Senja di desa tampak kelabu, seolah memahami apa yang dirasakan Kejora. Ia duduk di tepi jendela kamarnya, menatap langit yang berangsur gelap. Di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa berat, perasaan yang selama ini ia coba abaikan, kini semakin sulit untuk disangkal.
Pintu kamar diketuk. "Kejora?" suara Ibunya terdengar lembut, membawa kehangatan yang selama ini selalu menenangkannya.
Kejora mengusap wajahnya, berusaha menutupi kesedihannya. "Iya, Bu? Masuk saja."
Ibunya membuka pintu dan melangkah masuk. Ia duduk di sebelah Kejora, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kamu nggak biasanya melamun begini. Ada apa, sayang?"
Kejora tersenyum samar, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang terus menghantui hatinya. "Nggak ada apa-apa, Bu. Cuma lagi ingin sendiri."
Ibunya menatapnya dengan pandangan penuh perhatian. "Ibu tahu kamu anak yang kuat. Tapi ingat, setiap orang punya batas, Kejora. Kamu nggak harus selalu menyimpan semuanya sendirian."
Kejora terdiam, lalu menarik napas panjang. "Aku ... aku cuma merasa bingung, Bu. Perasaan ini sulit dijelaskan."
Ibunya tersenyum hangat, memegang tangannya. "Mungkin, ada seseorang yang membuatmu merasakan hal itu?"
Kejora mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Raka ... dia sahabatku sejak kecil. Tapi sejak Laras datang, aku merasa seperti ... seperti kehilangan sesuatu."
Ibunya menghela napas pelan. "Perasaan itu wajar, Kejora. Cinta sering kali datang dengan cara yang tak terduga. Tapi kamu tahu apa yang kamu butuhkan?"
"Apa, Bu?" tanya Kejora dengan suara lirih.
"Sebuah kejelasan," jawab Ibunya. "Kadang, perasaan yang terpendam itu malah menyakitkan. Kamu perlu tahu di mana kamu berdiri."
Kejora mengangguk, seolah mendapat sedikit pencerahan. Namun, di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang belum tuntas. "Terima kasih, Bu. Aku akan coba mencari jawaban itu."
**
Malam itu, Kejora duduk di beranda rumahnya, memandangi bulan yang terang benderang. Ia mengambil ponselnya, membuka pesan Raka yang terakhir kali ia baca, namun tak ia balas. Ada banyak kata yang ingin ia sampaikan, namun entah mengapa, kata-kata itu hanya terhenti di ujung jemarinya.
Sebuah pesan masuk tiba-tiba. Raka.
"Kejora, bisa kita bertemu besok di danau?"
Kejora membaca pesan itu, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu, pertemuan ini mungkin adalah kesempatan baginya untuk mencari jawaban. Perlahan, ia mengetik balasan.
"Iya, aku akan datang."
**
Pagi berikutnya, Kejora tiba di tepi danau lebih awal dari biasanya. Ia duduk di sebuah batu besar, menatap riak air yang tenang. Pikirannya berputar-putar, berusaha menyiapkan diri untuk pertemuan yang mungkin akan mengubah banyak hal.
Langkah kaki terdengar dari belakang, dan Raka muncul, tampak sedikit gugup. "Hai, Kejora," sapanya sambil tersenyum tipis.
Kejora mencoba tersenyum, meskipun perasaannya campur aduk. "Hai, Raka."
Mereka duduk bersebelahan, namun keheningan yang hadir di antara mereka terasa begitu berat.
Raka menarik napas dalam, lalu memulai percakapan. "Kejora, aku ingin bicara denganmu tentang sesuatu yang selama ini ada di pikiranku."
Kejora mengangguk, mencoba menahan getaran dalam hatinya. "Apa itu, Raka?"
Raka menatapnya, pandangannya penuh ketulusan. "Aku tahu hubungan kita sudah lama berjalan sebagai sahabat. Tapi sejak aku bertemu Laras, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Rindu dan Rumah
RomanceSetelah 10 tahun meninggalkan kampung halamannya demi mengejar karier sebagai arsitek di kota besar, Raka terpaksa kembali untuk mengurus warisan rumah tua keluarganya. Di sana, ia bertemu kembali dengan Arini, cinta masa lalunya, yang kini telah be...