Cinta yang Hilang

0 0 0
                                    


Pagi itu, setelah pertemuan emosional dengan Bima di warung kopi, Raka berjalan pulang dengan langkah yang berat. Kejora telah menghilang di balik sinar matahari pagi, menyisakan kehangatan yang justru membuat hatinya semakin dingin. Pertemuan dengan Bima membuatnya semakin menyadari sesuatu yang menyakitkan: cinta yang ia tinggalkan kini bukan lagi miliknya.

Setibanya di rumah, Raka duduk di beranda, termenung memandangi pekarangan yang pernah penuh dengan keceriaan saat ia bersama Arini. Pikiran tentang semua kenangan yang pernah ia lalui bersama Arini seolah memaksanya kembali mengingat masa lalu yang telah lama ia tinggalkan.

"Kenapa semua terasa begitu berat?" gumam Raka, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Namun, tak lama setelah itu, langkah kaki terdengar mendekati pintu depan.

"Raka?" Suara lembut yang sangat dikenalnya membuatnya terkejut.

Ia menoleh dan melihat Arini berdiri di sana, wajahnya sedikit cemas, namun senyum masih tersungging di bibirnya. "Aku boleh masuk?"

Raka mengangguk, berusaha menyembunyikan kecanggungan yang dirasakannya. "Tentu, Arini. Silakan masuk."

Arini melangkah masuk ke dalam rumah tua itu, melihat sekelilingnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Aku dengar dari Bima kalau kamu akan tinggal di desa ini untuk sementara waktu. Itu benar?"

Raka mengangguk. "Ya, aku pikir ini saatnya aku kembali. Banyak yang perlu aku selesaikan di sini."

Arini duduk di kursi kayu tua di ruang tamu, sementara Raka berdiri dengan canggung di dekat pintu. "Kenapa, Raka? Kenapa kamu pergi dulu? Aku selalu ingin tahu jawabanmu."

Raka menunduk, mencoba merangkai kata-kata yang sulit diucapkan. "Arini, aku ... aku pergi karena aku merasa ada banyak hal yang harus aku capai di luar sana. Aku pikir kalau aku berhasil, aku bisa membuktikan sesuatu ... untuk kita."

"Untuk kita?" Arini mengulang kata-katanya, tampak terkejut. "Apakah kamu benar-benar pergi untuk kita, Raka? Karena dari sudut pandangku, kamu meninggalkanku tanpa ada kepastian."

"Arin, aku tidak pernah bermaksud seperti itu. Aku hanya ... tidak tahu bagaimana mengatakannya. Aku ingin menjadi orang yang bisa kamu banggakan, yang bisa mendampingimu dengan penuh keyakinan," jawab Raka, nadanya terdengar penuh penyesalan.

Arini menghela napas panjang, menatap Raka dengan pandangan yang lebih dalam. "Raka, aku tidak pernah membutuhkanmu untuk menjadi orang yang sempurna. Aku hanya ingin kamu ada di sampingku, apa pun keadaannya."

Kata-kata Arini menghantam batinnya. Raka merasa hatinya semakin berat, sadar bahwa semua alasan yang selama ini ia anggap penting ternyata salah di mata Arini. "Maaf, Arin ... Aku hanya ingin membuatmu bahagia."

"Dan aku sudah berusaha bahagia tanpamu, Rak. Aku berusaha menerima kenyataan bahwa kamu sudah pergi, dan sekarang aku memiliki Bima. Dia adalah orang yang selama ini selalu ada untukku saat kamu tidak ada," ujar Arini dengan suara lirih.

Raka menatapnya, hatinya penuh dengan penyesalan dan rasa kehilangan yang semakin mendalam. "Aku tahu, Arin. Bima adalah orang yang baik, dan aku yakin dia bisa membuatmu bahagia."

Arini tersenyum kecil, menatap Raka dengan tatapan penuh pengertian. "Aku juga berharap begitu. Namun, jujur saja, melihatmu kembali membuat semua kenangan itu muncul lagi. Sulit bagiku untuk benar-benar melupakan."

Raka menghela napas, mencoba menenangkan perasaannya yang bergolak. "Arini, aku tidak akan pernah memaksamu untuk memilih. Aku hanya ingin kamu bahagia, meskipun bukan denganku."

Arini terdiam, matanya berkaca-kaca. "Raka ... Kamu tidak tahu betapa beratnya semua ini bagiku. Sebenarnya, di dalam hati kecilku, aku masih ... aku masih menyimpan perasaan itu."

"Arin ..." Raka mengulurkan tangan, namun menahan dirinya, menyadari posisinya yang tak berhak lagi menyentuhnya. "Jika kita punya kesempatan lagi ... Apa yang akan kamu lakukan?"

Arini menatap Raka dalam-dalam, lalu menggeleng pelan. "Kita tidak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu, Raka. Aku harus menjalani hidupku sekarang, dan begitu juga kamu."

Raka terdiam, merasakan hatinya hancur mendengar jawaban Arini. Tapi ia tahu, itu adalah kenyataan yang harus ia hadapi. "Ya ... kamu benar, Arin."

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari arah pintu depan. Raka dan Arini menoleh, dan di sana berdiri Bima, yang tampak terkejut melihat Arini dan Raka bersama di ruang tamu. Namun, Bima tidak menunjukkan ekspresi marah atau kecewa; ia hanya menatap keduanya dengan pandangan penuh pengertian.

"Maaf, aku nggak tahu kalau kalian sedang berbicara. Aku bisa kembali nanti," ujar Bima dengan senyum sopan.

Arini segera berdiri dan mendekati Bima. "Tidak, Bima. Aku sudah selesai berbicara dengan Raka."

Bima mengangguk, lalu menatap Raka. "Aku harap kamu baik-baik saja, Rak. Tidak ada yang berubah dalam persahabatan kita, meskipun keadaan sekarang berbeda."

Raka tersenyum getir, menahan semua perasaannya yang tumpah ruah. "Terima kasih, Bima. Aku berterima kasih atas pengertianmu."

Arini memandang keduanya dengan mata berkaca-kaca, seolah tak ingin memilih di antara mereka. "Aku harus pergi. Aku ... aku harap kalian berdua bisa saling mendukung satu sama lain. Ini berat untuk kita semua."

Raka mengangguk, mencoba menunjukkan senyum terbaiknya meskipun hatinya terasa remuk. "Arini, Bima ... Kalian berdua berhak mendapatkan kebahagiaan. Jangan pedulikan aku lagi."

Bima menepuk pundak Raka dengan penuh persahabatan. "Kamu adalah bagian dari hidup Arini dan hidupku juga, Rak. Persahabatan kita akan tetap utuh."

Mereka bertiga berdiri dalam keheningan yang penuh arti, seolah-olah masing-masing merasakan kehilangan sesuatu yang penting. Arini akhirnya melangkah keluar, diikuti oleh Bima yang menatap Raka sekali lagi sebelum meninggalkan rumah itu.

Setelah pintu tertutup, Raka berdiri sendirian di ruang tamu yang hening, ditemani bayangan masa lalunya bersama Arini. Kejora mungkin sudah tak tampak di langit pagi ini, tetapi cinta yang pernah ia miliki kini terasa seperti bintang yang redup, hilang di antara cahaya siang yang menyilaukan.

"Cinta yang hilang ... mungkin aku memang sudah terlambat," gumam Raka pelan, menatap kosong ke arah jendela.

Ia melangkah menuju beranda, mencoba menenangkan perasaan yang berkecamuk. "Mungkin sekarang saatnya aku melepaskan semuanya. Untuk kebaikan Arini ... dan untuk kebaikan diriku sendiri."

Di dalam hatinya, Raka tahu bahwa melepaskan adalah pilihan yang terbaik, meskipun itu berarti ia harus merelakan cinta yang telah ia jaga selama bertahun-tahun. Dan di tengah sunyi pagi, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menerima kenyataan ini dengan ikhlas. Lengkara di dalam dirinya mengingatkannya, bahwa rumah bukan hanya tempat seseorang tinggal, tetapi juga tempat di mana ia menemukan kedamaian dan keikhlasan.

Di Antara Rindu dan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang