Pagi itu, Kejora masih bersinar terang di langit, menerangi desa yang mulai sibuk. Raka menuruni tangga berderit dari rumah tuanya, menghirup udara pagi yang sejuk. Setelah dua hari kembali, hatinya masih saja terusik oleh kenangan bersama Arini. Meski ia sudah memutuskan untuk merelakan, kenyataan selalu berkata lain.
Saat itu, ia memutuskan untuk pergi ke pasar desa, berharap bisa menenangkan pikirannya. Sesampainya di sana, Raka dikejutkan oleh keramaian yang berbeda dari hari-hari biasanya. Di antara orang-orang yang lalu-lalang, ia melihat seorang pria yang tengah berbincang dengan beberapa warga. Pria itu tinggi, berpenampilan rapi, dan tampak akrab dengan semua orang di sekitar.
"Hei, Raka!" Tiba-tiba suara itu terdengar jelas dari belakangnya.
Raka menoleh dan melihat Budi melambai sambil tersenyum lebar. "Budi! Apa kabar?"
"Baik, baik! Senang lihat kamu lagi," sahut Budi, menepuk pundak Raka. "Sudah bertemu sama beberapa orang lama?"
"Sudah, beberapa," jawab Raka dengan senyum tipis. "Dan ... aku bertemu Arini juga kemarin."
"Oh ... Jadi kamu sudah tahu soal ... tunangannya, ya?" Budi menunduk, sedikit ragu untuk melanjutkan.
Raka mengangguk. "Ya, aku tahu, Bud. Dan aku bisa mengerti."
Budi menghela napas. "Kamu kuat, Raka. Aku yakin. Tapi ... ngomong-ngomong soal Arini, kamu sudah bertemu Bima?"
Raka tertegun sejenak mendengar nama itu, berusaha menguasai perasaannya. "Belum. Aku dengar dia tunangan Arini, tapi kami belum sempat bertemu."
Budi mengangguk. "Nah, kebetulan ... itu dia." Ia menunjuk ke arah pria yang tadi berbincang dengan warga desa.
Raka mengikuti arah tunjuk Budi dan segera menyadari bahwa pria itu memang Bima. Seorang sosok yang pernah ia anggap sahabat, kini menjadi tunangan wanita yang ia cintai. Campuran perasaan gugup dan enggan menguasai dirinya.
"Bima ..." Raka berbisik, suaranya tertahan.
Budi melihat ekspresi Raka dan menepuk pundaknya lagi, berusaha memberinya semangat. "Santai saja, Raka. Bima bukan orang yang suka menyimpan dendam atau iri hati. Percaya sama aku."
Sebelum Raka bisa merespons, Bima sudah melihat mereka dan mulai berjalan mendekat, membawa senyumnya yang ramah. "Raka! Wah, nggak nyangka kamu sudah balik!"
Raka mengangguk perlahan. "Iya, Bima. Aku baru beberapa hari di sini."
Bima menjabat tangan Raka dengan erat. "Aku senang kamu bisa pulang, meskipun alasannya... ya, nggak seperti yang kita harapkan."
"Ya, aku juga nggak pernah menyangka akan kembali dengan cara seperti ini," Raka menjawab, menatap Bima dengan campuran perasaan. Di satu sisi, ia masih menghormati sahabatnya ini, tapi di sisi lain, ada sedikit rasa cemburu yang sulit ia hilangkan.
Bima mengerti suasana yang canggung itu, dan tanpa ragu ia mencoba mencairkannya. "Ayo, kita duduk dulu di warung. Sudah lama kita nggak ngobrol panjang lebar. Mau?"
Raka mengangguk, mengikuti langkah Bima menuju warung kopi di pinggir pasar. Di sana, mereka duduk berhadapan, ditemani aroma kopi hitam yang pekat. Bima langsung memesan dua cangkir kopi sambil berbasa-basi dengan pemilik warung, lalu kembali fokus pada Raka.
"Kamu baik-baik saja di kota? Aku dengar kamu sukses sekarang," ujar Bima.
"Lumayan. Hidup di kota memang banyak tantangannya, tapi... aku masih bertahan." Raka mencoba terdengar santai, meskipun di dalam hatinya ada banyak hal yang ingin ia tanyakan pada Bima.
"Aku tahu kamu pasti sukses, Rak," sahut Bima sambil tersenyum. "Kamu selalu punya impian yang besar."
"Tapi... aku meninggalkan banyak hal di sini, Bim. Kadang aku merasa kehilangan sesuatu yang nggak tergantikan," Raka berucap, menatap cangkir kopinya, lalu menatap Bima dalam-dalam.
Bima mengangguk pelan. "Aku mengerti, Rak. Di desa ini, semuanya punya arti yang berbeda. Keluarga, teman... dan juga cinta."
Raka terdiam sejenak, merasakan kata-kata itu menyentuh hatinya. "Cinta... ya, itu yang sulit," gumamnya.
Bima menatapnya dengan tatapan yang bijak. "Aku tahu perasaanmu, Raka. Aku tahu kamu dan Arini punya banyak kenangan bersama. Dan aku juga tahu betapa besarnya perasaanmu untuk dia."
Raka menelan ludah. Ia tak menyangka Bima akan sejujur ini. "Bima ... aku benar-benar tidak ingin mengganggu hubungan kalian. Aku tahu aku sudah terlalu lama pergi."
Bima tersenyum samar. "Raka, kamu sahabatku. Kita sama-sama tahu betapa kita saling menghargai. Aku juga mencintai Arini dengan sepenuh hati, dan aku yakin kamu juga. Tapi aku tidak ingin kita saling menyakiti. Kita bisa menyelesaikan ini dengan baik, kan?"
Raka mengangguk perlahan. Kejora yang terang di langit seolah memberi mereka sedikit kedamaian di tengah percakapan yang penuh emosi ini. "Aku menghargai keterbukaanmu, Bima. Aku juga tidak ingin merusak apa yang sudah kalian miliki."
Bima menarik napas dalam, kemudian mengucapkan sesuatu yang membuat Raka terpana. "Kamu masih mencintainya, kan?"
Raka terdiam. Sesaat, ia hanya menatap Bima dengan ekspresi terkejut. "Aku ... aku ..."
"Tidak perlu dijawab, Rak. Dari cara kamu menatap Arini kemarin, aku tahu jawabannya." Bima tersenyum, meskipun ada rasa pahit di baliknya. "Aku cuma ingin kamu tahu, aku nggak akan memaksanya. Jika suatu saat dia berubah pikiran dan memilihmu ... aku akan merelakan."
"Bima ... kamu nggak perlu berkata begitu," Raka menunduk, merasa bersalah. "Aku sudah terlambat untuk semua ini. Aku yang salah."
Bima menepuk bahunya. "Tidak ada kata terlambat untuk cinta, Rak. Tapi ingat, aku juga tidak akan berhenti berusaha. Arini berhak bahagia, dan aku ingin memberikan itu padanya. Jika suatu hari kamu ingin kembali merebut hatinya, pastikan kamu siap berjuang dengan tulus."
Raka tersenyum tipis. "Kamu benar-benar orang yang baik, Bima. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi mengungkapkan rasa terima kasihku."
"Tidak usah berterima kasih, Rak. Cukup jangan pernah menyakiti hatinya lagi. Itu saja."
Percakapan mereka terhenti saat pemilik warung menyajikan kopi. Keduanya terdiam, menikmati aroma kopi yang menghangatkan pagi. Kejora kini sedikit meredup, tapi sinar matahari pagi mulai menggantikan cahayanya, menyinari desa yang penuh cerita dan harapan.
"Kalau begitu, aku akan tetap di desa ini. Setidaknya untuk sementara waktu," ujar Raka kemudian. "Aku ingin memperbaiki rumah dan, mungkin, menemukan kembali tujuan hidupku di sini."
Bima tersenyum puas. "Aku yakin desa ini akan jadi lebih baik dengan kehadiranmu. Jika ada yang bisa kubantu, aku selalu ada, Rak."
"Terima kasih, Bima," jawab Raka tulus.
Keduanya saling menatap dengan penuh penghargaan, seolah pertemuan ini menguatkan ikatan persahabatan mereka. Meski ada banyak emosi yang belum terselesaikan, mereka merasa lebih lega setelah percakapan ini.
Namun, Raka tahu bahwa perjuangannya belum selesai. Ada Arini yang masih menyimpan banyak kenangan di hatinya, ada rumah yang harus ia bangun kembali, dan ada masa lalu yang harus ia hadapi. Lengkara di dalam dirinya berbisik, bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Rindu dan Rumah
RomanceSetelah 10 tahun meninggalkan kampung halamannya demi mengejar karier sebagai arsitek di kota besar, Raka terpaksa kembali untuk mengurus warisan rumah tua keluarganya. Di sana, ia bertemu kembali dengan Arini, cinta masa lalunya, yang kini telah be...