Kejora berdiri di stasiun kereta yang sunyi hanya ditemani suara pengumuman kedatangan dan kepergian kereta yang bergaung di langit-langit. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya mengingatkannya pada masa-masa ketika ia pertama kali bertemu Raka. Tetapi sekarang ini bukan lagi tentang pertemuan melainkan perpisahan yang entah akan berakhir atau tidak.
Di depannya Raka berdiri diam dengan tatapan yang sulit dibaca. Mereka berdua saling menatap tanpa kata-kata hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Perasaan-perasaan yang selama ini terpendam di hati Kejora terasa meledak-ledak. Ada rasa sakit yang tak terucapkan. Ia menatap Raka mencari-cari jawaban di balik pandangan matanya yang sayu.
"Kejora" suara Raka akhirnya terdengar pelan hampir seperti bisikan "Aku ... Aku harus pergi."
Kejora hanya bisa menatapnya berusaha menahan air mata yang sudah mendesak keluar. "Kamu benar-benar akan pergi?" tanyanya. Nada suaranya bergetar penuh ketidakpastian.
Raka mengangguk perlahan. "Ini bukan yang aku inginkan Kejora. Tapi aku tidak punya pilihan."
Kejora ingin bertanya banyak hal ingin memprotes ingin marah. Namun kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Ia hanya bisa menatap Raka dengan perasaan campur aduk antara marah sedih dan tak berdaya. "Kenapa kamu harus pergi Raka? Kenapa kita harus berpisah sekarang?"
Raka menundukkan kepalanya merasa tak mampu menahan tatapan Kejora yang penuh luka. "Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang Kejora. Tapi aku harus melakukan ini demi masa depan kita."
Kejora menggelengkan kepalanya tak percaya. "Masa depan kita? Raka kamu meninggalkan aku untuk masa depan kita?"
Raka meraih tangan Kejora mencoba menenangkannya. "Aku janji Kejora. Aku akan kembali. Aku hanya perlu waktu untuk menyelesaikan semuanya."
Kejora menarik tangannya dari genggaman Raka. Ada rasa sakit yang menohok dalam hatinya. "Berapa lama Raka? Berapa lama aku harus menunggu?"
Raka hanya bisa terdiam sejenak mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu Kejora. Tapi aku ingin kamu percaya padaku."
Kejora terdiam. Ia tahu seharusnya ia percaya pada Raka. Tetapi dalam hatinya ada rasa takut yang begitu besar. Rasa takut kehilangan Raka selamanya. "Bagaimana jika kamu tidak kembali Raka? Bagaimana jika ini adalah perpisahan kita selamanya?"
Raka menatap Kejora dengan tatapan yang penuh kesungguhan. "Aku akan kembali Kejora. Aku tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Kamu adalah segalanya bagiku."
Kejora ingin percaya pada kata-kata itu. Ia ingin sekali percaya bahwa Raka akan kembali. Tetapi perasaan takut itu terlalu kuat untuk diabaikan. "Kamu bilang aku adalah segalanya untukmu Raka. Tapi sekarang kamu justru meninggalkan aku sendiri. Apa arti semua ini?"
Raka terdiam tidak mampu memberikan jawaban yang bisa menenangkan hati Kejora. Ia hanya bisa menatapnya dengan perasaan bersalah yang dalam. "Kejora ... tolong percaya padaku. Ini adalah sesuatu yang harus aku lakukan. Demi kita."
Kejora mengalihkan pandangannya mencoba menyembunyikan air mata yang mulai jatuh dari matanya. "Aku ... aku sudah lelah percaya pada kata-kata Raka. Aku sudah lelah berharap. Aku ingin kebersamaan yang nyata bukan janji yang tak pasti."
Raka mendekat mencoba meraih tangan Kejora lagi tetapi Kejora mundur sedikit menghindar. "Kejora ..."
"Raka ... aku tahu kamu punya alasan sendiri. Tapi aku juga punya hak untuk merasa terluka. Untuk merasa takut ditinggalkan lagi." ucap Kejora sambil berusaha mengendalikan emosi.
Raka mengangguk mengerti perasaan Kejora. "Aku tahu Kejora. Aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku tidak punya pilihan lain."
Kejora menunduk. Ada keheningan yang berat di antara mereka berdua. Raka ingin sekali menarik Kejora ke dalam pelukannya tetapi ia tahu perasaan Kejora saat ini terlalu terluka. "Aku harap suatu hari nanti kamu bisa memaafkanku Kejora. Aku tidak ingin menyakitimu seperti ini."
Kejora hanya terdiam air mata mengalir di pipinya. Ia tahu perasaan Raka tulus namun rasa sakit ini begitu nyata begitu dalam. "Pergilah Raka ... jika kamu memang harus pergi. Tapi jangan pernah berpikir bahwa ini tidak menyakitkan untukku."
Raka menundukkan kepala merasa bersalah. "Maafkan aku Kejora. Suatu hari nanti aku akan kembali dan membuktikan segalanya."
Kejora hanya bisa menatapnya dengan tatapan penuh luka. "Aku akan mencoba percaya Raka. Tapi aku tidak akan menjanjikan apa pun."
Raka akhirnya berbalik menuju kereta yang sudah siap berangkat. Kejora melihat sosok Raka menjauh langkah demi langkah. Ia merasakan hatinya hancur seiring setiap langkah Raka yang menjauh darinya.
Saat kereta mulai bergerak Raka menoleh untuk terakhir kalinya menatap Kejora yang berdiri sendirian di peron. Tatapan mereka bertemu untuk sesaat dan dalam momen itu Kejora merasakan kesedihan yang begitu dalam. Ia tahu ini adalah perpisahan yang tak terelakkan namun tetap saja hatinya terasa hancur berkeping-keping.
Kejora berdiri di sana menatap kereta yang perlahan menghilang di kejauhan. Malam itu terasa sunyi bahkan lebih sunyi dari sebelumnya. Tanpa disadari tangannya meremas dadanya mencoba menahan rasa sakit yang menguasai hatinya.
Dalam hatinya Kejora bertanya-tanya apakah ini benar-benar keputusan yang tepat. Mengapa ia harus merelakan seseorang yang begitu ia cintai? Mengapa harus ada perpisahan di antara mereka?
Namun meskipun hatinya bergejolak Kejora tahu bahwa ia harus merelakan Raka pergi. Mungkin suatu hari nanti mereka akan bertemu kembali di waktu yang lebih baik di saat semua hal sudah menjadi lebih jelas.
Dengan langkah gontai Kejora akhirnya meninggalkan stasiun. Malam itu terasa lebih dingin lebih sepi. Tetapi di balik kesedihan itu Kejora tahu ia harus tetap kuat. Meskipun perpisahan ini menyakitkan ia harus tetap bertahan.
Kejora berjalan keluar dari stasiun dengan langkah yang terasa berat. Sepanjang jalan pikirannya terus dipenuhi oleh kenangan bersama Raka—tawa mereka, obrolan panjang di malam hari, bahkan saat-saat sederhana yang kini terasa begitu berharga. Kenangan-kenangan itu membayangi setiap langkahnya, seolah tak rela pergi dari benaknya.
Di bawah lampu jalan yang redup, Kejora berhenti sejenak. Ia menatap langit malam yang sepi, hanya ditemani oleh bintang-bintang yang berkerlip samar. Keheningan malam membuat perasaannya terasa semakin mendalam, begitu menyakitkan. Ia berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan Raka terus terlintas, mengingatkannya pada semua momen yang mereka habiskan bersama.
"Raka ..." ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, hanya pada dirinya sendiri. Ia bertanya-tanya, apakah ini keputusan yang benar? Haruskah ia menahan Raka, memintanya tetap tinggal? Namun ia tahu, tak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang harus pergi. Raka memiliki alasan sendiri, dan mungkin, cinta sejati memang tentang memberi kebebasan, meskipun harus menahan rasa sakit yang mendalam.
Kejora menarik napas dalam-dalam, menenangkan debaran hatinya yang kian tak teratur. Perlahan, ia melangkah lagi, menyadari bahwa hidup terus berjalan, meskipun perpisahan ini telah menghancurkan sebagian hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Rindu dan Rumah
RomanceSetelah 10 tahun meninggalkan kampung halamannya demi mengejar karier sebagai arsitek di kota besar, Raka terpaksa kembali untuk mengurus warisan rumah tua keluarganya. Di sana, ia bertemu kembali dengan Arini, cinta masa lalunya, yang kini telah be...