bersama.


Kejora mulai meredup saat senja tiba, dan Raka merasa kelelahan setelah seharian berbenah. Ia duduk di beranda rumah sambil menatap langit yang berwarna jingga. Dalam keheningan malam, pikirannya dipenuhi pertanyaan—apakah ia masih memiliki tempat di hati Arini? Apakah mungkin cinta yang hilang dapat ditemukan kembali?


Kembali ke desa ini bukan hanya tentang mengurus rumah, tetapi juga tentang mencari arti dari rindu yang selama ini menggelayuti hatinya. Raka menyadari bahwa ia harus menghadapi masa lalu dan semua perasaannya yang terpendam. Malam itu, ia bertekad untuk mencari Arini dan membicarakan semuanya, meski ia tahu jalan yang akan dihadapinya tidaklah mudah.


Seiring bulan mulai bersinar di langit, Raka merasa ada harapan baru yang bersemi dalam hatinya. Dia ingin berjuang untuk cinta yang pernah ada, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan kembali rumah—tempat di mana hatinya dapat beristirahat dengan tenang.

Di Antara Rindu dan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang