Kenangan yang Tak Pernah Padam

0 0 0
                                    


Kejora baru saja muncul di ufuk timur saat Raka berdiri di beranda rumahnya yang lengang. Ia merasakan hembusan angin lembut menerpa wajahnya, membawa aroma tanah basah dan nostalgia yang tak tertahankan. Pikirannya menerawang, kembali ke masa-masa remaja yang penuh dengan tawa dan harapan. Sepuluh tahun telah berlalu, namun setiap kenangan bersama Arini terasa masih begitu hidup di dalam ingatannya, membayang seperti potongan film yang terus berputar di kepalanya.

Pintu rumah tua itu berderit saat Raka mendorongnya, suara yang akrab dan menyayat. Ia berjalan masuk, menelusuri ruang tamu yang dipenuhi perabotan usang yang seolah menyimpan kisah-kisah lama. Di sudut ruangan, ada sebuah kursi goyang yang dulu sering diduduki ayahnya. Setiap kali melihat kursi itu, kenangan tentang ayahnya kembali menghantam batinnya.

"Ayah ..." gumam Raka perlahan, suaranya bergetar.

Langkahnya terhenti di hadapan jendela tua yang sudah sedikit rapuh. Dari tempat itu, ia bisa melihat pekarangan depan, tempat ia dan Arini sering bermain layang-layang saat masih kecil. Senyum kecil menghiasi wajahnya, namun tak lama kemudian ekspresi itu berubah menjadi raut sedih. Kenangan indah itu terasa begitu pahit, terutama setelah mengetahui bahwa Arini kini telah bertunangan dengan sahabatnya sendiri, Bima.

Tanpa sadar, ia menghela napas panjang. "Apa yang aku lakukan selama ini?" Batin Raka gelisah, penuh penyesalan. Lengkara, masa yang penuh kerinduan dan janji, masa itu kini seolah hanya menjadi angan-angan.

Di tengah lamunannya, suara ketukan pintu membuyarkan pikirannya.

"Raka?"

Suara lembut yang sangat dikenalnya membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan, Raka membuka pintu, dan di hadapannya berdiri Arini, wanita yang dulu begitu ia cintai dan yang hingga kini masih mengisi ruang hatinya. Wajahnya masih sama, hanya ada sedikit garis halus di sudut matanya, tetapi senyumnya masih sehangat dulu.

"Arini ..." ucap Raka dengan suara bergetar, mencoba menahan gejolak di dalam hatinya.

Arini tersenyum kecil, menatap Raka dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Bisa kita bicara?"

Tanpa ragu, Raka mengangguk. Ia membiarkan Arini masuk dan menuntunnya ke ruang tamu yang kini penuh dengan debu dan kenangan lama. Mereka duduk berhadapan, saling melempar pandang yang penuh arti, seolah-olah kata-kata tak lagi dibutuhkan.

"Aku ... aku nggak menyangka kamu bakal pulang, Raka," ujar Arini sambil menundukkan kepalanya.

Raka tersenyum getir. "Aku pun nggak menyangka akan kembali ke sini. Semuanya terasa begitu mendadak."

Arini mengangguk pelan. "Bagaimana hidupmu di kota? Apa semua yang kamu impikan sudah tercapai?"

Pertanyaan itu membuat Raka terdiam sejenak. Ia ingin menjawab jujur, tetapi terlalu banyak emosi yang terpendam di dalam dadanya. "Mungkin... mungkin iya. Tapi... tetap ada yang kurang, Arin."

"Apa yang kurang, Rak?" Arini menatapnya dengan mata yang kini berkaca-kaca.

"Kamu," jawab Raka tanpa ragu. "Kamu dan semua kenangan yang kita punya. Sepuluh tahun aku mencoba melupakan, tapi tidak pernah berhasil."

Arini terkejut mendengar pengakuan itu. Ia terdiam, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya. Ia mengalihkan pandangan ke arah jendela, menatap pekarangan yang dulu menjadi saksi cinta mereka.

"Aku ... Aku juga, Rak. Tapi hidup terus berjalan. Aku nggak bisa nunggu kamu selamanya," kata Arini lirih.

"Dan aku mengerti itu, Arin. Aku tahu bahwa aku yang memilih pergi, aku yang memilih untuk mengejar mimpiku. Tapi setelah semuanya ... aku sadar, semua itu nggak berarti tanpa kamu di sampingku." Raka menatap dalam-dalam mata Arini, berharap bisa menemukan jawaban atas segala pertanyaan di hatinya.

"Aku sudah bertunangan, Rak. Bima adalah orang yang selalu ada di sampingku saat kamu nggak ada," Arini menunduk, menahan isak yang mulai terdengar di ujung kalimatnya.

Raka merasakan hatinya remuk mendengar kata-kata itu. Namun, ia berusaha tetap tenang. "Aku nggak ingin mengganggu hubunganmu, Arin. Tapi aku ingin kita bicara, menyelesaikan semua yang belum selesai."

Arini mengangguk lemah. "Aku juga ingin kita selesai. Kamu tahu betapa berartinya kamu buatku, Raka. Tapi, Bima ... dia selalu ada, dan aku berhutang banyak padanya."

Mendengar nama Bima, Raka terdiam, mencoba meredakan amarah dan kecewa yang tiba-tiba menghantam batinnya. Lengkara seolah menyaksikan pertempuran emosional yang terjadi dalam hatinya. Namun, ia tahu ia tak berhak marah. Selama sepuluh tahun ia pergi, tak ada satu pun dari janji-janji mereka yang ia tepati.

"Mungkin kita memang nggak ditakdirkan bersama, Arin," Raka berbisik, suaranya penuh penyesalan. "Tapi aku ingin kamu tahu, aku masih mencintaimu."

Arini terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil sambil menyeka air matanya. "Aku tahu, Raka. Aku juga masih punya perasaan itu. Tapi ... semuanya sudah berubah."

Kejora di langit malam mulai meredup, seolah turut merasakan pilu yang mengisi ruangan itu. Keduanya terdiam, tenggelam dalam kenangan yang tak pernah padam. Raka mencoba menahan dirinya untuk tidak memohon lebih, namun di dalam batinnya, ia ingin sekali memeluk Arini, mengulang semua yang dulu pernah mereka miliki.

"Tapi, Raka," Arini berkata dengan suara bergetar, "kalau memang kita nggak bisa bersama, aku harap kamu bisa menemukan kebahagiaan di sini, di rumah ini. Di desa ini."

Raka mengangguk, mencoba tersenyum meskipun hatinya penuh luka. "Aku akan mencoba, Arin. Tapi, jujur saja, aku nggak yakin bisa melupakanmu."

Arini tersenyum pahit. "Kamu kuat, Raka. Kamu bisa."

Mereka berdua terdiam lagi, seolah-olah kata-kata tak lagi cukup untuk menggambarkan perasaan mereka yang kompleks dan saling bertumpuk. Lengkara di langit mulai memudar, digantikan oleh bayangan malam yang pekat. Akhirnya, Arini berdiri, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum melangkah, ia berhenti sejenak dan menatap Raka dalam-dalam.

"Aku bahagia pernah mengenal kamu, Rak. Terima kasih untuk semua kenangan yang kita punya."

Raka tersenyum pahit. "Aku juga, Arin. Aku nggak akan pernah melupakan kamu."

Arini berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Raka sendirian di dalam rumah tua yang penuh kenangan. Setelah pintu tertutup, Raka terjatuh di kursi, membiarkan air matanya mengalir. Lengkara telah menghilang sepenuhnya, meninggalkan kegelapan di dalam rumah dan di dalam hatinya.

Dengan suara lirih, Raka berbisik, seolah berbicara kepada bintang yang telah pudar, "Kejora ... akankah aku menemukan jalan pulang, jalan menuju hatinya kembali?"

Malam itu, Raka berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap tinggal di desa ini, berusaha menemukan makna dari setiap kenangan yang ia tinggalkan. Sebuah awal yang baru, mungkin, di mana ia akan mencoba untuk menerima dan belajar bahwa rumah bukan hanya sekadar bangunan fisik, tetapi tempat di mana hati bisa menemukan kedamaian—sekalipun itu berarti harus melupakan cinta yang tak pernah padam.

Di Antara Rindu dan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang