Gema Masa Lalu

1 0 0
                                    

Malam semakin larut ketika Raka terduduk di kursi tua di ruang tamu. Setelah kejadian di ruang bawah rumah itu, pikirannya tak pernah berhenti berpacu. Rahasia ayahnya kini menghantui setiap langkahnya, seakan memaksanya untuk mengingat kembali semua momen di masa lalu. Di benaknya, suara ayahnya terngiang, seolah memanggilnya melalui lorong waktu.

Pintu depan tiba-tiba diketuk. Raka beranjak membuka pintu, mendapati Budi berdiri di sana sambil membawa termos dan dua cangkir kopi.

"Aku tahu kamu pasti nggak bisa tidur," ujar Budi sambil menyodorkan salah satu cangkir kopi.

Raka tersenyum tipis, menerima cangkir tersebut. "Terima kasih, Bud. Kamu memang selalu tahu apa yang kubutuhkan."

Budi duduk di kursi seberang, mengamati Raka yang terlihat gelisah. "Jadi, apa rencanamu? Kamu mau apa setelah menemukan kotak dan surat itu?"

Raka menghela napas panjang. "Jujur saja, aku sendiri bingung. Ada terlalu banyak tanda tanya. Kenapa ayahku meninggalkan pesan yang rumit seperti itu?"

Budi mengangguk pelan, menyeruput kopinya. "Mungkin ayahmu ingin kamu menemukan sesuatu yang penting, sesuatu yang dia sendiri nggak bisa jelaskan."

Raka memandang kosong ke depan, ingatannya melayang ke masa kecilnya. "Aku ingat, saat kecil, ayah sering bercerita tentang masa lalu. Katanya, ada banyak cerita yang ia sembunyikan. Tapi aku nggak pernah tahu cerita apa itu."

"Berarti, sekarang waktunya kamu tahu, Rak. Waktu kamu kembali ke desa ini bukan sekadar kebetulan," ujar Budi sambil mengamati reaksi Raka.

Raka mengangguk, meskipun hatinya masih merasakan beban berat. "Mungkin kamu benar, Bud. Tapi bagaimana aku bisa tahu semua itu? Semua yang ayah tinggalkan hanyalah surat-surat dan beberapa benda tua."

Budi menepuk bahu Raka, berusaha memberinya semangat. "Kamu harus berani, Rak. Cari petunjuk-petunjuk yang ayahmu tinggalkan. Mungkin kamu bisa mulai dari benda-benda itu."

Mendengar saran Budi, Raka berdiri, menuju meja tempat ia menyimpan kotak kecil yang ditemukan di bawah rumah. Perlahan, ia membuka kotak tersebut dan mengeluarkan surat-surat serta foto hitam putih yang menampilkan ayahnya saat muda.

Raka menunjuk salah satu foto kepada Budi. "Lihat, Bud, foto ini diambil di depan rumah ini, tapi ada satu orang asing yang berdiri di samping ayahku. Aku nggak pernah lihat orang ini sebelumnya."

Budi menatap foto itu dengan seksama, matanya menyipit penuh perhatian. "Mungkin orang ini adalah bagian dari masa lalu ayahmu, seseorang yang pernah punya hubungan erat dengannya."

Raka mengangguk, merasakan getaran aneh ketika menyentuh foto tersebut. "Aku merasa orang ini memegang kunci dari semua ini. Tapi, aku nggak tahu siapa dia."

Sambil menatap foto itu, Budi berujar, "Mungkin kamu bisa bertanya pada orang-orang tua di desa. Siapa tahu mereka mengenal orang ini."

Raka berpikir sejenak, lalu tersenyum. "Itu ide bagus, Bud. Aku akan coba cari tahu besok pagi."

**

Keesokan harinya, Raka bangun lebih pagi dari biasanya. Hawa sejuk menyelimuti desa, memberikan ketenangan yang sempat hilang sejak ia kembali. Dengan membawa foto itu, ia bergegas menuju rumah Pak Harun, sesepuh desa yang dikenal memiliki banyak cerita tentang masa lalu.

Sesampainya di rumah Pak Harun, ia mengetuk pintu, disambut oleh seorang lelaki tua dengan senyuman ramah.

"Raka! Aku dengar kamu sudah kembali ke desa. Apa yang bisa kubantu?" Pak Harun menyambutnya dengan penuh antusias.

"Pagi, Pak. Aku ingin bertanya soal seseorang yang mungkin Bapak kenal," Raka menjelaskan sambil memperlihatkan foto yang ia bawa.

Pak Harun mengambil foto itu, memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. "Oh, ini ... Ini memang foto ayahmu. Tapi, orang yang berdiri di sampingnya  ..."

Raka menahan napas, menunggu dengan cemas. "Bapak mengenalnya?"

Pak Harun mengangguk pelan, ekspresinya berubah serius. "Dia bernama Pak Adnan, seorang sahabat dekat ayahmu. Mereka pernah bekerja sama bertahun-tahun, tapi ada suatu kejadian yang membuat mereka berpisah."

Raka terkejut. "Apa yang sebenarnya terjadi, Pak?"

Pak Harun menatap Raka dalam-dalam, lalu menghela napas. "Ayahmu dan Pak Adnan pernah terlibat dalam sebuah proyek besar, proyek yang sangat berarti bagi desa ini. Tapi, ada sesuatu yang membuat mereka bertengkar hebat, hingga akhirnya Pak Adnan pergi dari desa ini."

Raka semakin penasaran. "Apakah proyek itu? Kenapa sampai memisahkan mereka?"

Pak Harun menggeleng perlahan. "Maaf, Raka, aku nggak tahu semua detilnya. Tapi aku tahu bahwa kejadian itu meninggalkan luka yang dalam bagi ayahmu."

Raka terdiam, hatinya diliputi berbagai pertanyaan. "Luka? Luka seperti apa?"

"Entahlah, Nak. Hanya ayahmu yang tahu. Tapi aku yakin, dia meninggalkan petunjuk agar kamu bisa menyelesaikan apa yang dia tinggalkan," ujar Pak Harun dengan suara penuh makna.

Raka merasa lega namun juga semakin ingin tahu. "Terima kasih, Pak. Informasi ini sangat berarti buatku."

Pak Harun tersenyum, menepuk pundaknya. "Ingat, Raka. Kadang masa lalu adalah jalan untuk memahami masa depan. Jangan abaikan petunjuk kecil, karena setiap jejak membawa cerita."

***

Sepanjang perjalanan pulang, Raka tak henti memikirkan semua yang ia dengar. Sesampainya di rumah, ia duduk di ruang tamu, memandangi foto ayahnya sambil merenung.

Di tengah lamunannya, suara pintu terbuka. Budi masuk, terlihat penasaran melihat Raka yang termenung.

"Kamu kelihatan serius sekali, Rak. Ada kemajuan?" tanya Budi sambil mendekat.

Raka mengangguk pelan. "Aku ketemu Pak Harun tadi. Ternyata, ayahku dulu punya sahabat dekat bernama Pak Adnan. Mereka pernah bekerjasama dalam sebuah proyek, tapi kemudian ada konflik besar."

Budi menatap Raka, wajahnya tampak serius. "Proyek? Apa proyek itu?"

"Itu yang belum aku tahu, Bud. Tapi sepertinya proyek itu menyimpan banyak rahasia. Ayahku pasti meninggalkan petunjuk lain," ujar Raka sambil menatap kosong ke arah jendela.

Budi berdecak kagum. "Ayahmu benar-benar penuh misteri, Rak. Tapi, kalau mereka punya proyek besar, pasti ada catatan atau dokumen yang tertinggal."

Raka mengangguk, pikirannya langsung tertuju pada lemari di kamarnya, tempat ayahnya biasa menyimpan barang-barang pribadi. Ia segera beranjak menuju kamarnya, diikuti Budi.

Saat membuka lemari, matanya tertuju pada sebuah buku catatan tua yang tersembunyi di balik tumpukan pakaian lama. Dengan hati-hati, ia mengambil buku tersebut dan membuka halamannya.

Di dalam buku itu, terlihat sketsa-sketsa kasar serta catatan tentang proyek yang digarap ayahnya bersama Pak Adnan. Tulisannya tampak penuh dengan kode-kode yang sulit dimengerti, seakan sengaja disembunyikan.

"Apa ini?" gumam Raka, berusaha memahami isi buku tersebut.

Budi ikut memperhatikan dengan penuh antusias. "Mungkin ini semacam cetak biru proyek mereka. Tapi, kenapa semua tulisannya seperti kode?"

Raka menggeleng pelan, mencoba mencari jawaban. "Mungkin ayahku nggak ingin orang sembarangan tahu tentang proyek ini. Tapi ... apa sebenarnya yang mereka bangun?"

Tiba-tiba, Budi menepuk bahu Raka, tampak semangat. "Rak, mungkin proyek ini sesuatu yang sangat penting bagi desa ini. Kalau nggak, ayahmu nggak mungkin menyembunyikannya."

Raka mengangguk setuju. Ia tahu, misteri ini adalah sesuatu yang harus ia pecahkan sendiri. "Aku harus mempelajari catatan ini, Bud. Semua ini bukan sekadar kebetulan."

Budi tersenyum mendukung. "Aku percaya kamu bisa menemukan jawabannya, Rak. Lagipula, ini warisan ayahmu. Kamu adalah orang yang tepat untuk melanjutkannya."

Dengan tekad bulat, Raka menutup buku tersebut, menyadari bahwa perjalanan mencari jawaban masih panjang. Mungkin ini adalah saat baginya untuk menghidupkan kembali jejak masa lalu, menggali lebih dalam tentang rahasia yang telah lama tersembunyi. Lengkara di hatinya berbisik, bahwa setiap rahasia memiliki waktunya sendiri untuk terungkap, dan sekarang adalah waktunya.

Di Antara Rindu dan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang